- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Reklamasi dan Untung Rugi Bagi Ekonomi


TS
namimii
Reklamasi dan Untung Rugi Bagi Ekonomi
Quote:

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh wartawan Republika/Muhammad Nursyamsi
Kabar tentang proses pembuatan daratan baru dari dasar laut maupun dasar sungai atau yang biasa disebut reklamasi terus menggeliat. Sejumlah aksi penolakan maupun dukungan akan pembangunan reklamasi terus berkumandang di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti yang terjadi di Teluk Palu di Sulawesi Utara, sekitar pantai Losari di Makassar, Sulawesi Selatan, Pantai Utara Jakarta serta Teluk Benoa di Bali.
Belum lama ini, organisasi Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi atau ForBALi menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta. Mereka menolak proses reklamasi Benoa dan menuntut dilaksanakannya pemerataan pembangunan antara Bali Utara dan Bali Selatan. "Harusnya //terusin// dong reklamasi Teluk Serangan, Hotel di Bali Selatan sudah terlalu banyak, kalau mau reklamasi di Bali Utara masih banyak ruang," ujar koordinator aksi, Made Bawayasa.
Dari sudut pandang ekonomi, reklamasi dipandang sebagai suatu prospek yang sangat menggiurkan untuk mendatangkan sejumlah manfaat dari segi pendapatan. Terlebih, pemerintahan Jokowi-JK menaruh fokus lebih pada sektor kelautan yang selama ini kerap terabaikan.
Pengamat Bisnis dan Ekonomi Sosial asal Pulau Dewata, Bali, Nyoman Cakra mengatakan, dalam memandang proyek reklamasi yang akan dilakukan tidak bisa secara parsial. Akan tetapi harus dilihat secara holistik karena reklamasi terdiri dari berbagai sisi yang saling berkaitan satu sama lain
."Memang ada dampak negatif dari reklamasi itu, tapi juga ada dampak positifnya," ujar pria yang memiliki pengalaman mengembangkan dan mengelola industri pariwisata ramah lingkungan di Bali tersebut. Ia memandang, kehadiran reklamasi juga akan membantu program pemerintah dalam meningkatkan jumlah wisatawan di Indonesia. Menurutnya, kondisi pariwisata sekarang, terutama di Bali berlangsung stagnan.
Untuk itu diperlukan sesuatu yang berbeda yang ikonik sehingga dapat menarik wisatawan. Nyoman menyambung, keberadaan destinasi baru lewat reklamasi juga akan mampu membantu program pemerintah yang mencanangkan 20 juta wisatawan pada 2019 mendatang."Kalau tidak ada yang menarik seperti ini-ini saja, kelihatannya Bali akan ditinggalkan oleh wisatawan," lanjutnya.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli, menegaskan fokus pariwisata Indonesia untuk menggaet 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada 2019, melalui pengembangan 10 destinasi seperti Danau Toba (Sumatera Utara), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Bromo (Jawa Timur), Labuan Bajo (NTT), Mandalika (NTB), Morotai (Maluku), Yogyakarta, Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Belitung (Bangka Belitung), dan Tanjung Lesung (Banten).
Nyoman menambahkan, kedatangan wisatawan akan berbanding lurus dengan meningkatnya tingkat hunian hotel, dan masyarakat lokal akan memperoleh banyak manfaat, seperti semakin terbukanya lapangan kerja baru, bertambah peluang bisnis dan investasi, selain itu pemerintah mendapat penambahan Penambahan Asli Daerah (PAD).
Perizinan Reklamasi
"Dan yang terpenting masyarakat akan mengalami peningkatan income perkapita, setiap wilayah yang berkembang wisatanya, masyarakatnya mengalami peningkatan pendapatan sehingga daya beli masyarakat meningkat, dengan meningkatnya daya beli masyarakat maka perekonomian pun akan melaju dan bergairah," ungkap dia.
Kendati demikian, Nyoman memberikan catatan khusus terkait dengan dampak negatif yang mungkin muncul dengan dilakukannya reklamasi, yakni persoalan lingkungan. Persoalan lingkungan menurut dia harus benar-benar dikaji sebelum dilakukan reklamasi. Sehingga tak ada dampak negatif bagi lingkungan. "Nah di sini para ahli harus benar-benar melakukan kajian terhadap dampaknya, kalau memang ada dampak negatif, apa solusinya," ujar dia.
Karena menurut Nyoman, yang selama ini melakukan penolakan terhadap rencana reklamasi di berbagai daerah selain para aktivis lingkungan juga kebanyakan berasal dari masyarakat terdampak. Misalnya di Jakarta yang bergerak kelompok nelayan tradisional sementara di Bali awalnya bermula dari desa-desa adat.
Selain itu dia juga menyoroti persoalan izin pada proyek reklamasi. Menurutnya para pengembang harus benar-benar mentaati proses perizinan. Karena akan menjadi persoalan tambahan jika perizinan proyek reklamasi ternyata bermasalah seperti yang terjadi di Jakarta, kelompok nelayan tradisional menggugat Gubernur DKI Jakarta karena izin reklamasi tiga pulau, yakin pulau F, I dan K dianggap menyalahi aturan lantaran diterbitkan tanpa sepengetahuan publik.
"Dari sisi perizinan kan urusan pemerintah, nah ini harus melalui proses yang benar. Jadi berbagai macam persyaratan harus terpenuhi sebelum reklamasi dilaksanakan, ini sangat penting," ucapnya.
Menurutnya sangat wajar jika pro-kontra terjadi, namun pemerintah harusnya tidak membiarkan persoalan ini berlarut-larut, karena dikhawatirkan konflik sosial akan meluas. Ia berharap semua pihak baik yang pro maupun yang kontra terhadap reklamasi harus duduk bersama dengan kepala dingin. "Jangan sampai kita semua menjadi korban pihak ketiga, ini yang saya khawatirkan," tegas dia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga ikut angkat suara mengenai hal ini, meski ia tidak ingin pernyataannya dibuat sebagai bahan politisasi, terutama mengenai reklamasi teluk Jakarta.
Menurut Susi, pada dasarnya reklamasi boleh saja dilakukan asal aturan seperti persyaratan hukum dan administrasi, dampak lingkungan yang sudah diantisipasi, termasuk antisipasi daerah rawan banjir dan daerah resapan air sudah dipenuhi secara benar."Reklamasi boleh kalau aturan sudah dipenuhi. Kalau tidak pasti akan ada persoalan, itu saja," ujar Susi.
'Pemaksaan' Reklamasi Teluk Jakarta
Hingga saat ini, Susi mengatakan, belum ada koordinasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait reklamasi Teluk Jakarta. Awal tahun ini, nelayan tradisional di Teluk Jakarta bersama organisasi lingkungan hidup menggugat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) atas reklamasi besar-besaran tiga pulau di kawasan Teluk Jakarta. Tiga izin pulau yang alami reklamasi tersebut diterbitkan secara diam-diam tanpa diketahui dan partisipasi publik di antaranya Pulau F, I yang terbit pada 22 Oktober 2015 dan pulau K yang terbit pada 17 November 2015.
Seperti diketahui, proyek reklamasi di Teluk Jakarta menimbulkan sengketa antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan para nelayan tradisional yang selama ini mencari penghidupan di perairan tersebut. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengajukan gugatan terhadap proyek reklamasi.
"Sepanjang Oktober dan November 2015, Gubernur DKI Jakarta diam-diam menerbitkan izin reklamasi Pulau F, I, dan K tanpa banyak diketahui publik," ujar Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Martin Hadiwinata.
Padahal, kata Martin, izin reklamasi di Pulau G yang dulu pernah menjadi sengketa, belum lagi diselesaikan oleh Pemprov DKI. Ia menyatakan, langkah Gubernur DKI Jakarta menerbitkan izin reklamasi tersebut secara diam-diam menunjukkan adanya pemaksaan dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Ekonomi yang Berkelanjutan
Reklamasi dan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan
Analis Ekonomi Politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Kusfiardi, menjelaskan poin terpenting dalam reklamasi ialah menyangkut keselamatan lingkungan, dan profesi nelayan. Menurut dia, dari sisi ekonomi, reklamasi memang menjanjikan manfaat yang luar biasa dan menguntungkan. Reklamasi dalam sudut pandang ekonomi, ia nilai sangat menguntungkan.
Namun, dari aspek sosial jangka panjang dapat membahayakan, dimana bahaya paling besar ialah bencana alam yang di luar batas kendali."Dengan adanya reklamasi sudah menyalahi hukum alam, karena memang peruntukannya kawasan air. Tentu mengganggu keseimbangan alam," kata dia.
Meski menguntungkan, ia menilai, alasan ekonomi tidak bisa dijadikan acuan untuk mengabaikan dampak lingkungan dan sosial yang akan terjadi di masyarakat apabila reklamasi dilangsungkan. Ia menyebut, reklamasi juga berpotensi memaksa adanya alih profesi yang bisa berujung pada timbulnya kemiskinan baru.
"Ini jauh lebih mendasar karena kalau reklamasi manfaatnya hanya untuk segelintir orang, karena keuntungan ekonomi hanya dimanfaatkan oleh para pemodal, bagi masyarakat yang lain tidak mendapat keuntungan apa-apa," ungkapnya.
Mengenai adanya Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), ia memandang sebagai suatu keharusan sebelum melakukan reklamasi. Namun, ia meyakini pada dasarnya menurut Amdal pun proyek reklamasi sejatinya tidak dapat dibenarkan mengingat melanggar hukum alam yang sudah ada.
"Padahal jelas, peruntukannya perairan, sama saja kita menutup sungai, akan berdampak buruk. Inilah yang timbulkan bencana dimana-mana, apalagi laut, kalau di hilir ditutup tentu air kemana-mana, kalau sudah gitu efeknya akan lebih sulit lagi (menanggulanginya)," katanya menambahkan.
Sementara itu, Direktur PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), Leemarvin Lieano menilai demonstrasi penolakan reklamasi sebagai hal yang wajar. "Adanya pro-kontra merupakan hal yang wajar, ada yang kontra, tetapi yang pro juga banyak," ucapnya.
Meski begitu, TWBI tetap berfokus untuk memenuhi seluruh persyaratan sesuai aturan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah. Pihaknya sebagai investor mengaku berusaha mentaati peraturan dan berjalan dalam koridor yang seharusnya.
Ia meyakini apabila semua sesuai koridor dan aturan, maka ruang investasi yang sehat akan terbuka. Leemarvin juga mengaku sangat berhati-hati dalam merencanakan proyek reklamasi agar dapat membawa manfaat yang besar bagi masyarakat Bali."Rencana ini kami jalankan dengan semangat untuk membangun Bali dan Indonesia pada umumnya, bukan sebaliknya," katanya menegaskan.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati memandang, yang namanya pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Dengan demikian, aspek yang dikalkulasi tidak hanya sebaas pada keuntungan, terlebih keuntungan bagi pengusaha, melainkan juga dengan aspek lainnya seperti lingkungan dan sosial.
Ia mengatakan, apabila pembangunan reklamasi meningkatkan potensi ekonomi di suatu wilayah, namun perlu dipikirkan dampak kerusakan lingkungan yang membutuhkan biaya besar serta dampak yang luas. "Misalnya, dibangun hotel yang mendatangkan turis, serap tenaga kerja, tapi kalau terumbu karang, dan pantai rusak, bikin banjir lalu petani pendapatannya menurun, cost benefit harus dihitung secara komprehensif," tutur Enny.
Enny menilai jangan hanya melihat satu sisi semisal proposal dari pengusaha tanpa menimbang sisi lain yang bisa jadi merugikan masyarakat sekitar. Oleh karenanya, dibutuhkan ahli dalam melakukan kajian reklamasi agar bermanfaat bagi masyarakat.
Secara ekonomi, ia katakan, reklamasi harus menghitung keseluruhan secara matang sehingga antara kepentingan jangka pendek dan jangka menengah panjang terakomodasi, kepentingan pengusaha dan masyarakat umum juga terakomodasi.
"Jangan hanya satu sisi misal pengusaha beri proposal indah tanpa lihat aspek lain itu enggak benar, tapi kalau misal dari aspek sosial dan lingkungan enggak bermasalah, silakan," katanya menambahkan.
http://www.republika.co.id/berita/ek...i-bagi-ekonomi
harus di hitung untung dan ruginya dlu..

0
2.5K
Kutip
1
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan