
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan Muhammadiyah berharap perlu ada dialog kembali dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta pada 18-19 April lalu. "Jangan formulasi hasil karena terjadi tarik menarik," kata Haedar seusai pembukaan Temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah di Hotel Sahid Rich Yogyakarta, Sabtu, 14 Mei 2016.
Menurut Haedar, sejumlah kalangan perlu bicara masa lampau. Di antaranya Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, pemerintah, kalangan legislatif, organisasi masyarakat, dan masyarakat sipil. Haedar juga mengiyakan ketika ditanya perlunya dialog dengan korban 65. Dialog itu, kata Haedar menjadi bahan untuk refleksi semua kalangan.
Haedar juga menjawab ihwal maraknya pembubaran diskusi maupun pemberangusan kebebasan berekspresi menjelang 21 Mei, peringatan 18 tahun reformasi 1998. Menurut dia, perlu konsensus nasional yang baru antar elemen bangsa yang ikut memperjuangkan reformasi.
Konsensus yang dimaksud Haedar adalah pemerintah perlu punya standar regulasi soal artikulasi kebebasan berekspresi. Di negara yang plural seperti Indonesia, mereka yang punya pandangan garis keras merasa berada dalam iklim demokrasi. Begitu pula sebaliknya dengan kalangan lainnya.
Kalangan yang memperjuangkan reformasi perlu bertemu untuk mereformulasi Indonesia ke depan dengan melihat perkembangan demokrasi, penegakan hal asasi manusia, dan kesejahteraan masyarakat. Mereka perlu mendengar masukan ahli hukum, tata negara, dan masyarakat sipil. Perlu konsolidasi dalam hal demokrasi, penegakan hak asasi manusia, dan masyarakat sipil.
Isu yang krusial segera dibahas, kata Haedar adalah artikulasi kebebasan yang muncul dari beragam kelompok. Dia menyebut ada kelompok yang serba ke kanan dan serba kiri. Mereka semua menyatakan bagian dari Indonesia. Haedar berpendapat perlu mencari titik temu untuk artikulasi kebebasan dengan prinsip demokrasi, menghormati hak asasi manusia, dan sesuai nilai-nilai Pancasila.
Menurut dia, Indonesia perlu menyiapkan peta jalan untuk tahapan-tahapan menjadi negara maju. Jika tidak segera disiapkan, maka Indonesia akan stagnan. Ia melihat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla punya etos baru melakukan reformasi, di antaranya birokrasi dan kesejahteraan langsung ke masyarakat. "Semuanya perlu dialog antar-komponen bangsa. Kalau tidak ada dialog akan kontraproduktif," kata Haedar.
https://m.tempo.co/read/news/2016/05...ngan-korban-65
Masih sulit karena yg sepuh masih banyak yg sensitif dan paranoid, dan ga malu pertontonkan didepan generasi yg sudah rasional