BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Jangan biarkan anak mengonsumsi lagu dewasa

Makin banyak anak-anak yang fasih mendendangkan lagu untuk orang dewasa, lagu yang tak pas untuk usia mereka.
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, kini tengah memantau lagu-lagu berbahasa Sunda dan tarling. Monitoring dilakukan terhadap siaran radio dan televisi swasta lokal di 27 kota dan kabupaten di Jawa Barat.

Yang dicermati adalah lirik yang mengumbar sensualitas. Banyak pengaduan masyarakat di Karawang, Cirebon, dan Indramayu terutama dari kaum ibu dan pendidik yang masuk ke KPID Jabar. Mereka mengeluhkan lagu-lagu daerah yang tak pantas didengarkan oleh anak-anak.

Ketua KPID Jabar, Dedeh Fardiah, tidak menutup kemungkinan akan membuat larangan penyiaran beberapa lagu berbahasa daerah di wilayahnya. Ini adalah tindak lanjut dari aksi serupa yang dilakukan KPID Jabar, bulan lalu.

Ketika itu regulator penyiaran menemukan 53 lagu yang liriknya dinilai melanggar norma sopan santun, mengandung seks bebas, hal-hal menyimpang, menjadikan perempuan sebagai obyek, dan tidak melindungi anak-anak.

Pengecekan juga dilakukan di lapangan. Hasilnya cukup mengejutkan, anak-anak sudah hafal lagu "Hamil Duluan" yang dinyanyikan Tuty Wibowo.

Lirik-lirik lagu tersebut dinilai melanggar norma seperti yang diatur dalam P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) Pasal 9 dan 16. Disitu disebutkan lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak. Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual.

Atas dasar itulah, melalui surat bernomor 001/KPID JBR/04/2016, lembaga ini melarang lembaga penyiaran (radio dan TV) di daerah, menyiarkan 13 lagu termasuk video klipnya. Sementara 11 lagu lainnya harus dibatasi hanya untuk jam dewasa, yaitu pukul 10 malam sampai pukul 5 pagi.

Jika dicermati, baik judul maupun lirik lagu-lagu yang dilarang itu, tak sekadar vulgar dan tak mendidik. Namun juga sangat merendahkan martabat perempuan, dan tidak memiliki pesan moral.

Sekadar contoh, tengok saja refrain lagu "Wanita Lubang Buaya", salah satu lagu yang dilarang disiarkan itu: "Memang wanita dia punya lubang buaya; Wajar saja lelaki mau menggodanya; Memang wanita punya satu lubang buaya; Walau satu tapi itu sangat berharga".

Keputusan KPID Jabar ini, mengundang pro-kontra. Para penggemar penyanyi yang lagunya dilarang disiarkan pun menghujat dan mencemooh KPID. Namun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi positif langkah KPID ini.

Pada 2015 , KPID Jawa Tengah sudah melakukan hal serupa, dengan melarang penyiaran 7 lagu dan 46 lagu dibatasi jam penayangannya. Apapun ikhtiar KPID melindungi perempuan dan terutama anak dari pengaruh buruk lirik lagu, patut didukung.

Yang dilakukan KPID tersebut sesuai dengan rentang kendalinya. Lembaga ini tidak bisa disebut melakukan sensor, apalagi menghalang kebebasan berekspresi dan berkreasi.

Meski begitu, harus disadari, pelarangan dan pembatasan waktu siar tersebut, tidak bisa efektif meredam pengaruh buruk lagu-lagu tersebut terhadap anak. Kanal musik, saat ini tak hanya monopoli radio dan TV.

Internet memberikan kebebasan tanpa batas kepada siapapun untuk mengakses musik dan lagu. Dari hape lagu-lagu tersebut gampang sekali diunduh. Selain itu panggung musik di pelosok yang menyanyikan berbagai lagu berkonten negatif juga tak mungkin bisa diatur oleh KPID.

Melindungi anak dan perempuan dari kerusakan pola pikir--karena lirik lagu yang merendahkan martabat perempuan--bukan hanya tanggung jawab KPID. Sedah selayaknya ini menjadi tanggung jawab bersama, baik masyarakat maupun pihak berkepentingan di industri musik.

Literasi menjadi kata kunci. Memberikan pemahaman bahwa tidak semua lagu layak didengarkan oleh semua lapisan umur, mesti segera dilakukan. Menerapkan Parental Advisory Label (PAL), alias Bimbingan Orang Tua, dalam kemasan produk audio dan video, seperti yang dilakuan Amerika Serikat bisa menjadi salah satu alternatif.

RIAA (The Recording Industry Association of America), sudah sejak lama menerapkan label tersebut. Ini tak lepas dari perjuangan Tipper Gore, istri Al Gore, senator yang kemudian menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat.

Ia pada 1985 mengembalikan Compact Disk (CD) album Prince, "Purple Rain" ke toko. Tipper memprotes album itu tidak menjelaskan secara eksplisit tentang isi lagu kepada pembelinya. Lagu dari album tersebut, ternyata berisi kekerasan terhadap perempuan, juga pembunuhan polisi.

Padahal ia membeli CD tersebut untuk hadiah anaknya yang berumur 11 tahun.

Pengembalian CD tersebut ditolak, alasannya karena kemasan sudah dibuka. Namun, penolakan ini justru membuat Tipper memperjuangkan labeling Parental Advisory masuk dalam regulasi resmi. Ia sempat mempresentasikan idenya di panel Senat. Namun dimentahkan oleh musisi Frank Zappa dan Dee Snyder dari kelompok Twisted Sister. Isu sensor yang dijadikan dalih.

Namun Tipper, meyakinkan bahwa apa yang dia inginkan bukanlah sensor, namun informasi untuk konsumen di pasar. Ia pun menuliskan, perjuangannya itu dalam buku Raising PG Kids in an X-Rated Society. Tipper percaya bahwa semua orang harus membuat keputusan sesuai dengan nilai-nilai keluarga mereka sendiri dan bagaimana mereka ingin mendidik anak-anak mereka.

Meskipun bukan regulasi resmi, RIAA kemudian mengadopsi PAL, untuk industri rekaman sebagai inisiatif sukarela. Industri musik mengambil tanggung jawab untuk membantu orang tua dalam menentukan apa yang pantas untuk anak-anak mereka.

Berbagai label musik menggunakan PAL dalam album yang dihasilkannya. Kelompok musik, musisi maupun penyanyi mendukung inisiatif ini. EMINEM, rapper yang sangat dikenal di Indonesia, selalu memberikan PAL pada albumnya.

ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) sebenarnya bisa mengadopsi apa yang telah dilakukan RIAA. Dengan menerapkan PAL, tanggungjawab terhadap sebuah lagu seperti diserahkan kepada masyarakat dan lembaga penyiaran.

Bila kemudian masih ada anak-anak, yang mendengarkan lagu atau album yang menyertakan PAL, yang harus disalahkan adalah orang dewasa yang kurang mengawasi anak-anak di sekitarnya. Industri rekaman, musisi maupun penyanyi tak bisa dipersalahkan.

Begitupun, bila ada lembaga penyiaran yang memutar lagu atau menayangkan klip video lagu yang diperuntukkan untuk orang dewasa, pada pagi hari. KPID tinggal menindaknya, karena secara transparan lembaga penyiaran tersebut jelas telah melanggar P3SPS.

Penerapan PAL juga tak bisa dituding sebagai pembatasan berekspresi baik bagi musisi maupun penyanyi. Mereka tetap memiliki kebebasan, namun juga harus jujur kepada masyarakat tentang segmen pasar yang dibidik lagu tersebut.

Melalui penerapan PAL, secara perlahan lagu dengan lirik yang cenderung porno maupun klip dengan aksi erotis bisa enyah dari mata dan telinga anak-anak. Selain, tentu saja, memproduksi lebih banyak lagu untuk anak.


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...si-lagu-dewasa

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
2.4K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan