- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Shandra Woworuntu, Mimpi Bekerja di Amerika Malah Jadi Budak Seks


TS
dsturridge15
Shandra Woworuntu, Mimpi Bekerja di Amerika Malah Jadi Budak Seks

Quote:
Liputan6.com, Jakarta Shandra Woworuntu, seorang wanita yang memiliki sebuah pengalaman pahit di Amerika.
Pada tahun 1998, Shandra diberhentikan dari pekerjaannya di Indonesia, karena krisis keuangan dan kekacauan politik yang terjadi. Maka dari itu, pada tahun 2001, Shandra memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar negeri untuk dapat menghidupi keluarga dan putrinya yang baru berusia tiga tahun. Menemukan iklan di surat kabar tentang pekerjaan di industri perhotelan besar membawa Shandra ke Amerika, seperti dilansir dari bbc.com, Jumat (1/4/2016).
Namun tak disangka, mimpinya untuk mendapatkan pendapatan yang besar dari pekerjaan barunya, ternyata membawanya kepada hal lain yang tak pernah dibayangkannya. Sejak hari pertama kedatangannya di Amerika, Shandra telah diperjualbelikan dan dijadikan budak seks.
Dalam sehari, Shandra dapat melayani 4 sampai dengan 5 orang laki-laki dengan waktu yang dibatasi hanya 45 menit untuk setiap tamu.
Saat itu, rasanya tidak ada harapan untuk Shandra dapat kabur, karena setiap saat ia selalu dijaga oleh seorang pengawal yang membawa pistol kemana-mana. Rencananya untuk kabur pun pernah gagal beberapa kali.
Tidak hanya berhubungan seksual dengan tamu, para penjaga dan orang yang memperjualbelikan dirinya juga seringkali merudapaksa Shandra. Dipaksa minum alkohol dan narkoba sehari-hari membuat fisik dan mental Shandra terganggu.
Penderitaannya mulai berakhir saat akhirnya ia bisa kabur dari rumah bordil yang selama ini memperbudaknya dan bertemu dengan seorang pria yang bersedia membantu Shandra untuk menghubungi FBI.
Setelah beberapa kali penggerebekan dan penangkapan pelaku perdagangan manusia, termasuk juga Johnny, akhirnya Shandra memilih untuk hidup di Amerika bersama dengan anak perempuannya dan membuat sebuah organisasi untuk melawan tindak kekerasan dan pelecehan pada wanita.
Tahun 2010, Shandra diberikan kesempatan untuk menetap di Amerika dan membantu pemerintah setempat untuk memberantas perdagangan manusia dan perbudakan seksual yang telah menjamur negara tersebut, sebagai seorang aktifis.
Pada tahun 1998, Shandra diberhentikan dari pekerjaannya di Indonesia, karena krisis keuangan dan kekacauan politik yang terjadi. Maka dari itu, pada tahun 2001, Shandra memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar negeri untuk dapat menghidupi keluarga dan putrinya yang baru berusia tiga tahun. Menemukan iklan di surat kabar tentang pekerjaan di industri perhotelan besar membawa Shandra ke Amerika, seperti dilansir dari bbc.com, Jumat (1/4/2016).
Namun tak disangka, mimpinya untuk mendapatkan pendapatan yang besar dari pekerjaan barunya, ternyata membawanya kepada hal lain yang tak pernah dibayangkannya. Sejak hari pertama kedatangannya di Amerika, Shandra telah diperjualbelikan dan dijadikan budak seks.
Dalam sehari, Shandra dapat melayani 4 sampai dengan 5 orang laki-laki dengan waktu yang dibatasi hanya 45 menit untuk setiap tamu.
Saat itu, rasanya tidak ada harapan untuk Shandra dapat kabur, karena setiap saat ia selalu dijaga oleh seorang pengawal yang membawa pistol kemana-mana. Rencananya untuk kabur pun pernah gagal beberapa kali.
Tidak hanya berhubungan seksual dengan tamu, para penjaga dan orang yang memperjualbelikan dirinya juga seringkali merudapaksa Shandra. Dipaksa minum alkohol dan narkoba sehari-hari membuat fisik dan mental Shandra terganggu.
Penderitaannya mulai berakhir saat akhirnya ia bisa kabur dari rumah bordil yang selama ini memperbudaknya dan bertemu dengan seorang pria yang bersedia membantu Shandra untuk menghubungi FBI.
Setelah beberapa kali penggerebekan dan penangkapan pelaku perdagangan manusia, termasuk juga Johnny, akhirnya Shandra memilih untuk hidup di Amerika bersama dengan anak perempuannya dan membuat sebuah organisasi untuk melawan tindak kekerasan dan pelecehan pada wanita.
Tahun 2010, Shandra diberikan kesempatan untuk menetap di Amerika dan membantu pemerintah setempat untuk memberantas perdagangan manusia dan perbudakan seksual yang telah menjamur negara tersebut, sebagai seorang aktifis.
Kisah Shandra Woworuntu, `Budak Seks` yang Jadi Pahlawan di AS
Quote:
Suara itu bergetar saat bertutur tentang sebuah masa lalu kelam. Shandra Woworuntu, nama perempuan yang suaranya berada di ujung telepon. Dia bercerita tentang pengalamannya yang mengerikan, saat menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001.
"Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita," kata dia kepada VOA Indonesia, seperti dikutip Liputan6.com, Senin (3/12/2014).
Siapa yang tak ingin bekerja di Negeri Paman Sam, meraup dolar untuk mendapat penghidupan yang lebih baik. Itu juga yang dirasakan Shandra saat melihat kesempatan terbuka lewat iklan pekerjaan di sejumlah media di Tanah Air.
Apalagi, saat itu, ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis keuangan di sebuah bank -- dampak dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan 1998.
Shandra melihat iklan sebuah agensi yang menawarkan pekerjaan di Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara lain. Setelah menjalani sejumlah tes dan wawancara, ia diminta menyiapkan modal Rp 30 juta untuk biaya administrasi, tiket, dan lainnya.
"Saya senang sekali karena kalau Rp 30 juta sudah termasuk tiket berarti tidak terlalu mahal kan?" ujarnya.
Dengan bermodal dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa AS -- yang punya reputasi tak mudah didapat.
Terjebak
Namun, setelah menjejakkan kaki di AS, awal Juni 2001, kenyataan tak seindah janji. Pihak agensi yang menjemputnya di Bandara John F Kennedy di New York mengatakan, Shandra dan teman-teman tak bisa langsung ke Chicago. Harus menginap di kota berjuluk 'Big Apple' itu.
"Di situlah saya dipindah tangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan," kata Shandra.
Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London dan Foxwoods -- semuanya di New York. Itu nama-nama lokasi operasi sindikat perdagangan manusia yang diingat Shandra.
Tak hanya dalam ingatan, Shandra mencatat semua alamat lengkap dalam buku hariannya. Kelak, catatan itu membantu kerja aparat AS menggulung sindikat jahat itu.
Bagai keluar dari mulut singa masuk mulut buaya, Shandra yang berhasil melompat dari jendela sebuah hotel justru terjebak sindikat lain. Yang pemimpinnya justru orang Indonesia. Shandra kabur lagi.
"Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI) tetapi mereka juga tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam stasiun kereta api bawah tanah dan di taman-taman, hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani," kata dia.
Berbekal keterangan Shandra dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagangan manusia di New York. Tiga kepala sindikat – termasuk seorang warga Indonesia, ditangkap. Puluhan korban dibebaskan. Janji Shandra pada korban lain saat ia kabur, ditunaikan.
Melawan
Shandra adalah penyintas (survivor). Dan berkat keberaniannya, puluhan korban lain diselamatkan.
Perempuan tegar itu juga menolak diam, ia terus melawan. Pada 27 Januari 2014, Shandra bersama beberapa korban sindikat perdagangan manusia bicara di sidang dengar pendapat Senat Amerika.
Senator fraksi Partai Republik dari negara bagian Florida, Marco Rubio, memuji upaya dan keberanian Shandra dalam menyuarakan perlunya aturan yang lebih tegas bagi para kontraktor tenaga kerja dari luar Amerika, sebagaimana digariskan dalam "Comprehensive Immigration Reform Plan" atau Rencana Reformasi Imigrasi Komprehensif.
Shandra, yang kini menetap di New York bersama dua orang anaknya dan membuka usaha katering kecil-kecilan. Berharap bisa bekerja sama dengan badan-badan penggiat isu perempuan di Indonesia untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban.
Ia bersedia memberi informasi kepada mereka yang ingin bekerja di Amerika dengan cara legal dan mendampingi mereka yang menjadi korban. "Voice of Hope", salah satu unit lembaga "Safe Horizon" yang dipimpinnya, selama ini berupaya memberdayakan, mendidik dan menjangkau korban sindikat perdagangan manusia yang bertahan.
Shandra juga telah bekerja sama dengan beberapa badan lain di Amerika yang berjuang mendorong lolosnya aturan yang lebih tegas di tingkat DPR Amerika.
Belajar dari pengalaman pahitnya ketika melaporkan apa yang dialaminya dulu, Shandra juga berharap aparat keamanan dan pihak berwenang -- termasuk perwakilan-perwakilan negara di AS -- lebih mendengar suara korban.
Dari korban, Shandra kini menjelma jadi pahlawan. (Ein/Ism)
"Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita," kata dia kepada VOA Indonesia, seperti dikutip Liputan6.com, Senin (3/12/2014).
Siapa yang tak ingin bekerja di Negeri Paman Sam, meraup dolar untuk mendapat penghidupan yang lebih baik. Itu juga yang dirasakan Shandra saat melihat kesempatan terbuka lewat iklan pekerjaan di sejumlah media di Tanah Air.
Apalagi, saat itu, ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis keuangan di sebuah bank -- dampak dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan 1998.
Shandra melihat iklan sebuah agensi yang menawarkan pekerjaan di Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara lain. Setelah menjalani sejumlah tes dan wawancara, ia diminta menyiapkan modal Rp 30 juta untuk biaya administrasi, tiket, dan lainnya.
"Saya senang sekali karena kalau Rp 30 juta sudah termasuk tiket berarti tidak terlalu mahal kan?" ujarnya.
Dengan bermodal dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa AS -- yang punya reputasi tak mudah didapat.
Terjebak
Namun, setelah menjejakkan kaki di AS, awal Juni 2001, kenyataan tak seindah janji. Pihak agensi yang menjemputnya di Bandara John F Kennedy di New York mengatakan, Shandra dan teman-teman tak bisa langsung ke Chicago. Harus menginap di kota berjuluk 'Big Apple' itu.
"Di situlah saya dipindah tangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan," kata Shandra.
Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London dan Foxwoods -- semuanya di New York. Itu nama-nama lokasi operasi sindikat perdagangan manusia yang diingat Shandra.
Tak hanya dalam ingatan, Shandra mencatat semua alamat lengkap dalam buku hariannya. Kelak, catatan itu membantu kerja aparat AS menggulung sindikat jahat itu.
Bagai keluar dari mulut singa masuk mulut buaya, Shandra yang berhasil melompat dari jendela sebuah hotel justru terjebak sindikat lain. Yang pemimpinnya justru orang Indonesia. Shandra kabur lagi.
"Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI) tetapi mereka juga tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam stasiun kereta api bawah tanah dan di taman-taman, hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani," kata dia.
Berbekal keterangan Shandra dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagangan manusia di New York. Tiga kepala sindikat – termasuk seorang warga Indonesia, ditangkap. Puluhan korban dibebaskan. Janji Shandra pada korban lain saat ia kabur, ditunaikan.
Melawan
Shandra adalah penyintas (survivor). Dan berkat keberaniannya, puluhan korban lain diselamatkan.
Perempuan tegar itu juga menolak diam, ia terus melawan. Pada 27 Januari 2014, Shandra bersama beberapa korban sindikat perdagangan manusia bicara di sidang dengar pendapat Senat Amerika.
Senator fraksi Partai Republik dari negara bagian Florida, Marco Rubio, memuji upaya dan keberanian Shandra dalam menyuarakan perlunya aturan yang lebih tegas bagi para kontraktor tenaga kerja dari luar Amerika, sebagaimana digariskan dalam "Comprehensive Immigration Reform Plan" atau Rencana Reformasi Imigrasi Komprehensif.
Shandra, yang kini menetap di New York bersama dua orang anaknya dan membuka usaha katering kecil-kecilan. Berharap bisa bekerja sama dengan badan-badan penggiat isu perempuan di Indonesia untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban.
Ia bersedia memberi informasi kepada mereka yang ingin bekerja di Amerika dengan cara legal dan mendampingi mereka yang menjadi korban. "Voice of Hope", salah satu unit lembaga "Safe Horizon" yang dipimpinnya, selama ini berupaya memberdayakan, mendidik dan menjangkau korban sindikat perdagangan manusia yang bertahan.
Shandra juga telah bekerja sama dengan beberapa badan lain di Amerika yang berjuang mendorong lolosnya aturan yang lebih tegas di tingkat DPR Amerika.
Belajar dari pengalaman pahitnya ketika melaporkan apa yang dialaminya dulu, Shandra juga berharap aparat keamanan dan pihak berwenang -- termasuk perwakilan-perwakilan negara di AS -- lebih mendengar suara korban.
Dari korban, Shandra kini menjelma jadi pahlawan. (Ein/Ism)
Diubah oleh dsturridge15 03-04-2016 17:37
0
2.6K
Kutip
4
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan