BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Agus Widjojo: Rekomendasi, satu kepala tak bisa dinilai Rp1 miliar

Hampir tiga pekan "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" berlalu. Tapi, rekomendasi belum kunjung terlihat hingga hari ini.

Padahal, Agus Widjojo menyatakan, rekomendasi akan terbit tiga hari pasca acara simposium. Pemerintah kemudian bersikap didasari rekomendasi itu.

"Presiden dan Menko (Luhut Pandjaitan)-nya masih sibuk," ujar Agus, yang merupakan Ketua Panitia Pengarah Simposium, Ahad (8/5/2016).

Berbagai masukan dalam acara, kata Agus, telah diakomodir tim perumus. Ia mengaku belum bisa memaparkan lebih jauh. Yang jelas, rekomendasi bisa berupa anjuran pemberian rehabilitasi dan kompensasi terhadap keluarga korban.

"(Rekomendasi) sedang disempurnakan," kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini kepada Fajar WH, Yandi Mohamad, Heru Triyono dan fotografer Bismo Agung di ruang kerjanya, Gedung Lemhanas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, akhir April lalu.

Agus adalah kunci di balik simposium, tentunya juga politikus senior Sidarto Danusubroto--Anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Namun Agus lebih disorot karena bekas perwira militer, sehingga banyak dikritik koleganya sendiri.

"Saya dituduh kiri," ujar putra Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo yang gugur pada tragedi 1965, tertawa.

Intinya, dituturkan Agus, simposium ditentang sejumlah kalangan: dari mulai aktivis, pelaku sejarah--baik yang melakukan operasi penghilangan paksa kader dan juga simpatisan Partai Komunis, maupun keluarga korban.

Tapi Agus pantang mundur. Sebagai putra pahlawan revolusi, ia mengaku gerah dengan penyelesaian tragedi kemanusiaan 1965--yang tidak tuntas lebih dari setengah abad.

Sebab itu, ia bersama beberapa rekan lain, yang tergabung di Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), mengambil inisiatif menggelar simposium, hingga akhirnya didukung oleh pemerintah.

Seperti apa dinamika penyusunan rekomendasi yang disebut Agus berjalan alot? Lalu, bagaimana juga di balik penyelenggaraan simposium, serta teror yang diterimanya? Berikut penuturan pria 68 tahun ini:

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional yang juga Ketua Panitia Pengarah "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan", Agus Widjojo, berpose depan kamera usai wawancara dengan Beritagar.id di halaman Gedung Lemhanas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (27/4/2016).

Anda menyatakan rekomendasi bakal terbit tiga hari pasca simposium, tapi rekomendasi belum kunjung terlihat hingga hari ini...Menko (Luhut Pandjaitan) maupun Presiden (Joko Widodo) sering ke luar kota. Jadi belum bisa. Waktu luang ini kita manfaatkan untuk menyempurnakan rekomendasi.

Rekomendasi yang sedang disempurnakan itu apakah sebenarnya sudah jadi, artinya tinggal dilaporkan saja?Sebelum dimulai simposium sudah jadi kok ha-ha-ha. Semuanya ada di sini (menunjuk kepala). Asalkan semua pihak mau melihat jernih. Jangan memasukan kepala ke dalam lubang seperti burung unta.

Ini hanya persoalan kemauan politik dan keikhlasan saja. Bayangkan, masa pendamping korban lebih galak dari korbannya sendiri. Tapi itulah dinamika dalam penyusunan (rekomendasi).

Bukankah di dalam tim perumus sudah mengakomodir semua pihak. Ada unsur dari lembaga swadaya masyarakat, aktivis, keluarga korban, Komnas HAM, dan tentunya Anda sendiri...Pasti selalu ada saja dinamika di dalamnya. Tapi poinnya adalah rekonsiliasi ya untuk semua. Rekomendasi diharapkan berpusat kepada anatomi rekonsiliasi.

Anatomi itu mencakup pengakuan dan pengungkapan kebenaran?Yang Anda sebut itu bagian dari anatomi. Pasti ada semua, termasuk rehabilitasi (pemulihan nama baik) dan kompensasi (ganti rugi). Harus ada, karena kalau tidak ada, apa artinya rekonsiliasi?

Rehabilitasi dan kompensasi terhadap korban (pelanggaran HAM 1965), seberapa besar?Ganti rugi jangan diartikan dalam bentuk uang. Rumusan umumnya adalah memulihkan kembali harkat dan martabat manusia Indonesia ke sebuah masyarakat baru Indonesia.

Jika Anda korban dan memiliki saudara yang meninggal, kan tidak bisa dihidupkan kembali. Apa mau dihargai dengan uang? Kok tidak manusiawi sekali. Lebih berharga ketika kita bicara akses pendidikan, pekerjaan dan kesehatan--yang dulunya dihambat, sekarang dijamin negara. Itu poinnya.

Perlakuan itu diutamakan untuk generasi berikutnya (dari korban). Jadi, anak korban harus sama dengan haknya dengan anak yang bukan korban. Anak korban juga harus sama kesempatannya dengan anak Pak Jokowi. Tidak ada lagi diskriminasi dan stigmatisasi. Bukan kompensasi dengan pengertian satu kepala berharga Rp1 miliar.

Apa iya negara mau melewati tahapan rekonsiliasi itu, misalnya mengaku bersalah?Mana ada orang mau mengaku sih? Intinya mau atau enggak rekonsiliasi? Kalau tidak mau ya sudah. Rekonsiliasi hanya bagi orang yang punya niat untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Lepaskan beban masa lalu, tapi tidak melupakan. Kalau masih berpikir minta pengakuan jangan bicara rekonsiliasi.

Jaminannya apa rekomendasi itu akan dilaksanakan pemerintah?Kami tidak meminta jaminan, dan meminta itu bukan copyright kita. Yang penting Presiden sudah niat menyelesaikan persoalan ini.

Ada harapan kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk tragedi 1965, bisa selesai di masa Presiden Jokowi?Tentu ada. Buktinya Presiden mendukung simposium, meski banyak pertentangan sana sini.

Kenapa pemerintah di awal simposium tegas menyatakan tidak akan meminta maaf?Itu masalah semantik (kode) yang diberi bobot politis. Bagus juga, supaya ada setruman awal, agar semuanya bangun.

Anda sendiri setuju jika pemerintah minta maaf?Saya sendiri termasuk yang tidak setuju. Kenapa cuma pemerintah yang minta maaf, memangnya dia saja yang salah. Kok mengesankan PKI tidak salah.

Maksud pemerintah itu menolak minta maaf ke PKI atau ke keluarga korban?Tidak spesifik disebutkan ke PKI atau keluarga korban. Pemerintah hanya bilang tidak akan minta maaf, itu saja.

Bagaimana jika keluarga korban yang memberi maaf kepada negara. Seperti yang direncanakan Ilham Aidit, anak bungsu dari DN Aidit...Itu kan main-mainan retorika saja he-he. Biasa, retorika pendatang baru dalam politik.

Jika benar-benar dari pihak korban memberi maaf, bagaimana pemerintah meresponsnya?Tetap harus ada garis rekonsiliasi, tidak bisa serta merta. Saya terkadang memandang definisi korban itu seperti mitos. Ada yang mengorbankan dirinya sendiri dengan menyatakan dia adalah korban.

Padahal pengertian korban itu privilege lho. Harusnya mereka mengorbankan diri demi masa depan bangsa.

Artinya Anda tidak setuju PKI diposisikan sebagai pihak korban?PKI itu bukan korban yang perlu dikasihani. Sebelum 1 Oktober 1965 mereka juga berlumuran darah tangannya. Maka itu untuk mendapatkan objektivitas, dilakukan pendekatan sejarah--dengan meneropongnya sejak peristiwa Madiun 1948.

Tiap kelompok itu memiliki collective memory (ingatan kolektif) berbeda. Yang anti komunis juga mengingat keganasan PKI sebelum 1965.

Tapi jumlah korban dari tragedi kemanusiaan 1965 tidak sebanding dengan Madiun 1948...Mungkin waktunya singkat ketika itu (1948), apalagi Belanda keburu datang dengan agresi militer keduanya--sehingga kasus Madiun tidak selesai. Padahal sejumlah kiai--yang dilabeli sebagai 7 setan desa dibunuh. Kira-kira ada 10-20 kiai, yang memang tidak sebanding (dengan 1965). Tetapi kan tetap ada pembunuhan massal.

Nah, PKI harus menerima bahwa mereka dianggap menakutkan, karena memperjuangkan ideologi dengan kekerasan. Sehingga muncul istilah phobia komunis atau bahaya laten yang didengungkan TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Apakah sampai sekarang TNI masih mencium adanya bahaya laten itu?Ada. Makanya saya ingin PKI melihat realitas kenapa orang takut sama mereka, tentu ada alasannya.

Memangnya bahaya laten yang mungkin dimunculkan oleh PKI itu apa?Kalau mereka lahir kembali, kemudian ada perebutan kekuasaan, mereka mungkin akan menggunakan kekerasan lagi. Seperti saya bilang tadi kiai itu dibunuh oleh mereka karena dinilai menghambat jalannya perubahan di pedesaan. Mereka bahkan membentuk angkatan ke lima, ngawur.

Ada pertanyaan hipotetis yang saya yakin tidak disukai oleh korban. Bagaimana kalau ternyata PKI menang? Kita yang akan digorok.

Tapi film The Act of Killing yang dibesut sutradara Joshua Oppenheimer menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi pada 1965...Film itu tidak bisa dijadikan rujukan sejarah. Karena tidak diperlihatkan konteksnya.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional yang juga Ketua Panitia Pengarah "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan", Agus Widjojo, saat wawancara dengan Beritagar.id di ruang kerjanya, Gedung Lemhanas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (27/4/2016).

Bagaimana cerita awalnya sampai kemudian ada simposium tersebut?Setahun lalu, di Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), yang ada saya juga di dalamnya, berniat mengadakan seminar. Tapi saya mau levelnya nasional, bukan hanya tingkat FSAB saja. Tapi kenyataannya memang sulit. Semua pihak yang saya ajak lepas tangan karena tidak mau ambil risiko.

Saya kemudian membuat konsep rekonsiliasi dengan pendekatan sejarah. Karena itu judulnya "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan". Saya juga baca di media, pemerintah sedang mencari bentuk model untuk menjawab tuntutan publik terhadap janji kampanye penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Jadinya klop.

Kemudian saya bertemu Pak Luhut, dan dia punya pendapat sama, kemudian dia memberikan arahan untuk melaksanakan simposium. Ketika itu Pak Sidarto juga menawarkan konsep rehabilitasi untuk korban. Jadi dua-duanya berjalan paralel.

Dari mana Anda pelajari konsep rekonsiliasi itu?Saya sempat menjabat anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-Timtim yang menangani dugaan pelanggaran HAM Indonesia di Timor Timur. Persis modelnya, jadi saya memakai pengalaman itu.

Intinya di komisi itu kami tidak mencari siapa pembunuhnya, juga berapa jumlah korbannya. Dari situ juga saya belajar security dilemma (perasaan tidak aman dari suatu negara yang muncul akibat aktivitas yang dilakukan negara lain), dan bagaimana membangun kepercayaan.

Misalnya perang dingin antara Amerika dan Soviet dulu. Mereka sepakat untuk membongkar nuklir mereka. Tapi pas pelaksanaan saling tunggu siapa yang bongkar duluan. Karena jika salah satu membongkar nuklirnya, kemudian diserang, habis sudah.

Nah, ketika simposium juga begitu. Saling curiga. Yang kanan, rekonsiliasi seolah mengembalikan kiri ke atas permukaan. Untuk yang kiri, mereka curiga rekonsiliasi itu untuk memberikan imunitas.

Untuk bisa saling percaya maka rekonsiliasi bicara kepentingan bangsa, bukan soal siapa salah siapa mati. Kita harus bisa menjawab kenapa kita bisa saling bunuh dalam jumlah besar.

Apa bedanya simposium ini dengan seminar-seminar sebelumnya? Misalnya seminar "Re-Examining 30 September 1965 as an Historical Event", yang diselenggarakan Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) beberapa tahun lalu?Bedanya civil society saat ini bisa bekerja sama dengan pemerintah. Kedua, kita mencari keseimbangan sejarah, antara sesudah 1 Oktober 1965, yang selama ini jadi dasar keributan, dengan sebelum 1 oktober 1965. Artinya semua pihak yang terlibat dalam tindak kekerasan itu harus bertanggung jawab, tidak bisa menyalahkan satu pihak saja.

Kelompok-kelompok radikal sangat sensitif dengan segala isu yang menyangkut tragedi 1965. Dari awal sudah menghitung risiko yang akan dihadapi?Pertentangan dari kelompok antikomunis memang tinggi, termasuk dari TNI. Risiko itu pasti ada, bahkan TOR (Term Of reference) sampai diperebutkan oleh panitia simposium sendiri. Ada yang mau digeser pembahasannya sebelum 1965, ada juga yang setelah 1965. Menarik he-he.

Tapi, justru pertentangan itu jadi a blessing in disguise buat kami. Karena ada penolakan dari berbagai pihak, yang menunjukkan bahwa kami tidak berpihak.

Lantas siapa yang kemudian ada di pihak Anda?Pak Luhut ha-ha-ha. Karena dia yang kasih tempat dan makan.

Akan ada simposium lanjutan setelah ini?Tergantung. Tapi menggelarnya tidak mudah. Karena jika digelar di daerah apakah keamanannya terjamin. Apakah panitia selain kami menguasai ruh rekonsiliasi? Kita lihat bagaimana kebutuhannya ke depan.

Simposium ini peristiwa bersejarah yang tak terjadi dalam pemerintahan sebelumnya. Presiden Jokowi punya peran?Dia itu raja politik, semua kewenangan ada di dia he-he. Pun, dengan sistem presidensial, segala kebijakan tentunya banyak dipengaruhi sikap presiden.

Anda pernah mengajukan simposium sejenis saat zaman Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono?Ketika itu cuma penjajakan saja, karena sikap Pak SBY lebih kepada: "jangan mengganggu macan yang sedang tidur".

Apakah ada ancaman atau teror kepada Anda untuk membatalkan acara simposium?Ya ada itu, saya baca saja pesannya he-he, tapi tidak saya balas.

Teror itu datang dari pihak kanan atau kiri?Lebih banyak dari kanan ya ha-ha. Mereka bilang saya ini mau apalagi sih. Malah ada yang menuding saya condong ke kiri.

Memangnya benar Anda condong ke kiri selama ini?Ya mungkin ya. Orang kan tidak tahu juga, bahwa sebetulnya Agus Widjojo itu menjalankan misi orde baru ha-ha-ha. Atau jangan-jangan ini pesanan Putin. Nah lho, ah sudahlah.


Sumber : https://beritagar.id/artikel/bincang...lai-rp1-miliar

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.5K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan