- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Bukan politik, dan kembangkan cinta ( ga ada dukung mendukung politik ya ....Pls)


TS
noviati_cantik
Bukan politik, dan kembangkan cinta ( ga ada dukung mendukung politik ya ....Pls)
Tulisan ini aku share dari fb yang bersangkutan menarik sekali bagaimana bullyan jadi semangat bagaimana ketakutan menjadi cinta link fbnya kalau minat pm dech ........
Budi Widjaja
Aku lahir di era orde baru, tiap hari dimaki Cina, ditimpukin dan dipalak setiap pulang sekolah.
Kemudian SMA aku sekolah di US selama 7 thn dan tinggal bersama dengan 7 org lainnya, dari Gorontalo, Menado, Jawa, Sunda, dan Betawi.
Selama disana aku tidak pernah dimaki Cina, tetapi yang ada kita selalu berbagi pengetahuan ttg budaya suku kita masing2. Bahkan ketika kita ada masalah, kita selalu bersatu dan bangga sebagai Indonesia.
Pulang dari sana, aku masih sempat dipalak dan diteriaki Cina, sampai 1 hari preman di sekitar rumah aku melihat aku sedang mendorong motor untuk ikut demo di MPR (masa reformasi)
Ketika kerusuhan terjadi, preman2 itu malah menjadi teman dan melindungi aku, mungkin karena mereka melihat bagaimana saat itu aku berjuang untuk demokrasi di Indonesia.
Melihat banyak yang hidupnya sulit saat itu, aku membangun 1 program operasi pasar, menjual beras murah, baik dan disubsidi setiap bulan nya oleh para pengusaha di sekitar rumah aku.
Prog itu berjalan 1 thn.
Setelah itu aku bergabung dengan Ikatan Tionghoa Muda, yang kemudian sekarang menjadi INTI. Disaat itu perjuangan kita adalah bagaimana mendapatkan pengakuan negara bahwa Tionghoa juga salah satu suku di Indonesia.
Dan akhirnya di 2006 kita mendapatkan pengakuan tsb di era Gus Dur dan dihapuskan ketentuan mengenai SKBRI.
Pada saat itu, ada 1 pertanyaan besar di benak. Kita sudah di akui , so what? trus apa? apa kita hanya bisa berbangga dengan sebuah pengakuan? atau harusnya ada hal lain yang seharusnya kita lakukan sebagai bagian dari Indonesia
Sejak 98 aku sering naik turun gunung , tinggal bersama kuli kapal, bahkan hidup di jalanan untuk melihat kehidupan bawah.
Dan mencoba untuk membantu dengan berbagai cara, menjadi penterjemah , bakti sosial dan bahkan menjadi relawan rescue di lokasi bencana.
Ketika aku bantu di Pangandaran, aku dipeluk oleh masyarakat dan bahkan keluarga Pak RW menangis ketika kita harus berpisah
Ketika aku di Padang, aku bertemu dengan seorang nenek yang mengatakan dalam bahasa padang dengan arti “Sekarang Dek sudah punya kampung, jadi sering2 lah pulang"
Aku nulis ini , dikarenakan tergelitik ketika melihat tulisan “Ganyang Cina”. Dan bagaimana muncul kekhawatiran dari banyak org.
Sekarang sudah Era IT, informasi cepat beredar. Masyarakat juga sudah semakin sadar. Memang masih banyak yang bodoh dan mudah dibeli, tapi apakah kita juga harus terbawa oleh manuver politik tsb.
Mungkin kita bisa berpikir dengan cara lain. Sudah cukupkah kita berbuat untuk Indonesia ? Sudah cukupkah kita peduli dengan sesama Indonesia? Sudah cukupkah kita mendidik Indonesia?
Karena selama ini aku berkeliling di nusantara Indonesia, tidak ada lagi yang meneriaki aku “Cina”, tetapi malah yang ada , “adiknya ahok ya smile emoticon"
Kematian pasti datang, kita tidak tahu kapan. Dan ketika kematian datang, tidak ada yang bisa menghindari. Jadi kenapa harus pusing dengan kematian , bukan berarti kita cari mati. Tapi mungkin lebih penting kalau kita berpikir apa yang kita sudah lakukan dalam hidup kita. Karena pada akhirnya ketika kematian datang, perbuatan dalam hidup kita lah yang akan dinilai.
Jadi kenapa harus takut dengan “Ganyang Cina “, mungkin kita harus mulai pasang sepanduk “Kembangkan Cinta"
Budi Widjaja
Aku lahir di era orde baru, tiap hari dimaki Cina, ditimpukin dan dipalak setiap pulang sekolah.
Kemudian SMA aku sekolah di US selama 7 thn dan tinggal bersama dengan 7 org lainnya, dari Gorontalo, Menado, Jawa, Sunda, dan Betawi.
Selama disana aku tidak pernah dimaki Cina, tetapi yang ada kita selalu berbagi pengetahuan ttg budaya suku kita masing2. Bahkan ketika kita ada masalah, kita selalu bersatu dan bangga sebagai Indonesia.
Pulang dari sana, aku masih sempat dipalak dan diteriaki Cina, sampai 1 hari preman di sekitar rumah aku melihat aku sedang mendorong motor untuk ikut demo di MPR (masa reformasi)
Ketika kerusuhan terjadi, preman2 itu malah menjadi teman dan melindungi aku, mungkin karena mereka melihat bagaimana saat itu aku berjuang untuk demokrasi di Indonesia.
Melihat banyak yang hidupnya sulit saat itu, aku membangun 1 program operasi pasar, menjual beras murah, baik dan disubsidi setiap bulan nya oleh para pengusaha di sekitar rumah aku.
Prog itu berjalan 1 thn.
Setelah itu aku bergabung dengan Ikatan Tionghoa Muda, yang kemudian sekarang menjadi INTI. Disaat itu perjuangan kita adalah bagaimana mendapatkan pengakuan negara bahwa Tionghoa juga salah satu suku di Indonesia.
Dan akhirnya di 2006 kita mendapatkan pengakuan tsb di era Gus Dur dan dihapuskan ketentuan mengenai SKBRI.
Pada saat itu, ada 1 pertanyaan besar di benak. Kita sudah di akui , so what? trus apa? apa kita hanya bisa berbangga dengan sebuah pengakuan? atau harusnya ada hal lain yang seharusnya kita lakukan sebagai bagian dari Indonesia
Sejak 98 aku sering naik turun gunung , tinggal bersama kuli kapal, bahkan hidup di jalanan untuk melihat kehidupan bawah.
Dan mencoba untuk membantu dengan berbagai cara, menjadi penterjemah , bakti sosial dan bahkan menjadi relawan rescue di lokasi bencana.
Ketika aku bantu di Pangandaran, aku dipeluk oleh masyarakat dan bahkan keluarga Pak RW menangis ketika kita harus berpisah
Ketika aku di Padang, aku bertemu dengan seorang nenek yang mengatakan dalam bahasa padang dengan arti “Sekarang Dek sudah punya kampung, jadi sering2 lah pulang"
Aku nulis ini , dikarenakan tergelitik ketika melihat tulisan “Ganyang Cina”. Dan bagaimana muncul kekhawatiran dari banyak org.
Sekarang sudah Era IT, informasi cepat beredar. Masyarakat juga sudah semakin sadar. Memang masih banyak yang bodoh dan mudah dibeli, tapi apakah kita juga harus terbawa oleh manuver politik tsb.
Mungkin kita bisa berpikir dengan cara lain. Sudah cukupkah kita berbuat untuk Indonesia ? Sudah cukupkah kita peduli dengan sesama Indonesia? Sudah cukupkah kita mendidik Indonesia?
Karena selama ini aku berkeliling di nusantara Indonesia, tidak ada lagi yang meneriaki aku “Cina”, tetapi malah yang ada , “adiknya ahok ya smile emoticon"
Kematian pasti datang, kita tidak tahu kapan. Dan ketika kematian datang, tidak ada yang bisa menghindari. Jadi kenapa harus pusing dengan kematian , bukan berarti kita cari mati. Tapi mungkin lebih penting kalau kita berpikir apa yang kita sudah lakukan dalam hidup kita. Karena pada akhirnya ketika kematian datang, perbuatan dalam hidup kita lah yang akan dinilai.
Jadi kenapa harus takut dengan “Ganyang Cina “, mungkin kita harus mulai pasang sepanduk “Kembangkan Cinta"




0
1.1K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan