- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
★★★ Perang Cyber Antar Pendukung, Kubu Ahok Masih Unggul ★★★


TS
GeorgeSatan
★★★ Perang Cyber Antar Pendukung, Kubu Ahok Masih Unggul ★★★
Perang Cyber Antar Pendukung, Kubu Ahok Masih Unggul
Senin, 18 April 2016 18:44 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta tinggal hitungan bulan.
Bisa dimaklumi jika suhu politik di Jakarta akhir-akhir ini memanas, bahkan menjadi isu nasional karena masifnya pemberitaan media massa soal perseteruan para kandidat maupun pendukungnya.
Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam beberapa survei disebutkan memiliki elektabilitas tertinggi dibandingkan dengan nama-nama yang bermunculan seperti Yusril Ihza Mahendra, Adyaksa Dault, Ahmad Dhani, Lulung Lunggana.
Hasil survei itu, langsung atau tidak langsung, bisa membuat para lawan Ahok keder. Sebaliknya, Ahok makin percaya diri dan menganggap kepemimpinannya di Jakarta selama ini berhasil.
Disadari atau tidak, elektabilitas Ahok yang masih tinggi seolah menjadi pemantik segala macam kegaduhan politik di Jakarta. Bahkan, kemudian menjadi isu nasional karena masifnya pemberitaan.
Masih terngiang jelas perseteruan antara Ahok dan beberapa anggota DPRD DKI Jakarta terkait banyak hal, mulai soal anggaran Pemprov DKI, kasus korupsi UPS dan sebagainya.
Satu sama lain saling tuduh. Saling menjatuhkan. Saling berusaha membunuh karakter. Tak sampai di situ, Ahok juga terlibat perang argument dengan beberapa anggota DPR RI, misalnya terkait penggusuran lokasi prostitusi Kalijodo, pembelian lahan RS Sumber Waras, reklamasi Teluk Jakarta, penggusuran Pasar Ikan dan sebagainya.
Penyebaran secama masif isu-isu negatif terhadap bakal calon gubernur menjadi salah satu cara paling efektif membunuh karakter si calon di hadapan masyarakat.
Dengan adanya black campaign seperti ini, simpati masyarakat akan berkurang dan akan berdampak kepada pilihan terhadap pemimpin mereka nantinya. Apalagi didukung dengan keterbukaan informasi dan mudahnya masyarakat mengakses berita, baik dari media elektronik, media cetak atau jejaring sosial.
Sigap
Terkait aksi saling sikut para kandidat gubernur DKI Jakarta, banyak kalangan melihat kemampuan para pendukung Ahok (ahokers) lebih jago dalam memback-up segala bentuk berita atau informasi yang menyudutkan idolanya.
Hal ini terlihat dari komentar-komentar di link berita di berbagai media online, dimana di saat ada lawan politik yang berupaya menjatuhkan citra Ahok, maka Ahokers segera membantah atau justru menghakimi narasumber yang dikutip dalam berita tersebut dengan tujuan untuk mempengaruhi pembaca lainnya.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Jayabaya, Lely Arrianie Napitupulu menilai, kesadaran terhadap pentingnya keberadaan ‘pasukan cyber’ dalam menghadapi pertarungan pilkada sudah seharusnya disadari para calon.
Berkaca pada pemilukada DKI Jakarta 2012 lalu, dimana pasukan cyber bernama Jokowi Ahok Social Media Volunteer (Jasmev) menjadi suksesor penting dalam meraih kemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.
“Teori komunikasi menjadi hal begitu penting bagi setiap calon. Tujuannya jelas, membentuk persepsi public, meraih simpati dan empati dan mempengaruhi masyarakat untuk kemudian memilihnya,” katanya kepada Warta Kota, Senin (18/4/2016).
“Dan saya melihat Ahok dan pendukungnya dalam hal ini sudah lebih dulu bergerak untuk mengawal perjalanan politik Ahok sampai di masa pemilihan nanti,” imbuhnya.
Hal seperti ini, menurut Lely, harusnya juga dilakukan oleh calon lain yang hendak maju dalam bursa pemilihan. “Jangan sampai nanti kehilangan momentum karena posisi Ahok sudah begitu kuat dalam hal perepsi publik,” tegasnya.
Hindari isu SARA
Saat ini, upaya menghadang Ahok kembali terpilih menjadi DKI-1 lebih banyak dilakukan secara konvensional dan tergesa-gesa, seperti aksi demo atau menyerang Ahok dengan isu-isu SARA yang justru kemudian akan menjadi senjata makan tuan karena kecerdikan para pendukung Ahok dalam menggiring opini publik melalui dunia internet.
“Semakin diserang dengan SARA, semakin banyak masyarakat yang akan mendukung Ahok, karena pada dasarnya pemilih di Jakarta itu rasional. Sebaiknya, lawan politik menggunakan menghindari mengangkat isu semacam itu karena sudah tidak akan mempan diterapkan di Jakarta,” jelasnya.
Sebaliknya, calon lain menurut Lely, berusaha membentuk citra dan karakter yang nantinya bisa menarik simpati publik.
“Misalnya kita tahu Ahok memiliki watak keras, ya calon lain bisa lawan dengan kesantunan atau cara lain. Kalau dilawan dengan karakter serupa, kecil kemungkinan berhasil. Dalam hal ini sikap keras Ahok diimbangi dengan publikasi mengenai hasil kerja dia selama menjadi gubernur,” terangnya.
Meski demikian, sikap keras dan over reaktif yang sering ditunjukkan Ahok bisa menjadi boomerang di kemudian hari jika lawan politiknya mampu mengolahnya sebagai bahan untuk menyerang Ahok.
Sebab, peta meskipun saat ini Ahok dinilai paling kuat di antara calon lainnya, sangat mungkin peta kekuatan akan berubah tergantung situasi ke depannya.
“Misalnya dengan memberikan statemen di media massa untuk memancing-mancing Ahok agar marah dan berbicara keras. Untuk itu, harusnya Ahok lebih hati-hati. Harus bisa mengontrol diri ketika berbicara. Karena jika sekali saja ada yang salah, bisa hancur popularitas dia di mata publik dan yang akan senang adalah lawan politiknya,” tegasnya. (Feriyanto Hadi)
http://www.tribunnews.com/metropolit...k-masih-unggul
Weeeewwww.... Ada beritanya...
Jadi teringat Pepatah dari Trinidad and Tobago yang mengatakan... :
"Panasbung Tidak Ada yang Tidak Bodoh... "...


Senin, 18 April 2016 18:44 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta tinggal hitungan bulan.
Bisa dimaklumi jika suhu politik di Jakarta akhir-akhir ini memanas, bahkan menjadi isu nasional karena masifnya pemberitaan media massa soal perseteruan para kandidat maupun pendukungnya.
Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam beberapa survei disebutkan memiliki elektabilitas tertinggi dibandingkan dengan nama-nama yang bermunculan seperti Yusril Ihza Mahendra, Adyaksa Dault, Ahmad Dhani, Lulung Lunggana.
Hasil survei itu, langsung atau tidak langsung, bisa membuat para lawan Ahok keder. Sebaliknya, Ahok makin percaya diri dan menganggap kepemimpinannya di Jakarta selama ini berhasil.
Disadari atau tidak, elektabilitas Ahok yang masih tinggi seolah menjadi pemantik segala macam kegaduhan politik di Jakarta. Bahkan, kemudian menjadi isu nasional karena masifnya pemberitaan.
Masih terngiang jelas perseteruan antara Ahok dan beberapa anggota DPRD DKI Jakarta terkait banyak hal, mulai soal anggaran Pemprov DKI, kasus korupsi UPS dan sebagainya.
Satu sama lain saling tuduh. Saling menjatuhkan. Saling berusaha membunuh karakter. Tak sampai di situ, Ahok juga terlibat perang argument dengan beberapa anggota DPR RI, misalnya terkait penggusuran lokasi prostitusi Kalijodo, pembelian lahan RS Sumber Waras, reklamasi Teluk Jakarta, penggusuran Pasar Ikan dan sebagainya.
Penyebaran secama masif isu-isu negatif terhadap bakal calon gubernur menjadi salah satu cara paling efektif membunuh karakter si calon di hadapan masyarakat.
Dengan adanya black campaign seperti ini, simpati masyarakat akan berkurang dan akan berdampak kepada pilihan terhadap pemimpin mereka nantinya. Apalagi didukung dengan keterbukaan informasi dan mudahnya masyarakat mengakses berita, baik dari media elektronik, media cetak atau jejaring sosial.
Sigap
Terkait aksi saling sikut para kandidat gubernur DKI Jakarta, banyak kalangan melihat kemampuan para pendukung Ahok (ahokers) lebih jago dalam memback-up segala bentuk berita atau informasi yang menyudutkan idolanya.
Hal ini terlihat dari komentar-komentar di link berita di berbagai media online, dimana di saat ada lawan politik yang berupaya menjatuhkan citra Ahok, maka Ahokers segera membantah atau justru menghakimi narasumber yang dikutip dalam berita tersebut dengan tujuan untuk mempengaruhi pembaca lainnya.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Jayabaya, Lely Arrianie Napitupulu menilai, kesadaran terhadap pentingnya keberadaan ‘pasukan cyber’ dalam menghadapi pertarungan pilkada sudah seharusnya disadari para calon.
Berkaca pada pemilukada DKI Jakarta 2012 lalu, dimana pasukan cyber bernama Jokowi Ahok Social Media Volunteer (Jasmev) menjadi suksesor penting dalam meraih kemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.
“Teori komunikasi menjadi hal begitu penting bagi setiap calon. Tujuannya jelas, membentuk persepsi public, meraih simpati dan empati dan mempengaruhi masyarakat untuk kemudian memilihnya,” katanya kepada Warta Kota, Senin (18/4/2016).
“Dan saya melihat Ahok dan pendukungnya dalam hal ini sudah lebih dulu bergerak untuk mengawal perjalanan politik Ahok sampai di masa pemilihan nanti,” imbuhnya.
Hal seperti ini, menurut Lely, harusnya juga dilakukan oleh calon lain yang hendak maju dalam bursa pemilihan. “Jangan sampai nanti kehilangan momentum karena posisi Ahok sudah begitu kuat dalam hal perepsi publik,” tegasnya.
Hindari isu SARA
Saat ini, upaya menghadang Ahok kembali terpilih menjadi DKI-1 lebih banyak dilakukan secara konvensional dan tergesa-gesa, seperti aksi demo atau menyerang Ahok dengan isu-isu SARA yang justru kemudian akan menjadi senjata makan tuan karena kecerdikan para pendukung Ahok dalam menggiring opini publik melalui dunia internet.
“Semakin diserang dengan SARA, semakin banyak masyarakat yang akan mendukung Ahok, karena pada dasarnya pemilih di Jakarta itu rasional. Sebaiknya, lawan politik menggunakan menghindari mengangkat isu semacam itu karena sudah tidak akan mempan diterapkan di Jakarta,” jelasnya.
Sebaliknya, calon lain menurut Lely, berusaha membentuk citra dan karakter yang nantinya bisa menarik simpati publik.
“Misalnya kita tahu Ahok memiliki watak keras, ya calon lain bisa lawan dengan kesantunan atau cara lain. Kalau dilawan dengan karakter serupa, kecil kemungkinan berhasil. Dalam hal ini sikap keras Ahok diimbangi dengan publikasi mengenai hasil kerja dia selama menjadi gubernur,” terangnya.
Meski demikian, sikap keras dan over reaktif yang sering ditunjukkan Ahok bisa menjadi boomerang di kemudian hari jika lawan politiknya mampu mengolahnya sebagai bahan untuk menyerang Ahok.
Sebab, peta meskipun saat ini Ahok dinilai paling kuat di antara calon lainnya, sangat mungkin peta kekuatan akan berubah tergantung situasi ke depannya.
“Misalnya dengan memberikan statemen di media massa untuk memancing-mancing Ahok agar marah dan berbicara keras. Untuk itu, harusnya Ahok lebih hati-hati. Harus bisa mengontrol diri ketika berbicara. Karena jika sekali saja ada yang salah, bisa hancur popularitas dia di mata publik dan yang akan senang adalah lawan politiknya,” tegasnya. (Feriyanto Hadi)
http://www.tribunnews.com/metropolit...k-masih-unggul
Weeeewwww.... Ada beritanya...

Jadi teringat Pepatah dari Trinidad and Tobago yang mengatakan... :
"Panasbung Tidak Ada yang Tidak Bodoh... "...


0
4.1K
36


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan