- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jenderal Filipina di Belakang Pembebasan Sandera


TS
aghilfath
Jenderal Filipina di Belakang Pembebasan Sandera
Spoiler for Jenderal Filipina
di Belakang Pembebasan Sandera:
Lebih dari sepekan sudah sepuluh warga negara Indonesia yang disandera kelompok separatis Filipina, Abu Sayyaf, bebas. Para awak kapal tunda (tugboat) Brahma 12 itu pun kembali ke pangkuan keluarga dan dapat menikmati hidup normal.
Namun masih ada empat WNI lainnya yang ditawan Abu Sayyaf. Mereka yakni Moch Ariyanto Misnan, Lorens M.P.S, Dede Irfan Hilmi, dan Samsir. Maka itu sebagian anggota tim yang terlibat pembebasan sandera tetap berada di Filipina untuk terus melakukan negosiasi dengan pihak penyandera secara terus menerus.
Setiap hari, sehari dua kali Abu Sayyaf kontak saya. Kita dikasih kesempatan untuk berbicara."
“(Pembebasan 4 orang yang masih disandera) Itu dikelola masih dengan tim, dan tadi baru kita koordinasikan dengan Bu Menlu (Menteri Luar Negeri Retno Marsudi),” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan, Senin, 9 Mei 2016.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan mengingatkan agar pemerintah dan semua pihak yang membantu berfokus terhadap pembebasan sandera yang tersisa. Tidak lagi terjebak dalam kegaduhan tentang siapa yang paling berjasa, seperti yang terjadi pada pembebasan sandera sebelumnya.
“Harus fokus bagaimana mereka pulang dengan selamat,” ujar Zulkifli.
* * *

Screenshot kelompok Abu Sayyaf bersama tiga sandera warga negara asing
Foto: dok. detikTV
Pembebasan sepuluh WNI yang kapalnya dibajak sejak 26 Maret 2016 itu melibatkan banyak pihak, bukan hanya pemerintah. Setidaknya, ada lima tim yang berpacu dengan waktu untuk membebaskan para awak kapal yang bekerja di PT Patria Maritime Lines (PML) itu dengan selamat.
Tim pertama dibentuk oleh PT PML, perusahaan operator kapal pengangkut batu bara, yang berbasis di Cakung, Jakarta Timur. Tim ini dikomandani oleh mantan Kepala Densus 88 Antiteror Mabes Polri Irjen (Purnawirawan) Bekto Suprapto bersama mantan Wakil Kepala Polri Irjen (Purnawirawan) Nanan Soekarna. Nanan juga merupakan Komisaris Independen PT United Tractors, yang membawahi PT PML dalam satu holding company PT Astra International. Bekto dikabarkan ikut terbang ke Filipina.
Tim perusahaan ini mulai bekerja pada awal April 2016, beberapa hari setelah terjadi penyanderaan. Mereka menjalin kontak langsung dengan penyandera dan para tetua adat di Pulau Sulu, tempat kesepuluh WNI disandera. “Setiap hari, sehari dua kali Abu Sayyaf kontak saya. Kita dikasih kesempatan untuk berbicara,” ujar Komisaris PT PML Loudy Irwanto Ellias.
Selain melakukan negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf, PT PML menyiapkan uang tebusan 50 juta peso atau US$ 1 juta (setara dengan Rp 15 miliar) yang diminta pembajak. Uang ini dibawa oleh perwakilan PT PML, Budiman, yang sudah berada di Filipina selama beberapa hari.
Tim kedua adalah dari pihak Kementerian Luar Negeri di bawah koordinasi Duta Besar Indonesia untuk Filipina Mayjen (Purnawirawan) TNI Johny Lumintang. Tim ini bertugas menjalin komunikasi secara formal dengan pemerintah Filipina.

Ketiga adalah tim yang berisi gabungan aparat intelijen dari Indonesia dan Filipina. Di tim ini, ada seorang pensiunan marinir Filipina berpangkat jenderal pula, sebut saja Jenderal BD, yang cukup mempunyai wibawa dan pengaruh di kalangan pemberontak Abu Sayyaf.
Tim berikutnya adalah Yayasan Sukma, yang didirikan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) Surya Paloh. Di tim ini terdapat nama Ahmad Baidowi, pimpinan Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, yang juga milik Yayasan Sukma.
Kebetulan Baidowi bersama rekannya, pengajar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rizal Panggabean, pernah melakukan penelitian tentang terorisme di Filipina Selatan. Keduanya berangkat ke Filipina ditemani anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi NasDem, Mayjen (Purnawirawan) TNI Supiadin.
Yayasan Sukma masuk belakangan, persisnya sejak 23 April 2016, setelah meminta izin kepada Kementerian Luar Negeri. Yayasan Sukma menjalin koordinasi dengan Koordinator Fungsi Politik KBRI Manila, Eddy Mulya, yang juga kawan dekat Baidowi.
Tim terakhir adalah yang dipimpin Mayjen (Purnawirawan) TNI Kivlan Zein. Kivlan berperan memastikan seluruh tim yang ikut dalam upaya pembebasan WNI itu bersinergi. Kivlan juga mempunyai modal kuat berupa pertemanannya dengan bekas pimpinan The Moro National Liberation Front (MNLF), Nur Misuari. Misuari memiliki keponakan yang kini menjadi Gubernur Sulu, Abdsakur Toto Tan II. Toto Tan banyak membantu melobi pimpinan Abu Sayyaf.
Kivlan disebut-sebut juga diminta menyiapkan opsi militer apabila negosiasi gagal dilakukan. Namun langkah ini menemui kendala karena pengerahan pasukan asing harus disetujui parlemen Filipina. Selain itu, sandera disebar ke tiga titik dengan total penyandera sekitar 50 orang, sehingga sulit bagi operasi militer.
Ada semacam janji bantuan yang akan diberikan ke wilayah yang dikuasai oleh pemberontak Abu Sayyaf. Bantuan berupa sarana kesehatan dan pendidikan."
Kivlan membenarkan operasi penyelamatan WNI itu diikuti oleh tim yang berlapis-lapis. Namun ia mengaku hanya ditunjuk oleh PT PML sebagai bagian dari negosiator perusahaan. “Saya tidak dibayar sepeser pun,” katanya.
Negosiasi berjalan sangat alot. Bayang-bayang akan terancamnya jiwa para sandera memuncak setelah pada 26 April 2016 tawanan Abu Sayyaf asal Kanada, John Ridsdel, dipenggal karena tebusan uang sebesar US$ 80 juta tidak dibayarkan.
Namun pada akhirnya negosiasi menemui titik terang. Seorang sumber detikX yang mengetahui proses pembebasan itu mengatakan Abu Sayyaf akhirnya bisa dibujuk karena rata-rata yang terlibat dalam pembajakan masih berusia muda dan belum berpengalaman.
Kelompok Abu Sayyaf faksi Al-Habsi Misaya ini percaya kepada para negosiator, terutama Jenderal BD, yang bisa meyakinkan mereka.
Selain itu, ada semacam janji bantuan yang akan diberikan ke wilayah yang dikuasai oleh pemberontak Abu Sayyaf. Bantuan itu berupa sarana kesehatan dan pendidikan yang akan disalurkan melalui pemerintah setempat.
Sabtu, 30 April 2016, negosiasi dikabarkan sudah mengerucut. Intelijen Filipina berhasil membujuk penyandera untuk membebaskan para tawanan tanpa uang tebusan. Informasi itu pun sudah sampai ke telinga Presiden Joko Widodo. Pemerintah kemudian merancang skenario untuk pemulangan para sandera tersebut dari Filipina.
Sesuai dengan prosedur, sandera akan diserahkan oleh pemerintah Filipina kepada Indonesia dalam sebuah acara diplomatik. Penyerahan para WNI itu akan dilakukan di Manila, ibu kota Filipina.
Benar saja, Minggu, 1 Mei 2016, sekitar pukul 03.00 waktu setempat, sandera dibawa oleh penculik ke Kepulauan Tawi-Tawi, yang lebih dekat dengan perairan Malaysia. Dari situ, mereka dibawa ke Pulau Jolo, yang berjarak 12 jam perjalanan menggunakan perahu ke arah utara.
Setiba di pesisir Pantai Parang, Pulau Jolo, para sandera itu disambut oleh Yayasan Sukma. Namun informasi lain menyebutkan ada pula tim lainnya dari Indonesia yang ikut dalam penjemputan sandera pada siang itu. Tim ini pulalah yang membawa para sandera ke rumah Gubernur Sulu memakai kendaraan roda empat.
Turun di rumah Gubernur Sulu, kesepuluh Sandera dijamu makan siang dan diperiksa kesehatannya. Dari situ, rencananya para sandera akan dibawa ke Manila oleh tentara Filipina memakai dua helikopter.
Namun skenario tiba-tiba berubah. Helikopter itu ternyata menurunkan para sandera di pangkalan militer di Zamboanga, arah utara dari Sulu. Di pangkalan udara tersebut sudah terparkir jet pribadi milik Surya Paloh. Logo Partai NasDem dan Victory News terpampang di jet berwarna putih itu.
Victory News adalah harian jaringan Media Group khusus Nusa Tenggara Timur. Ketua Fraksi NasDem Viktor Bungtilu Laiskodat tercatat sebagai salah satu petinggi perusahaan media itu. Viktor pun ada di dalam pesawat penjemput sandera.
Jet pribadi Surya Paloh mengangkut kesepuluh WNI dengan lebih dulu transit di Balikpapan, Kalimantan Timur, untuk mengisi bahan bakar. Pesawat mendarat mulus di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, sekitar pukul 23.30 WIB.
Sebelum pesawat tiba di Indonesia, Yayasan Sukma sudah menyebarkan rilis ke media massa. Menurut mereka, Yayasan Sukma-lah yang berhasil membebaskan para sandera. Mereka berdialog dengan sejumlah tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga kemanusiaan di daerah Sulu yang memiliki akses langsung dengan pihak Abu Sayyaf.
Sandera disambut oleh Menteri Retno dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Namun tidak ada satu pun perwakilan Yayasan Sukma yang hadir di Istana Bogor mendampingi Presiden Jokowi saat memberikan keterangan resmi mengenai pembebasan sandera itu.
Jokowi mengatakan banyak sekali pihak yang terlibat dalam pembebasan 10 sandera tersebut. Karena itu, ia berterima kasih kepada pihak-pihak di dalam negeri yang telah memberikan bantuan, baik secara formal maupun informal. Jokowi juga berterima kasih kepada pemerintah Filipina.
“Tanpa kerja sama yang baik, upaya pembebasan tersebut tidak mungkin membuahkan hasil yang baik,” ujar Presiden.
http://x.detik.com/detail/investigas...dera/index.php
Semoga dg hasil investigasi ini tidak ada lagi saling klaim paling berjasa, karena tanpa klaim apa yg mereka lakukan akan menuai hasil positif dikemudian hari, terima kasih, bapak dan ibu yg telah terlibat dan berhasil pulangkan WNI yg disandera dengan selamat, semoga sisa yg empat orang segera menyusul bebas, Amien....

Diubah oleh aghilfath 10-05-2016 15:42
0
2.8K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan