Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dcantripeAvatar border
TS
dcantripe
THE AUSTRONESIANS
Hello Penghuni Kepulauan Indonesia

Agan pernah mengira-ira siapa kah nenek moyang kita, orang Indonesia?
Agan pernah mengira-ira sejak kapan ya kita mulai bercocok tanam dan gak hidup di gua lagi?
Agan pernah mengira-ira sejak kapan ya kita mulai berternak dan gak berburu lagi



Macam2 mungkin jawabannya..
Kita ini keturunan penghuni Atlantis gan??!!! emoticon-Roll Eyes (Sarcastic)
Kita ini keturunan nabi Adam gan??!!! emoticon-Nohope
Kita ini keturunan jiwa2 yang limbung sepi berharap jodoh cepat datang gan??!?!emoticon-Busa

Oke mungkin jawaban diatas dan jawaban2 lain ada benarnya, namun secara ilmiah siapa kita?
Perkenalkan, kita adalah pewaris budaya...

AUSTRONESIA

Spoiler for Austronesians:

Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa


Agan tau lagu itu?
Yep! Nenek moyang kita adalah literallypelaut handal yang menguasai lautan dari Pulau Paskah di Pasifik sana, hingga Pulau Madagascar di ujung bumi yang lain. Indonesia termasuk salah satu pewaris budaya austronesia yang paling kaya...
Yep! Kita adalah keturunan dari para salah satu penakluk lautan terbaik di bumi ini!!!

Seluas ini loh...!!!
Spoiler for Wilayah pengaruh budaya Austronesia:


Lalu siapa sih Austronesian itu?

Mereka adalah nenek moyang ras mongoloid di sebagian besar Nusantara, Asia Tenggara, New Zealand, Mikronesia, Polinesia, hingga Madagascar. Mereka adalah pelaut handal. Mereka adalah petani kawakan. Mereka adalah peternak mumpuni. Mereka membawa berbagai budaya ke Indonesia, dari segala macam budaya megalitik, tenun, mempertajam gigi, hingga ke tato tradisional.

Asal-usul persebaran penutur bahasa Austronesia telah banyak dikaji dari berbagai macam disiplin ilmu, baik arkeologi, linguistik, maupun biologi. Turunan rumpun bahasa Austronesia yang menyebar sejauh Madagascar dan juga mencapai Rapanui (Easter Island) ini beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta orang, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa, dan Tagalog. Saat ini bahasa Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh etnis tertentu di Taiwan (seperti; Atayal, Tsou, dan Paiwan), Vietnam, Kamboja (etnis Cham), Birma (pengembara laut di Kepulauan Mergu),Timor Leste (seperti; Tetum, Quemac, dan Tocodede) dan beberapa etnis di pantai utara Papua (Tryon, 1995).

Teori yang paling banyak digunakan berdasarkan seluruh temuan dan petunjuk yang ada untuk menjelaskan fenomena ini menyampaikan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina bagian Selatan. Kawasan tersebut oleh beberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun. (Bellwood, 1995).


Dari mana asalnya budaya ini?

Situs neolitik paling awal dalam region ini berada di Taiwan dan cukup jelas memiliki mata rantai ke belakang dengan China. Pertanggalan budaya situs Tapenkeng sejauh 5000 BP, dan diperkirakan masih ada aktivitas neolitik yang belum diperolah pertanggalannya dan kemungkinan lebih tua beberapa ribu tahun lebih tua.

Kebudayaan neolitik ini kemudian menyebar ke selatan melewati Filipina, Borneo, Sulawesi, dan Indonesia Timur. Kebudayaan Lapita bahkan merambah Kepulauan Melanesia dan Polinesia bagian barat hingga berujung di Kepulauan Bismarck di Tonga dan Samoa yang dipertanggali antara 3300 hingga 2800 BP (Spriggs, 1999). Fenomena inilah yang oleh Bellwood, Spriggs, dan beberapa peneliti lain diasosiasikan dengan persebaran bahasa Austronesia di sepanjang area tersebut hingga mencapai Hawaii, Easter Island, dan New Zealand.


Apa buktinya hingga saat ini?

Kemunculan artefak khusus seperti kapak yang diupam halus dan kerap berbentuk persegi panjang (Heine Geldern, 1945) juga mengutarakan bahwa masyarakat dengan tradisi neolitik ini membawa paket budaya yang dapat ditelusuri hingga Taiwan –dimana akar kebudayaan tersebut berasal. Paket budaya tersebut antara lain juga berupa; pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah slip merah, cap, gores, dan tera tali dengan bibir melipat ke luar, dan lain-lain. Selain itu, mengunyah pinang, merajah (tato) dan mengikir gigi adalah pula ciri budaya Austronesia (Bellwood, 2000). Selain itu diperkirakan bahwa budaya Austronesia awal juga membawa teknik memotong dan melubangi batu dan kerang, yang biasa digunakan untuk ujung tombak, anak panah, atau sekedar untuk membuat cincin dan manik-manik. Mereka juga memperkenalkan sistem perekonomian pembudidayaan padi dan biji-bijian, domestikasi babi dan kemungkinan juga termasuk anjing dan ayam. Beberapa budaya termasuk monumen megalitik dan perahu bercadik dengan dilengkapi layar juga merupakan kebudayaan Austronesia yang saat ini masih dapat dilacak jejaknya (Heine Geldern, 1945., Bellwood, 2000).

Penelitian dalam perspektif linguistik banyak dilakukan oleh Robert Blust pada dekade 1970 hingga 1980an. Setelah meninggalkan Taiwan, penutur bahasa Malayo-Polynesia menduduki Filipina dan sebagian besar Indonesia. Hingga kini terdapat beberapa kesamaan terkait kebudayaan yang dimiliki oleh para pewaris penutur bahasa Austronesia. Bentuk rumah panggung banyak ditemukan pada masyarakat tradisional Austronesia, seperti; Rumah Gadang (Minangkabau), Tongkonan (Toraja), Lamin (Dayak). Sedangkan jika mengacu pada bukti linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsur-unsur pemukiman lainnya ditemukan di seluruh kawasan barat hingga timur persebarannya. Istilah Rumaq (rumah –Indonesia) bahkan sudah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan (Blust, 1984-1985). Data linguistik tersebut senada dengan temuan arkeologis yang berhasil diungkap di Xitou, Kequitou, dan Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Kesimpulan yang diperoleh mengindikasikan bahwa masyarakat Austronesia sudah mengenal sistem perumahan terbuka sejak 5200 tahun yang lalu. (Bellwood, 2000). Persebaran bahasa Austronesia secara masif di wilayah Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik ini tidak dapat dianggap sekedar dampak dari interaksi pertukaran dan perdagangan yang terjadi, namun juga tentu menyangkut proses migrasi manusia di dalamnya (Bellwood, 1984). Bentuk budaya pertanian yang dibawa oleh penutur bahasa Austronesia secara keseluruhan dapat mendukung kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi daripada berburu-mengumpulkan makanan dan jelas merupakan perekonomian yang dapat memanfaatkan, bahkan mendorong bertambahnya tenaga kerja anak-anak dan remaja Meskipun di masa lalu para petani yang menghuni bentang alam terbatas kadang terpaksa harus mengendalikan pertumbuhan penduduk atau memperbanyak hasil secara intensif (Bellwood, 2000).



Salah satu wilayah yang menggunakan bahasa Malayo-Polynesia ialah Sulawesi. Penelitian arkeologis di situs terbuka Lembah Karama menemukan bukti penghunian yang antara lain berupa tembikar, alat batu yang diupam, padi domestikasi, dan babi. Dari analisa temuan tersebut mengindikasikan pergerakan ke selatan dari populasi neolitik yang ada di Filipina (terutama di Kepulauan Batanes dan Luzon) ke Lembah Karama. Informasi yang diberikan sejak masa awal neolitik hingga awal jaman logam yang ada di Lembah Sungai Karama dan Kamassi menjadikan situs ini menjadi salah satu situs terbuka yang terbaik yang ada di Indonesia (Anggraeni, 2012).

Di Pasifik, budaya rumah panggung yang berada di pesisir dan sebaran gerabah, tungku tanah, dan bekas perapian juga mengindikasikan persebaran budaya Lapita. (Spriggs, 1995). Bukti tersebut diperkirakan merupakan wujud interaksi antara penutur Austronesia dengan penduduk asli Melanesia menghasilkan artefak yang antara lain berupa; gerabah, beliung persegi, pahat batu poles, batu penumbuk biji, artefak kerang conus, kail kerang, dan denah rumah berbentuk persegi (Spriggs, 1997). Di Kepulauan Melanesia dan Polynesia bagian barat, kebudayaan Lapita dapat ditarik pada pertanggalan 3800 hingga 3300 tahun yang lalu. Pergerakan budaya yang membawa gerabah Lapita ke Kepulauan Pasifik ini dianggap sangat cepet, sehingga mendapat julukan express train (Diamond, 1988). Terdapat dua pendapat mengenai asal persebaran budaya neolitik ke Kepulauan Pasifik. Yang pertama diperkenalkan oleh Larson (2007) yang mengatakan bahwa budaya ini dibawa dari Taiwan hingga jauh ke selatan yang kemudian disempurnakan dengan temuan gerabah Lapita di Filipina (Luzon bagian utara) dan Kepulauan Mariana (Hung dkk, 2011., Bellwood, 2011). Pendapat kedua dikemukakan oleh Spriggs (2011) yang mengatakan bahwa kebudayaan tersebut berasal dari Asia Tenggara Daratan melalui Melanesia dan baru kemudian sampai ke Kepulauan Bismarck.

Bukti genetik dan arkeologi menunjukkan bahwa wilayah Asia Tenggara daratan maupun kepulauan sudah dihuni sebelum kolonisasi Austronesia. Tinggalan arkeologis menunjukkan perkembangan budaya manusia sebelum pengenalan tembikar pada masa neolitik. Budaya Hoabinhian merupakan salah satu budaya alat batu yang muncul pada masa pre-tembikar pada sekitar 18.000 hingga 10.000 tahun yang lalu. Kemunculannya ditemukan di sebagian besar wilayah Asia Tenggara seperti; Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam dan Indonesia. Pada setiap wilayah memiliki karakteristik yang beragam, namun secara umum Hoabinhian digambarkan sebagai batu kerakal yang dipangkas pada salah satu atau kedua sisinya. Contoh budaya lain yang hampir memiliki kesamaan ialah Budaya Sonviian yang ditemukan di Vietnam.Selain itu terdapat pula industri alat batu Toala yang di temukan di Situs Ulu Leang dan Leang Burung, Sulawesi dengan periode budaya masa Holosen Awal. Selain alat batu terdapat juga industri alat tulang Sampung yang ditemukan di Goa Lawa, Jawa Timur. Pada perkembangannya, kira-kira sejak awal abad masehi budaya logam mulai merambah ke Kepulauan Indonesia. Budaya ini terkadang tumpang tindih dengan masuknya pengaruh India ke Indonesia. Namun banyaknya temuan logam yang berumur lebih tua dan sama sekali berbeda dengan corak India maupun Melayu ditengarai merupakan dampak masuknya budaya logam Dongson dari Vietnam Utara dan Sa Huyn dari Vietnam Selatan. Teknologi Perunggu dan besi masuk secara bersamaan ke Indonesia. Salah satu budaya Dongson yang terkenal ialah nekara atau moko yang saat ini masih dapat dlacak penggunaannya di Alor (Bellwood, 2000).


Terus apakah ada juga pengaruh Austronesia di Indonesia timur gan?

Peninggalan arkeologis tersebut berbanding terbalik dengan fenomena yang ada sekarang. Saat ini di Asia Tenggara daratan sendiri sangat sedikit kita jumpai kantong-kantong daerah yang masih memakai bahasa non-austronesia yangmana sangat kontras jika kita bandingkan dengan wilayah barat Melanesia yang lebih banyak memiliki bahasa non-austronesia (Bellwood, 2010). Fenomena ini oleh Lansing dkk (2011) diyakini karena tingkat populasi baik penduduk asli maupun Austronesia sebagai pendatang dianggap kecil sehingga perkampungan Austronesia mengalami ekspansi populasi. Wanita Austronesia yang kimpoi dengan pria non-austronesia dari kampung sekitarnya akan melahirkan anak yang berbahasa Austronesia. Seiring berjalannya waktu proses seperti ini yang terjadi secara terus menerus akan mengaburkan bahasa non-autronesia seperti yang terjadi di Malaysia (Benjamin, 1976) dan Filipina (Reid 1994). Sebaliknya di Pulau Timor saat ini masih banyak ditemukan bahasa Papua dikarenakan padatnya tingkat populasi non-austronesia yang ada di wilayah tersebut. Asumsi tersebut senada dengan hasil penelitian di Sumba yang menunjukkan kosa kata dan genetis Papua yang bervariasi secara sistematik sesuai dengan data kepadatan populasi masyarakat papua ketika kolonisasi Austronesia terjadi (Lansing dkk, 2007).

Masyarakat penutur bahasa Austronesia sendiri mengalami kesulitan ketika mencapai wilayah Pulau Papua/Irian Jaya. Mereka bertahan dan menetap di wilayah pesisir. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena kelompok masyarakat asli yang mendiami daratan ini sudah sangat terstruktur sehingga kehadiran orang asing cukup sulit untuk diterima. Namun bukan berarti pertukaran budaya sama sekali tidak terjadi. Sebelum kedatangan masyarakat Austronesia, Papua tidak mengenal budaya tembikar, sedangkan pada perkembangannya hingga kini masyarakat papua dapat memanfaatkan tembikar dengan baik (Muller, 2008).




Penampakan contoh budaya Austronesia:

Spoiler for Foto:




P.s: Tulisan di thread ini diadaptasi dari berbagai sumber, baik dari tulisan ilmiah maupun populer. Bagi yang menemui tulisan asli yang dirujuk di dalam thread ini, dapat menghubungi TS sehingga dapat dilengkapi dengan kutipan dan daftar pustaka.



Ciaoemoticon-raining
Diubah oleh dcantripe 17-12-2017 17:02
1
14.6K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan