BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Audit BPK bukan untuk mencari-cari kesalahan

Audit BPK: Daerah yang dapat opini baik, malah terjerat korupsi
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menuding Badan Pemeriksa Keuanga (BPK) menyembunyikan kebenaran. Tuduhan itu disampaikan setelah ia diperiksa selama 12 jam di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 12/4/2015.

KPK dalam pemeriksaan itu baru tahap membandingkan data yang dimiliki Ahok, dengan data audit investigasi BPK. KPK memang sebelumnya meminta BPK untuk membuat audit investigasi atas pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras, oleh Pemprov DKI.

Dalam audit tersebut, ditemukan antara lain kerugian negara sebesar Rp191 miliar dan kesalahan prosedur. Menurut Ahok, terjadinya kerugian negara dan kesalahan prosedur, karena ada perbedaan acuan data. Perbedaaan muncul ketika Pemrov DKI mengambil keputusan membeli dengan BPK saat melakukan audit.

Setidaknya ada 4 butir perbedaan dalam kasus ini. Misalnya, beda dalam menentukan letak lokasi. BPK menganggap tanah yang dibeli berada di Jalan, Tomang Utara. Sedang Ahok merujuk dokumen Badan Pertananhan Nasional dan Dinas Pajak, yang menyebut tanah itu berada di Jalan Kyai Tapa. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah di Kyai Tapa Rp20 juta per meter persegi, sedang di Tomang Utara hanya Rp7 juta per meter.

Selain itu, BPK menggunakan patokan NJOP tahun 2013. Sedang transaksi pembelian menggunakan NJOP 2014, harga aktual saat transaksi. Bila mengikuti pratik jual beli tanah di Jakarta, patokannya adalah harga pasar, bukan NJOP. Harga pasar ini umumnya di atas NJOP, bahkan tak jarang dua kali lipat dari NJOP.

Ringkasnya, Ahok mempertanyakan kebenaran data yang dipakai BPK untuk melakukan audit. Selain itu ada persoalan etika yang dianggap diabaikan oleh auditor BPK. Salah seorang auditor, punya kepentingan dengan Pemrov DKI. Dia menawarkan tanah miliknya untuk dibeli Pemprov. Ahok menolak tawaran itu.

Nah ketika draft audit sudah jadi, auditor tersebut menawarkan barter. Bila tanahnya dibeli Pemprov, kesimpulan audit akan berbunyi tidak ada kerugian negara. Bila tidak, audit dengan kerugian negara akan segera dipublikasikan. Tapi Pemprov bergeming, menolak 'ajakan damai' tersebut.

Keraguan Ahok terhadap independensi audit BPK pun, sudah disampaikan kepada BPK Agustus tahun lalu. Namun BPK dinilai sangat lambat merespons. BPK baru menjelaskan keberatan Ahok sudah disidangkan oleh Panitera Majelis Kehormatan dan Kode Etik BPK (MKKE) setelah polemik audit ini ramai di media. Hasilnya, tidak ada pelanggaran etik.

Sidang MKKE dilakukan 23 Maret 2016. Sidang ini bisa dibilang aneh. Sebab sesuai pasal 23 Peraturan MKKE, sidang Majelis Kehormatan diselenggarakan selambat-lambatnya 14 hari kerja sejak diterimanya laporan hasil penelitian dari Panitera.

Keraguan terhadap hasil audit BPK, bukan hanya Ahok yang menyoal. Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyoal hal itu. Meski demikian, BPK menampik semua keraguan publik atas akuntabilitas auditnya. Audit BPK, terutama untuk audit investigasi Sumber Waras dilakukan secara profesional.

Independensi BPK, sesungguhnya sudah lama digugat masyarakat. Ini terjadi ketika beberapa orang partai politik terpilih menjadi Ketua dan Anggota BPK. Banyak yang berharap BPK diisi profesional di bidangnya, agar tidak terjadi konflik kepentingan dengan kekuatan politik.

Audit Sumber Waras inipun, tak bisa lepas dari kecurigaan kepentingan politik. Ahok sudah memastikan maju dalam pilkada DKI dari jalur perseorangan. Beberapa parpol ingin menjegal majunya calon perseorangan dengan aneka cara. Dan audit ini bisa jadi cara efektif menyingkirkan Ahok.

Bila KPK begitu saja percaya dengan hasil audit ini, Ahok bisa saja jadi tersangka. Itu artinya pupus harapan Ahok maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Perbedaan data yang digunakan untuk melakukan audit investigasi Sumber Waras ini, memang mengesankan pemaksaan agar audit menemukan kesalahan prosedural dan kerugian negara. Padahal menurut UU BPK, audit alias pemeriksaan BPK, bukanlah untuk mencari kesalahan, apalagi mencari-cari kesalahan.

Pasal 1 Ayat 8 UU BPK menyebut: Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Terlepas dari polemik audit Sumber Waras, sesungguhnya, sudah banyak hasil audit BPK yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari subyek yang diaudit. Pada Desember 2014 misalnya, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) periode 2014.

Tak lama setelah itu, Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho ditangkap KPK, dengan berbagai sangkaan korupsi. Antara lain suap kepada anggota DPRD Sumut, untuk persetujuan Laporan Pertanggungjawaban APBD 2012-2014, Persetujuan Perubahan APBD 2013 dan 2014, Pengesahan APBD 2014 dan 2015, serta Penolakan Hak lnterpelasi DPRD tahun 2015.

Hal serupa terjadi di Provinsi Riau. LKPD Riau sejak 2010 hingga 2015 selalu mendapat opini WTP dari BPK. Namun bukan rahasia, Provinsi Riau adalah legenda korupsi pemerintah daerah. Tiga gubernur terpilih di Riau berturut-turut: Saleh Djasit, Rusli Zainal dan Annas Maamun, petualangan korupsinya berakhir di KPK.

Audit BPK tentang Petral, juga cukup fenomenal. Sejumlah pihak, sangat yakin Petral adalah sarang korupsi migas. Tim Reformasi Tata Kelola Migas, cukup punya data untuk menyimpulkan keyakinan tersebut. Namun audit BPK tidak menemukan penyelewengan di perusahaan anak Pertamina itu.

Karenanya Pertamina menyewa pihak asing untuk melakukan audit forensik terhadap Petral. Hasilnya berbeda jauh. DPR pun meminta BPK lebih akurat dalam melakukan audit.

Audit forensik yang dilakukan auditor independen semestinya bisa menjadi pilihan untuk menyelesaikan polemik soal akurasi audit BPK terhadap pembelian lahan Sumber Waras. Karena audit forensik, terbukti bisa menemukan berbagai hal di balik sajian buku laporan.

Surat elektronik, bahkan pesan pribadi, atau pun obrolan via media sosial, bisa dilacak melalui audit ini. Tentu saja kebenaran dugaan auditor yang menawarkan damai pun akan terungkap.

Hasil audit BPK dari WTP untuk Sumut dan Riau, kelemahan menghitung kerugian negara dalam audit Sumber Waras, serta bersihnya Petral, sebenarnya sebuah pelajaran penting bagi BPK.

Benarkah para auditor BPK sudah menjalankan prinsip pemeriksaan: independen, objektif, dan profesional secara tepat? Juga termasuk di dalamnya integritas.

Nah untuk membuktikan BPK mumpuni dan profesional, BPK harus lebih transparan dalam mempublikasikan hasil audit. Tentunya yang menurut UU Keterbukaan Informasi, memang harus dibuka. Juga terbuka dalam sidang etik atas aduan publik.

Selain itu harus berani membuka pintu bagi lembaga audit independen terhadap hasil audit BPK yang dipertanyakan publik. Tanpa transparansi, jangan salahkan masyarakat, bila ada yang bilang audit BPK itu bisa diatur.

Tergantung untuk kepentingan apa yang ada di balik audit tersebut.


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...cari-kesalahan

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.9K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan