Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Kabut Tipis di Negeri Para Dewa
Kabut Tipis di Negeri Para Dewa Kabut Tipis di Negeri Para Dewa
Wisatawan sedang mengunjungi kawasan Candi Arjuna Dieng, Jawa Tengah, Sabtu (14/5/2016). Banyaknya wisatawan yang berkunjung menyisakan masalah berupa sampah yang terus menumpuk.
Dwi Kusharyanti, 27 tahun, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Bibirnya manyun, pandangannya kosong. Pagi buta ia bangun, ternyata tak bisa melihat semburat jingga matahari terbit dari Bukit Sikunir Kawasan Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Setelah hujan mengguyur semalam, kabut tebal menyelimuti Dieng pada pagi harinya. Hingga pukul 08.00, matahari yang ditunggu tak juga terlihat. "Jadi korban PHP nih," ujar Dwi, Sabtu (14/05).

Dwi, wisatawan dari Purwokerto, Jawa Tengah ingin sesekali melihat indahnya matahari terbit di Sikunir yang banyak disebut-sebut sebagai salah satu lokasi melihat matahari terbit terindah di Indonesia. Cuaca di Dieng memang tak bisa ditebak. Jika beruntung, wisatawan bisa menikmati matahari terbit dengan pemandangan gugusan gunung berapi di sebelah timur. Gunung tersebut di antaranya, Gunung Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu dan Lawu.

Aprilianto, Humas Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa mengatakan, sebenarnya ada banyak lokasi baru untuk melihat matahari terbit. Lokasi baru ini diharapkan bisa memecah banyaknya wisatawan. "Selain Sikunir, wisatawan sebenarnya bisa pergi ke bukit lainnya sehingga tidak perlu antre saat di perjalanan," katanya. Bukit yang kini sudah dibuka di antaranya, Bukit Sekoter yang berada di belakang pemukiman penduduk.

Selain itu ada Bukit Pangonan yang sudah dibuka setahun lalu.Bukit Pangonan terletak di atas kawasan Candi Arjuna. Butuh waktu sekitar tiga jam untuk mencapai puncaknya. Pemandu wisata juga siap mengantarkan wisatawan menuju puncak Pangonan. Tempat lainnya yang baru dibuka dan kini mulai didatangi wisatawan yakni Wahana Petak 9, Water Boom Air Panas dan Telaga Dringu. Semua lokasi itu berada di Kawasan Dieng yang mudah dijangkau.

Pada akhir pekan, Dieng yang terletak di kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo ini, dikunjungi lebih dari seribu wisatawan. Selain bukit Sikunir, bukit lainnya yang menjadi tujuan pelancong adalah Bukit Prau. Namun yang paling terkenal yakni Bukit Sikunir. Di bukit yang puncaknya bisa dijangkau dengan jalan kaki hanya dalam waktu setengah jam itu akan penuh dengan manusia. Seringkali kemacetan manusia terjadi di jalan setapak menuju bukit. "Dalam 15 menit hanya bisa berjalan satu meter," ujar Dwi.
Kabut Tipis di Negeri Para Dewa
Wisatawan mengantre di bukit Sikunir
Antrean manusia itu seringkali membahayakan karena jalan setapak itu langsung berbatasan dengan jurang yang curam. Pun tiang pengaman jalan yang terbuat dari kayu terlihat kurang kokoh sehingga mudah bergoyang jika dipegang.

Dhani Armanto, salah satu penyedia jasa paket perjalanan wisata mengatakan, petugas pengamanan untuk mengawal wisatawan saat naik bukit juga sangat minim. "Hanya ada beberapa orang untuk mengawal ribuan wisatawan," katanya.

Selain petugas pengamanan, Dhani juga menyebut Sikunir sudah tidak asri lagi. Pepohonan berkurang karena banyaknya wisatawan yang datang sehingga membutuhkan ruang lebih luas. "Ujung-ujungnya pohon yang ditebang," katanya. Di puncak Bukit Sikunir pun kini sudah banyak penjual makanan. Akibatnya seringkali terlihat sampah berserakan.

Selama ini sampah di kawasan Dieng hanya dikumpulkan di lokasi dekat Kawah Sikidang. Belum ada manajemen pemilahan dan pemanfaatan sampah dengan baik. "Lambat laun sampah akan menggunung karena tidak ditangani," kata Aprilianto, Humas Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa.

Dalam kondisi normal, seminggu tiga kali truk sampah bolak-balik ke tempat pembuangan sampah itu. Satu truk bisa mengangkut hingga tiga ton sampah. Jumlah tersebut meningkat saat liburan panjang yakni setiap hari truk sampah mengangkut sampah ke tempat pembuangan.

Soal sampah, Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno mengakui selama ini belum ada solusi final untuk penanganan sampah. "Kami sedang memikirkan konsep bank sampah agar sampah di Dieng bisa dimanfaatkan kembali," katanya.

Aprilianto membenarkan, saat ini Dieng di akhir pekan selalu penuh wisatawan. Dari 300 home stay yang ada, selalu penuh oleh wisatawan. Setiap akhir pekan minimal ada dua ribu wisatawan yang berkunjung.

Peningkatan pelancong ke Dieng bermula dari agenda tahunan yang bertajuk Dieng Culture Festival yang dihadiri ratusan ribu orang. Agenda tahunan yang sudah masuk kalender kunjungan wisata nasional ini menyajikan pemotongan rambut gimbal sebagai andalannya. Tahun ini Dieng Culture Festival akan digelar pada 5-7 Agustus. Selain pemotongan rambut gimbal, acara andalan lainnya yakni pertunjukkan Jazz Atas Awan. Sebuah pergelaran musik jazz dengan suhu di bawah 10 derajat celcius.

Pesona Dieng lainnya yang menyedot wisatawan adalah Candi Arjuna. Di sekitar lokasi candi, masih banyak terserak bebatuan pembentuk candi yang belum disusun kembali. Candi Hindu ini menyimpan keindahan di pagi hari. Jika beruntung, wisatawan bisa melihat silver sunrise. Momen ini terbentuk karena kabut tipis menyelimuti tubuh candi sehingga yang terlihat hanya pucuk candi. Silver sunrise bisa terbentuk jika suhu menembus titik beku atau nol derajat celcius.

Di sekitar candi juga bisa dilihat kristal salju yang menempel di rerumputan. Masyarakat setempat menyebutnya bun upas. Bun upas merupakan musuh utama petani kentang karena bisa membunuh tanaman kentang. Fenomena bun upas bisa dilihat pada puncak musim kemarau sekitar bulan Juli-Agustus.

Obyek wisata lain adalah Kawah Sikidang yang letaknya di bagian timur kawasan Dieng. Di lokasi ini, pengunjung bisa merebus telor hingga matang di atas panasnya kawah. Selain itu ada juga penyewaan kuda untuk berkeliling kawasan kawah. Untuk yang hobi memacu adrenalin, disediakan sepeda motor trail untuk menembus kontur pinggiran kawah yang berbatu. Pemandangan yang bisa memanjakan mata lainnya adalah Telaga Warna. Sebuah telaga yang berwarna hijau akibat aktivitas vulkanik. Di sekitar lokasi telaga juga ada tempat untuk berkemah.
Kabut Tipis di Negeri Para Dewa
Telaga Warna di kawasan wisata Dieng
Akses menuju Dieng cukup mudah. Ada jalan utama yang biasa digunakan wisatawan menuju Dieng yakni lewat Wonosobo. Dari Yogyakarta, Wonosobo bisa dijangkau dalam waktu 2,5 jam. Jika dari Purwokerto sekitar 3 jam perjalanan menggunakan mobil. Jika menggunakan kendaraan umum, Dieng bisa diakses lewat Wonosobo. Tapi jalur ini seringkali macet karena wisatawan selama ini hanya tahu jalan ini dibanding jalan lainnya. Antrean panjang sering terlihat di jalan utama ke Dieng ini.

Akses lainnya dari arah Banjarnegara. Hanya saja akses di jalur ini banyak yang rusak. Sedangkan akses dari Batang belum terhubung sempurna. Padahal wisatawan dari Jakarta akan lebih cepat sampai di Dieng melalui jalan dari Batang ini. Bupati Banjarnegara Sutedjo Slamet Utomo mengatakan, untuk menambah akses jalan ke Dieng, kini mulai dibangun jalan Dieng-Batang. Akses ini menembus Dieng hingga jalur Pantai Utara atau Pantura sehingga memudahkan pelancong dari Jakarta.

Panjang jalan mencapai 4,5 kilometer. Pembangunan jalan dimulai dari tugu monumen bencana tak jauh dari Kawah Sileri di Desa Kepakisan sampai Dusun Bitingan, sebuah dusun paling ujung di desa setempat. "Wisatawan dari arah Pantura akan lebih mudah menuju Dieng," kata dia. Warga Batang selatan juga akan banyak ke Dieng untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menjawab kerusakan lingkungan dengan Perkasa Kabut Tipis di Negeri Para Dewa
Petani kentang memanen hasil tanam mereka.
Ingatan Mudasir, 65 tahun, warga Dieng terlempar jauh ke tahun 1970. Ia masih ingat betul kala itu Dieng masih tertutup pepohonan besar. Bukit-bukit menghijau terhampar. Burung-burung pemangsa masih bebas merdeka terbang mengangkasa. Ia masih ingat betul, sebelum tahun 1977 sebagian warga Dieng masih menanam tembakau. Setelah tahun itu, penduduk setempat mulai menanam kentang. Kentang mulai ditanam oleh petani kentang Pengalengan, Jawa Barat.

Konon, petani Pengalengan mulai merosot produksinya karena lahan di sana sudah sangat rusak. Mereka berpindah menyewa lahan ke Dieng. Invasi petani kentang Pengalengan ini sukses. Saat tu, satu hektare lahan bisa menghasilkan 50 ton kentang. Tergiur dengan keberhasilan penyewa lahan dari Pengalengan, petani lokal pun ikut-ikutan menanam kentang. Kejayaan petani kentang terjadi pada tahun 1981. Saat itu, hampir semua pemilik lahan menanam kentang. Perbukitan Dieng berubah. Gundul dan tanpa pohon. Semua berubah menjadi lahan kentang.

Kehidupan petani juga berubah. Banyak muncul orang kaya baru. Bahkan, petani kentang banyak yang menempuh jarak 25 kilometer ke Wonosobo hanya sekadar buat makan malam. Mereka membeli mobil hingga garasinya tak muat lagi. Rumah mendadak bagus dengan arsitektur art deco. Namun semuanya harus dibayar mahal. Pertanian kentang dengan pupuk kimia itu merusak lahan mereka.

Rusaknya lahan Dieng membuat Mudasir galau. Tahun 2003, ia bersama pemuda yang peduli mulai merintis pertanian organik. Tahun 2006, perkumpulan dengan nama Pertanian Kami Selaras Alam (Perkasa) pun terbentuk. Ia didapuk menjadi ketuanya.

Tanaman wortel yang berusia 20 hari itu nampak bagai permadani hijau. Menghampar di punggung bukit Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara. Sementara di sekelilingnya, tanaman kentang masih menjadi raja dan tampak dominan di daerah itu. "Kami mulai menanam wortel organik sebagai pengganti tanaman kentang yang selama ini kami tanam," ujar Kabul Suwoto, 41 tahun, petani sekaligus Sekretaris Perkasa.

Kabul mengatakan, organisasi petani sadar lingkungan itu mulai terbentuk tahun 2006. Perkasa dibentuk sebagai jawaban atas semakin rusaknya lingkungan Dieng akibat pertanian kentang tanpa konservasi lingkungan.

Menurut dia, selama 30 tahun, petani kentang Dieng sudah mengeksploitasi lahan Dieng hingga mengalami kerusakan cukup parah. Bayangkan saja, saat ini lahan pertanian Dieng hampir tak memiliki top soil atau tanah lapisan atas. Petani menggunakan pupuk kandang yang sangat banyak untuk menanam kentangnya.

Satu hektare lahan kentang, membutuhkan sekitar 30 ton pupuk kandang. Ketebalan pupuk bahkan mencapai 10 sentimeter. Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga luar biasa banyak. Petani biasanya menggunakan pupuk kimia sebanyak 12 kuintal. Setiap hari, biasanya petani 2-3 kali menyemprot dengan pestisida.

Tingginya penggunaan pupuk juga semakin menambah biaya produksi. Dulu, sekitar 10 tahun lalu, biaya produksi satu hektare lahan kentang hanya membutuhkan Rp7 juta. Namun, saat ini biaya produksi kentang naik menjadi Rp15 juta tiap hektarenya.

Selain rusaknya lingkungan, penurunan produksi juga disebabkan hama tanaman yang paling ditakuti petani kentang, yakni NSK atau Nematoda Sista Kuning. Konon hama ini berasal dari Malang Jawa Timur. Sadar akan lingkungannya yang rusak, Kabul dan Mudasir bersama kawan-kawannya mulai mengkampanyekan tanaman organik. Awalnya memang membutuhkan lebih banyak biaya, tapi saat ini lebih murah dibandingkan denga cara konvensional.

Selain mengembangkan pertanian organik, saat ini mereka juga mengembangkan peternakan organik. Selain sapi, ternak lainnya yang kini menjadi andalan adalah Domba Batur. Domba gendut yang mirip tokoh kartun Shaun The Sheep itu, bahkan bisa menghasilkan wol yang di pasaran laku Rp7 ribu per kilogram.

Budi Santoso, salah satu anggota Perkasa mengatakan, kini kelompoknya sudah mempunyai kawasan pertanian organik Dieng. "Pupuknya kami fermentasi, sehingga tidak merusak lingkungan," katanya. Penggunaan pupuk sendiri saat ini sudah dikurangi hingga 30 persen. Pestisida juga sudah tak digunakan, mereka lebih memilih menggunakan musuh alami. Selain itu, pertanian monokultur yang selama ini hanya menanam kentang juga mulai diubah. Mereka menanam wortel dan tanaman lain berselang-seling. Ternyata, dengan menggunakan sistem selang-seling, NSK bisa hilang.

Ia sendiri sudah tiga tahun tak menanam kentang untuk membunuh hama NSK. Kini, ia bisa makan wortel langsung dari kebun tanpa takut wortelnya mengandung pestisida tingkat tinggi. Hal itu sangat berbeda dengan jaman dulu, ketika buah kentang mengandung pestisida yang cukup tinggi.

Kepala Desa Dieng Kulon, Slamet Budiyono mengatakan, saat ini anggota Perkasa berjumlah 127 petani. "Cukup susah mengubah pola pikir masyarakat, mereka sudah terlalu lama menggunakan pola tanam yang salah," katanya.

Slamet berharap, warganya segera mengubah pola tanam yang selama ini cukup merusak lingkungan. Ia sendiri menargetkan, tahun 2017 petani bisa swasembada benih kentang organik. Pupuk kandang dan pestisida juga menjadi ancaman terpaparnya petani akibat pestisida. Biasanya mereka sesak nafas dan paling berbahaya bisa terkena kanker. Setiap hari, sedikitnya 20 warga memeriksakan dirinya ke Puskesmas Dieng Kulon.

Persoalan kerusakan Dieng tak hanya berimbas di kawasan Dieng saja. Lumpur yang terbawa air pada akhirnya masuk ke Sungai Serayu. Sungai ini mengular mulai dari Wonosobo hingga Cilacap. Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno mengatakan sedimentasi Serayu yang bersumber dari erosi Dieng sudah sangat mendesak untuk dicarikan solusinya. "Ancaman paling serius adalah pendangkalan Waduk Mrica akibat lumpur Dieng," katanya. Sungai Serayu selama ini menjadi sumber utama pengairan ribuan hektare sawah di Jawa Tengah bagian selatan. Pendangkalan membuat sawah tak terairi.

Menurutnya, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan lingkungan lain sangat penting dan menjadi tanggung jawab semua pihak. Pengelolaan DAS diharapkan dapat membuat ekosistem sungai tetap utuh. Dengan begitu, DAS dapat menjamin kebutuhan mahluk hidup di dalamnya. Untuk menahan laju sedimentasi sebenarnya sudah dilakukan berbagai langkah. Antara lain, melalui program sekolah lapang, penanaman kayu keras di sepanjang sungai serta kegiatan lainnya.

Beberapa kelompok sekolah lapang konservasi sudah dibentuk. Mereka dididik dengan mengubah tanaman musiman dengan tanaman keras dan memiliki ekonomi tinggi. Satu yang dilakukan adalah dengan penanaman kopi. Tanaman ini memberikan manfaat ganda, yakni menahan erosi dan bernilai ekonomi tinggi.

Hadi Supeno mengatakan, sedimentasi waduk Mrica dari tahun ke tahun semakin parah. Kondisi ini menjadi lebih buruk karena kerusakan lingkungan yang terjadi di hulu sungai. Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan di sepanjang sungai juga ikut andil dalam terjadinya sedimentasi di waduk pembangkit listrik tersebut.

Kondisi ini mengakibatkan banyak masalah. Saat musim kemarau, banyak daratan yang muncul di tengah waduk. Dari hasil pengukuran PT Indonesia Power dari tahun 1988 hingga 2014 lalu, sedimentasi yang masuk waduk rata-rata mencapai 4,2 juta meter kubik per tahun. Saat ini, sedimen yang telah menimbun di waduk Mrica mencapai 106,3 juta meter kubik atau sekitar 71 persen dari volume waduk. Melihat kondisi ini, maka usia waduk yang sedianya bisa sampai pada tahun 2049, diprediksi hanya sampai 2018. Tetapi usia ini bisa bertambah jika dilakukan perbaikan lingkungan atau pengerukan sedimentasi. Menurut Hadi Supeno, endapan ini dipicu dari dua alur sungai. Yaitu, Serayu yang memiliki hulu di kawasan Dieng dan Mrawu di daerah Pejawaran. Sumbangan lumpur dari dua sungai ini nyaris sama.

Persoalan kerusakan Dieng juga menjadi perhatian Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ia berharap Dieng bisa dihijaukan kembali. Menurut taksirannya, penghijauan kembali Dieng membutuhkan biaya sekitar Rp 100 miliar. Ganjar sangat yakin, pariwisata bisa menjadi solusi agar petani kentang beralih mata pencaharian. Jika petani kentang sudah beralih ke pariwisata atau pertanian yang mengacu pada konservasi, maka kerusakan lingkungan di Dieng bisa dihindari.
Dieng Culture Festival, sebuah perlawanan Kabut Tipis di Negeri Para Dewa
Tujuh anak berambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng menjalani ruwatan pemotongan rambut gimbal di pelataran Candi Arjuna.
Anak muda di Dataran tinggi Dieng tak ingin tinggal diam melihat kerusakan lingkungan di sekitarnya. Mereka menggagas Dieng Culture Festival untuk meningkatkan minat wisatawan. Meningkatnya pariwisata berarti sebuah solusi agar petani kentang beralih tanaman menjadi lebih ramah lingkungan dan menjadikan pariwisata sebagai penghasilan utama. "Erosi yang terjadi mencapai 130 ton per hektare per tahun," kata Alif Faozi, Ketua Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa. Ia memimpin anak muda di desa itu untuk mulai menggeluti pariwisata.

Dieng terkenal sebagai sentra penghasil kentang sejak era 1970-an. Dulu, kawasan hutan rakyat seluas 4.000 hektare digarap untuk pertanian kentang. Padahal kawasan itu seharusnya menjadi lahan penyangga. Produksi kentang dulu cukup menguntungkan. Setiap hektare mampu menghasilkan keuntungan hingga Rp60 juta per tahun.

Tapi, kini bertani kentang sudah tak menguntungkan. Bahkan jika salah memprediski cuaca, petani bakal rugi puluhan juta. Apalagi dampak penggunaan pestisida yang mulai dirasakan penduduk. Selain krisis air bersih, penduduk Dieng juga banyak yang sakit akibat akumulasi pestisida dalam darah mereka.

Untuk mengembalikan Dieng seperti semula, kata Alif, ia dan ratusan penduduk desa lainny

Baca Selengkapnya : https://beritagar.id/artikel/berita/...geri-para-dewa

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Kabut Tipis di Negeri Para Dewa Warga Cireundeu tak pernah butuh beras

- Kabut Tipis di Negeri Para Dewa Menyibak sistem ketahanan pangan Kampung Naga

- Kabut Tipis di Negeri Para Dewa Menikmati dinginnya air di Lubuak Paraku

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.9K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan