- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kiunga 30 September 2014: Benderamu Menghalangi Matahariku


TS
cesarmy_one
Kiunga 30 September 2014: Benderamu Menghalangi Matahariku

Sudah hampir 30 tahun John Wakum tinggal di Papua Nugini. Dia adalah salah satu orang yang paling dihormati kalangan masyarakat pengungsi Papua Barat di kota ini. Dia seorang aktivis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Tiga puluh tahun sejak dia datang ke negeri ini, impiannya masih sama: Papua harus merdeka dari Indonesia.
Lelaki 67 tahun ini kurus kering. Jenggot putih tebal menyelimuti janggutnya. Syal melingkar di lehernya. Dia terus terbatuk, mengaku sudah dua hari dia tidak bisa turun dari ranjang, dan baru hari ini dia bisa keluar menikmati matahari. Kami duduk di beranda rumahnya yang terbuat dari kayu. Di dalam rumah itu, tepat di hadapan pintu masuk, terpampang sebuah bendera besar dengan lambang bintang dan garis-garis putih biru. Itu bendera Bintang Kejora. Bendera Papua Merdeka.
John Wakum berasal dari Biak, menuntut ilmu tata negara di Universitas Cendrawasih. Pendidikan tinggi yang ditempuhnya di Indonesia justru membuatnya selalu bertanya kenapa negerinya masih juga terjajah. Dia pernah menjadi kepala bagian sebuah badan pembangunan, sehingga dia bekerja ke daerah-daerah terpencil dan rawan di pedalaman Papua. Misalnya di Asiki, dia bekerja pada proyek pengasapan karet dan di Nabire untuk pembuatan sagu. Selama bekerja di pedalaman Papua, dia terus menanamkan pemahaman tentang kemerdekaan terhadap orang-orang Papua yang ditemuinya.
Dia juga pernah ikut pelatihan resimen mahasiswa di Jakarta. Dia mengikuti latihan militer dan sempat dipersiapkan berangkat ke Timur Tengah sebagai bagian dari pasukan perdamaian Garuda V. Pengetahuan yang dia dapat dari latihan militer Indonesia itu kini dia gunakan untuk memberi masukan strategi kepada rekan-rekan OPM yang masih berjuang di dalam hutan di pedalaman wilayah Indonesia.
Selama berbincang dengan saya, dia hampir tidak pernah lepas dari kata ‘merdeka’. Tentu ada sebuah luka yang sangat dalam di batinnya, yang membuatnya melihat bahwa hidup ini hanyalah tentang perjuangan mencapai kemerdekaan.
Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda membuat kesepakatan di kantor pusat PBB di New York atas nasib Papua Barat. Kesepakatan itu dikenal sebagai Perjanjian New York, menetapkan bahwa pada 1969 akan diadakan referendum untuk menentukan nasib Papua, apakah akan merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Semua orang dewasa Papua berhak memberikan suara. Selama masa transisi, kekuasaan atas Papua berada di tangan badan PBB.
Tetapi, pada 30 September tahun yang sama, muncul perjanjian lain yang ditandatangani Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat. Perjanjian Roma itu berisi:
Referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat yang dijadwalkan pada tahun 1969 oleh Perjanjian New York untuk ditunda atau mungkin dibatalkan.
Indonesia akan berkuasa di Papua Barat selama 25 tahun, terhitung dari Mei 1963
Metode Penentuan Pendapat Rakyat akan menggunakan “sistem musyawarah” seperti praktik parlemen Indonesia.
Laporan PBB mengenai pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat yang disampaikan dalam Sidang Umum PBB akan diterima tanpa debat terbuka.
Amerika Serikat bertanggung jawab untuk melakukan investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksplorasi mineral, minyak, dan sumber daya lain di Papua Barat.
Amerika Serikat menjamin dana sebesar US$30 juta melalui badan pembangunan PBB UNDP untuk membangun Papua Barat selama kurun 25 tahun itu.
Amerika Serikat menjamin Bank Dunia mendanai Indonesia untuk mencanangkan dan menerapkan program transmigrasi untuk menempatkan warga Indonesia di Papua mulai tahun 1977.
Jelaslah dalam Perjanjian Roma yang diam-diam dilaksanakan menggantikan Perjanjian New York ini, Amerika Serikat sangat berkepentingan untuk mendapatkan hasil bumi di Papua, dan Indonesia juga berkepentingan untuk mendapatkan jaminan teritorial Papua tanpa risiko. Bagaimana pun juga, dua perjanjian itu sama sekali tidak melibatkan pendapat orang Papua.
Pelaksanaan Pemungutan Pendapat Rakyat (Pepera), atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Acts of Free Choice, sama sekali bukan tentang pilihan bebas. Menurut Perjanjian New York yang disetujui PBB, seharusnya dalam Pepera setiap lelaki dan perempuan Papua yang bukan warga asing berhak memberikan suara. Tetapi Indonesia secara sepihak mengubah itu dengan sistem musyawarah mufakat: 1.025 lelaki Papua dipilih untuk mewakili 800 ribu warga Papua. Mereka juga tidak memberikan suara secara rahasia, melainkan secara terbuka di hadapan militer Indonesia. Hasilnya bisa diduga: 100 persen setuju Papua bergabung dengan Indonesia.
Utusan khusus PBB, Fernando Ortiz-Sans dalam laporannya menulis “Pepera telah berlangsung sesuai dengan praktik di Indonesia,” tetapi sama sekali tidak mengonfirmasi apakah ini sesuai dengan praktik internasional sebagaimana yang disyaratkan. PBB sebenarnya mengetahui, tetapi tidak bicara apa-apa. Papua menjadi bagian wilayah Indonesia, disetujui dunia.
John Wakum ingat, orang-orang yang terpilih untuk memberi suara dalam Pepera itu dikumpulkan oleh tentara dan diberi pengarahan khusus, juga diancam keselamatan keluarga mereka apabila memberi suara yang tidak sesuai keinginan Indonesia.
Masing-masing dari para lelaki Papua itu juga mendapat hadiah radio dari Indonesia. “Negeri saya hanya dibeli dengan radio transistor enam baterai!” seru John Wakum penuh emosi. Matanya berkaca-kaca.
Papua tidak pernah merdeka, senantiasa terjajah. Sebelum berada di bawah kontrol PBB dan Indonesia pun, Papua diduduki Belanda, yang nyaris tidak pernah melakukan pembangunan apa-apa di sana. Baru di tahun-tahun terakhir, Belanda mulai mempersiapkan kemerdekaan Papua. Bagi John Wakum, ini seperti Jepang yang juga membantu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Belanda memang telah memberikan harapan besar bagi orang Papua di tahun 1961. Mereka membentuk Dewan Papua, juga mengirim pemuda Papua untuk belajar ke negeri Belanda. Mereka telah membuat mata uang Netherland Nieuw Guinea Gulden, membuat lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, juga bendera nasional: Bendera Bintang Kejora. Itulah bendera Papua Belanda (“Nugini Belanda”) yang hanya berkibar 1 tahun sebelum Papua berada di bawah kendali PBB pada tahun 1962. Bendera itu kini menjadi simbol gerakan Papua Merdeka.
Di masa Orde Baru, represi terhadap orang Papua sangat menjadi-jadi. John Wakum menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang Papua disiksa dan dibunuh oleh aparat Indonesia tanpa alasan. Negeri itu diubah namanya menjadi Irian Jaya (konon Irian adalah singkatan dari “Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands”). Nama Papua menjadi kata terlarang, tidak boleh disebut sama sekali. (Saya ingat zaman itu banyak orang kita yang bahkan menyebut Papua Nugini sebagai Irian Timur). Rezim Suharto ketat mengontrol media, sehingga kita orang Indonesia di zaman itu tidak pernah mendengar tentang penindasan, dan tidak pernah tahu berapa banyak orang Papua yang dibantai.
Semakin ditekan, keinginan untuk merdeka itu semakin besar. Di masa Orde Baru, terjadi pembunuhan massal di Jayapura karena pengibaran bendera bintang kejora oleh simpatisan OPM. Pembunuhan itu menyebabkan migrasi besar-besaran orang Papua pada tahun 1984. Ribuan orang Papua menyeberang perbatasan ke timur, ke Papua Nugini.
John Wakum adalah salah satunya. Dari Jayapura dia ikut mengungsi ke daerah perbatasan. Lalu PBB menyediakan kamp khusus bagi para pengungsi Papua Barat. Lokasinya di East Arwin, tidak jauh dari Kiunga.
Tiga puluh tahun sudah para pengungsi Papua Barat tinggal di Papua Nugini. Sebagian besar mereka masih tinggal di kamp-kamp di perbatasan. Tanpa status dan tanpa layanan apa-apa. Saya sudah melihat kondisi hidup mereka yang sangat memprihatinkan di kamp-kamp sepanjang Sungai Fly. Di kota Kiunga ini pun mereka tinggal di corner—daerah permukiman kumuh di tepi Sungai Fly, tanpa listrik dan tanpa air, tanpa toilet yang memadai. Rumah panggung sering terendam luapan sungai sehingga mereka harus bepergian ke mana-mana dengan perahu.
Para pengungsi Papua Barat yang setuju direlokasi ke East Arwin akan mendapat status resmi dari PBB sebagai pengungsi. Mereka juga berhak mendapat dokumen perjalanan dan mengajukan permohonan kewarganegaraan Papua Nugini. John Wakum beberapa bulan lalu baru mengajukan permohonan menjadi warga Papua Nugini, dan hingga kini masih menunggu hasilnya.
Setelah berakhirnya Orde Baru, Indonesia memasuki era keterbukaan, dan keadaan di Papua lambat laun berubah. John Wakum sudah tiga kali kembali ke Papua: dua kali di tahun 2000 dan sekali di tahun 2001, untuk menghadiri musyawarah besar orang Papua di Sentani dan Kongres Papua Merdeka. Saat kembali ke Jayapura, dia melihat memang Indonesia sudah banyak membangun di Papua, dan itu bagus. Tapi pemerintah RI selalu dibayangi ketakutan besar akan pertemuan itu, sehingga banyak kapal perang dikirim ke Jayapura untuk mengintimidasi. “Jika RI benar memperlakukan kami sebagai manusia, kenapa hak-hak dasar kami diabaikan?” keluhnya.
Pemerintah Indonesia sudah menawarkan repatriasi kepada para pengungsi Papua di Papua Nugini. Mereka menjanjikan akan memberikan tanah dan rumah kepada para pengungsi Papua yang mau pulang ke Indonesia. Tetapi John Wakum merasa ini hanya akal-akalan pemerintah Indonesia. “Di mata Indonesia, kami ibarat kerikil dalam sepatu,” katanya, “Mereka menggunakan orang Papua untuk membujuk orang Papua pulang. Setelah pulang, janji-janji pemerintah Indonesia tidak pernah ditepati. Kalau program repatriasi dijalankan dengan baik, jujur, benar, adil, kami akan pulang. Kenyataannya, mereka yang pulang juga tidak dapat apa-apa. Namun perlu diingat, walaupun kami pulang, tuntutan kami untuk merdeka tidak akan berhenti, karena itu ada dalam darah kami.”
Saya sebelumnya pernah berbicara dengan sejumlah pejabat kabupaten Papua saat pertemuan perbatasan di Papua Nugini. Mereka mengatakan kesulitan pemulangan repatriasi ini adalah protes dari warga Papua yang ada di Indonesia. “Kalau yang memberontak dikasih tanah, dikasih rumah, sedangkan kami yang tidak memberontak tidak dapat apa-apa, bukankah lebih baik kami memberontak saja?” begitu mereka menirukan.
“Di mana rumah Anda yang sebenarnya?” saya bertanya pada John Wakum.
“Kami adalah manusia dalam perlawanan. Rumah kami bisa di pinggir jalan, di bawah pohon, di pinggir sungai, di tengah hutan, di mana pun. West Papua adalah rumah jika Indonesia sudah pergi dari situ. Kalau tidak, Kiunga adalah rumah, kamp-kamp di sepanjang perbatasan adalah rumah, di mana saja adalah rumah.”
John Wakum berbicara dengan saya menggunakan bahasa Indonesia yang sangat fasih. “Apabila yang Anda lawan adalah Indonesia, mengapa Anda masih menggunakan bahasa mereka?” saya bertanya.
“Karena saya tahu saat ini akan datang. Dengan bahasa Melayu, saya bisa berbicara kepada Anda tentang perjuangan kami, supaya Anda dan orang-orang Anda dengar dan paham. Anak-anak di sini kami juga tetap kami latih berbahasa Melayu.”
John Wakum menambahkan, “Senjata saya adalah pena, perjuangan saya tidak selalu dengan senjata.” Dia menyurati teman-teman pendukung Papua Merdeka di seberang perbatasan sana, agar tidak menyerah, loyo, lemah. Dia yakin, perjuangan ini kelak akan mencapai hasilnya.
“Saya benar mengakui Indonesia adalah negara besar,” kata John Wakum, “Indonesia besar secara militer, besar secara ekonomi. Indonesia bisa menciptakan apa pun, Indonesia sudah punya mimpi Asia Raya. Tetapi jika Indonesia mau berbesar hati membebaskan Papua, maka Indonesia akan menjadi negara besar yang dihormati di Asia maupun Pasifik.”
Suara dari tubuh tua itu terdengar seperti ketidakberdayaan. Kenyataannya, sejarah semua bangsa di Kepulauan Pasifik memang adalah tentang penjajahan. Hingga hari ini pun, masih ada sejumlah koloni di Kepulauan Pasifik yang belum lepas dari penjajahan. John Wakum sangat tergugah oleh sebuah puisi yang ditulis oleh penulis Vanuatu: “Benderamu menghalangi matahariku.”
Penulis Vanuatu itu menulis tentang Kaledonia Baru, kepulauan jajahan Prancis yang terletak di sebelah timur Vanuatu. Bendera Prancis yang masih berkibar di sana membuat penulis itu merasa senasib sepenanggungan, terkungkung dan marah. Vanuatu hingga hari ini juga konsisten mendukung Papua Merdeka.
Benderamu menghalangi matahariku. Ketika John Wakum mengucap kalimat ini dengan penuh perasaan dan mata yang berkilat di hadapan saya, saya tahu yang dia maksudkan adalah bendera yang berkibar di negeri saya.
sumber : http://agustinuswibowo.com/13069/kiu...gi-matahariku/
0
3.7K
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan