- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pengusaha Taksi Melawan Konsumen Mereka Sendiri


TS
xonet
Pengusaha Taksi Melawan Konsumen Mereka Sendiri
Quote:
Pengusaha Taksi Melawan Konsumen Mereka Sendiri
Oleh: Nukman Luthfie






Kemarin pagi saya berangkat ke Jakarta, dan berpasasan dengan taksi Ekspress yang kaca belakangnya ditutupi kain bertuliskan: “X-Jodo saja bisa ditutup, mengapa Uber dan Grab tidak bisa?”
Ternyata taksi itu tak sendirian. Di Jakarta saya berpapasan dengan banyak taksi Express yang berdemonstrasi, dengan berbagai pesan di mobilnya, yang intinya meminta pemerintah menutup layanan taksi/kendaraan umum berbasis aplikasi seperti Uber dan Grab.
Sepekan sebelumnya, saya naik taksi Express, dan sepanjang perjalanan mendengarkan keluh kesah sopirnya betapa berat beban mereka sekarang. “Sekarang makin sedikit yang mencegat taksi di pinggir jalan. Kebanyakan pakai ponsel dan pesan dari dalam gedung atau mall,” katanya. Akibatnya, pendapatannya turun sampai separonya.
Perusaahaan taksi konvensional memang sedang menghadapi tantangan berat. Konsumen kini punya pilihan yang lebih baik. Dengan menggunakan transportasi berbasis aplikasi, mereka bebas memilih kendaraan mana yang akan dinaikinya sebagai pengganti taksi.
Jika sudah memesan, dan yang “merebut” pesanannya adalah sopir dengan mobil yang tak disukai, mereka bisa membatalkan pesanannya. Mereka juga bebas memilih sopir yang mana. Jika menemukan sopir yang ratingnya rendah, mereka bebas membatalkan pesanannya.
Jika sopir tak tahu jalan, penumpang tak perlu resah karena perjalanan dipandu dengan aplikasi Google Map, yang presisinya tinggi.
Kemewahan konsumen ini tak dirasakan saat taksi masih dikuasai perusahaan taksi konvensional. Penumpang terpaksa naik taksi yang itu-itu saja, yang kebanyakan mobilnya tua-tua, dan yang layanannya begitu-begitu saja.
Penumpang juga tak bisa memilih sopir. Jika ketemu sopir yang mengaku tak tahu arah, penumpang yang repot. Jika ketemu sopir yang mendadak bilang tak bisa mengantar penumpang yang terlanjur masuk karena mau ke arah lain, penumpang enggak bisa apa-apa kecuali turun dan ngedumel.
Sangat wajar jika penumpang memilih altenatif baru yang lebih menyenangkan hasil pilihan mereka sendiri. Maka pemandangan demonstrasi taksi yang menuntut penutupan layanan berbasis aplikasi itu menjadi aneh di mata saya.
Apakah perusahaan taksi (dan para sopirnya) itu tak sadar bahwa yang mereka lawan adalah konsumen mereka sendiri, yang selama ini mereka layani apa adanya (itu jika betul mereka melayani)?
Memang kasat mata mereka meminta penutupan Uber dan sejenisnya. Tapi itu berarti meminta penutupan layanan yang disukai konsumennya, agar konsumen mereka yang lari itu kembali lagi menerima layanan taksi yang apa adanya itu.
Mengapa perusahaan taksi itu memilih jalan pintas berupa demonstrasi dan memaksa pemerintah menutup pesaingnya? Mengapa mereka tidak berbuat yang lebih strategis dengan meningkatkan layanannya, memperbarui armadanya, memperbaiki struktur tarifnya, dan memasuki era baru era digital?
Era digital ini memang menyakitkan bagi perusahaan yang hidup dari “monopoli atau oligopoli”, yang bisa sukses dan untung besar meski terbiasa tak mempedulikan konsumen. Era digital itu membuat konsumen makin selevel dengan produsen. Bahkan pada kasus tertentu, seperti kasus taksi berbasis aplikasi di atas, konsumen benar-benar raja.
Jika ingin merebut hati konsumen, produsen harus menyediakan mobil yang layak dan sopir yang ratingnya tinggi.
Era digital membuat konsumen punya pilihan lebih banyak. Ini bukan hanya untuk layanan seperti taksi. Produk apapun, bisa mereka Googling. Sebelum membeli barang, generasi digital ini mencari informasi produk dan membanding-bandingkanya via mesin pencari seperti Google. Mereka juga meminta pendapat teman-temanya via media sosial seperti Facebook atau Twitter.
Memang berat menghadapi konsumen di era digital. Tapi itulah pasar yang dihadapi saat ini di seluruh dunia, khususnya di kota-kota besar yang padat pengguna Internet seperti Jakarta.
Saat ini, sekitar 80 juta penduduk Indonesia sudah menggunakan Internet dan hampir semuanya aktif di media sosial. Angka ini akan naik terus dari waktu ke waktu, sehingga boleh dibilang pasar digital adalah pasar masa kini dan masa depan.
Jika ingin bertahan di era digital, perusahaan/produsen harus memahami perilaku konsumen digital ini. Bukan hanya perusaahaan taksi seperti di atas saja, hampir semua perusahaan mau tak mau harus melayani konsumen digital.
Tekanan terbesar sekarang terjadi di industri pariwisata (tujuan wisata, hotel, tiket pesawat), industri musik, media, logistik dan commerce. Tapi tekanan juga sudah mulai dirasakan oleh berbagai industri lain karena publik/konsumen bersuara keras via media sosial saat layanannya jelek.
Sayang, banyak perusahaan besar masih gagap memasuki era digital karena berbagai faktor terutama faktor organisasi yang besar dan lambat, serta kebiasaan mengabaikan konsumen.
Khusus untuk perusahaan taksi di Jakarta, saran saya ini:
1. Berhentilah memaksa sopir berdemonstrasi di jalanan yang malah menimbulkan antipati konsumennya. Saya sempat melihat rombongan taksi yang demonstrasi sambil melanggar lalu lintas yang membuat konsumen makin tak suka. Bagaimana bisa mendapat simpati konsumen jika perilakunya seperti itu?
2. Berhentilah merengek kepada pemerintah untuk menutup layanan berbasis aplikasi. Era digital tak akan bisa dihentikan. Sejarah sudah membuktikan, mesin ketik diganti komputer, lalu komputer pun kini bersaing dengan ponsel cerdas. Nonton film kini tak harus di bioskop, bisa diganti home theater. Tahu berita tak harus baca koran, nonton teve atau mendengarkan radio, tapi cukup dari ponsel buka Twitter atau Facebook. Ojek pangkalan pun kini sudah tak berseteru dengan Gojek dan layanan sejenis. Dan seterusnya.
3. Fokus kepada layanan pelanggan. Saya yakin, para pengusaha taksi itu paham betul keluhan konsumennya, terutama tentang kenyamanan armada taksinya dan perilaku sopirnya.
Memperbaiki dua ini memang tak mudah dan butuh biaya. Bersaing dengan mobil-mobil baru yang dipakai Uber dan Grabtaxi itu membutuhkan peremajaan mobil-mobil taksi yang tua-tua. Itu artinya investasi. Masih sanggup enggak perusahaan invesatasi di armada baru? Bagi Uber dan Grabtaxi, itu bukan masalah karena mobil bukan punya mereka, tapi punya mitra lokal.
Memperbaiki perilaku sopir berarti urusan rekrutmen dan pengembangan SDM, yang tentu juga tak mudah. Ini berbeda jauh dengan layanan berbasis aplikasi yang sopirnya dinilai langsung oleh penumpang. Sistem yang murah meriah, tapi menakutkan bagi sopir untuk nakal atau tak profesional.
Tak ada jalan lain, dua hal itu harus diperbaiki.
4. Masuk dan bertempur di layanan berbasis aplikasi. Konsumen di era digital menyukai layanan digital yang memudahkan hidupnya. Jika ada aplikasi yang bisa membuatnya memesan taksi dari dalam gedung, tak perlu berpanas-panasan di luar gedung atau pinggir jalan, mereka akan memakainya. Inilah keunggulan aplikasi seperti Gojek dan Uber.
Mau tak mau, jika masih ingin ada di benak konsumen digital, layanan taksi konvensional pun harus ada di ponsel konsumen.
Tapi ingat, aplikasi ini hanyalah akses cepat oleh konsumen. Jika perbaikan layanan tak dilakukan, ya akses itu tak ada gunanya.
LINK
Oleh: Nukman Luthfie






Kemarin pagi saya berangkat ke Jakarta, dan berpasasan dengan taksi Ekspress yang kaca belakangnya ditutupi kain bertuliskan: “X-Jodo saja bisa ditutup, mengapa Uber dan Grab tidak bisa?”
Ternyata taksi itu tak sendirian. Di Jakarta saya berpapasan dengan banyak taksi Express yang berdemonstrasi, dengan berbagai pesan di mobilnya, yang intinya meminta pemerintah menutup layanan taksi/kendaraan umum berbasis aplikasi seperti Uber dan Grab.
Sepekan sebelumnya, saya naik taksi Express, dan sepanjang perjalanan mendengarkan keluh kesah sopirnya betapa berat beban mereka sekarang. “Sekarang makin sedikit yang mencegat taksi di pinggir jalan. Kebanyakan pakai ponsel dan pesan dari dalam gedung atau mall,” katanya. Akibatnya, pendapatannya turun sampai separonya.
Perusaahaan taksi konvensional memang sedang menghadapi tantangan berat. Konsumen kini punya pilihan yang lebih baik. Dengan menggunakan transportasi berbasis aplikasi, mereka bebas memilih kendaraan mana yang akan dinaikinya sebagai pengganti taksi.
Jika sudah memesan, dan yang “merebut” pesanannya adalah sopir dengan mobil yang tak disukai, mereka bisa membatalkan pesanannya. Mereka juga bebas memilih sopir yang mana. Jika menemukan sopir yang ratingnya rendah, mereka bebas membatalkan pesanannya.
Jika sopir tak tahu jalan, penumpang tak perlu resah karena perjalanan dipandu dengan aplikasi Google Map, yang presisinya tinggi.
Kemewahan konsumen ini tak dirasakan saat taksi masih dikuasai perusahaan taksi konvensional. Penumpang terpaksa naik taksi yang itu-itu saja, yang kebanyakan mobilnya tua-tua, dan yang layanannya begitu-begitu saja.
Penumpang juga tak bisa memilih sopir. Jika ketemu sopir yang mengaku tak tahu arah, penumpang yang repot. Jika ketemu sopir yang mendadak bilang tak bisa mengantar penumpang yang terlanjur masuk karena mau ke arah lain, penumpang enggak bisa apa-apa kecuali turun dan ngedumel.
Sangat wajar jika penumpang memilih altenatif baru yang lebih menyenangkan hasil pilihan mereka sendiri. Maka pemandangan demonstrasi taksi yang menuntut penutupan layanan berbasis aplikasi itu menjadi aneh di mata saya.
Apakah perusahaan taksi (dan para sopirnya) itu tak sadar bahwa yang mereka lawan adalah konsumen mereka sendiri, yang selama ini mereka layani apa adanya (itu jika betul mereka melayani)?
Memang kasat mata mereka meminta penutupan Uber dan sejenisnya. Tapi itu berarti meminta penutupan layanan yang disukai konsumennya, agar konsumen mereka yang lari itu kembali lagi menerima layanan taksi yang apa adanya itu.
Mengapa perusahaan taksi itu memilih jalan pintas berupa demonstrasi dan memaksa pemerintah menutup pesaingnya? Mengapa mereka tidak berbuat yang lebih strategis dengan meningkatkan layanannya, memperbarui armadanya, memperbaiki struktur tarifnya, dan memasuki era baru era digital?
Era digital ini memang menyakitkan bagi perusahaan yang hidup dari “monopoli atau oligopoli”, yang bisa sukses dan untung besar meski terbiasa tak mempedulikan konsumen. Era digital itu membuat konsumen makin selevel dengan produsen. Bahkan pada kasus tertentu, seperti kasus taksi berbasis aplikasi di atas, konsumen benar-benar raja.
Jika ingin merebut hati konsumen, produsen harus menyediakan mobil yang layak dan sopir yang ratingnya tinggi.
Era digital membuat konsumen punya pilihan lebih banyak. Ini bukan hanya untuk layanan seperti taksi. Produk apapun, bisa mereka Googling. Sebelum membeli barang, generasi digital ini mencari informasi produk dan membanding-bandingkanya via mesin pencari seperti Google. Mereka juga meminta pendapat teman-temanya via media sosial seperti Facebook atau Twitter.
Memang berat menghadapi konsumen di era digital. Tapi itulah pasar yang dihadapi saat ini di seluruh dunia, khususnya di kota-kota besar yang padat pengguna Internet seperti Jakarta.
Saat ini, sekitar 80 juta penduduk Indonesia sudah menggunakan Internet dan hampir semuanya aktif di media sosial. Angka ini akan naik terus dari waktu ke waktu, sehingga boleh dibilang pasar digital adalah pasar masa kini dan masa depan.
Jika ingin bertahan di era digital, perusahaan/produsen harus memahami perilaku konsumen digital ini. Bukan hanya perusaahaan taksi seperti di atas saja, hampir semua perusahaan mau tak mau harus melayani konsumen digital.
Tekanan terbesar sekarang terjadi di industri pariwisata (tujuan wisata, hotel, tiket pesawat), industri musik, media, logistik dan commerce. Tapi tekanan juga sudah mulai dirasakan oleh berbagai industri lain karena publik/konsumen bersuara keras via media sosial saat layanannya jelek.
Sayang, banyak perusahaan besar masih gagap memasuki era digital karena berbagai faktor terutama faktor organisasi yang besar dan lambat, serta kebiasaan mengabaikan konsumen.
Khusus untuk perusahaan taksi di Jakarta, saran saya ini:
1. Berhentilah memaksa sopir berdemonstrasi di jalanan yang malah menimbulkan antipati konsumennya. Saya sempat melihat rombongan taksi yang demonstrasi sambil melanggar lalu lintas yang membuat konsumen makin tak suka. Bagaimana bisa mendapat simpati konsumen jika perilakunya seperti itu?
2. Berhentilah merengek kepada pemerintah untuk menutup layanan berbasis aplikasi. Era digital tak akan bisa dihentikan. Sejarah sudah membuktikan, mesin ketik diganti komputer, lalu komputer pun kini bersaing dengan ponsel cerdas. Nonton film kini tak harus di bioskop, bisa diganti home theater. Tahu berita tak harus baca koran, nonton teve atau mendengarkan radio, tapi cukup dari ponsel buka Twitter atau Facebook. Ojek pangkalan pun kini sudah tak berseteru dengan Gojek dan layanan sejenis. Dan seterusnya.
3. Fokus kepada layanan pelanggan. Saya yakin, para pengusaha taksi itu paham betul keluhan konsumennya, terutama tentang kenyamanan armada taksinya dan perilaku sopirnya.
Memperbaiki dua ini memang tak mudah dan butuh biaya. Bersaing dengan mobil-mobil baru yang dipakai Uber dan Grabtaxi itu membutuhkan peremajaan mobil-mobil taksi yang tua-tua. Itu artinya investasi. Masih sanggup enggak perusahaan invesatasi di armada baru? Bagi Uber dan Grabtaxi, itu bukan masalah karena mobil bukan punya mereka, tapi punya mitra lokal.
Memperbaiki perilaku sopir berarti urusan rekrutmen dan pengembangan SDM, yang tentu juga tak mudah. Ini berbeda jauh dengan layanan berbasis aplikasi yang sopirnya dinilai langsung oleh penumpang. Sistem yang murah meriah, tapi menakutkan bagi sopir untuk nakal atau tak profesional.
Tak ada jalan lain, dua hal itu harus diperbaiki.
4. Masuk dan bertempur di layanan berbasis aplikasi. Konsumen di era digital menyukai layanan digital yang memudahkan hidupnya. Jika ada aplikasi yang bisa membuatnya memesan taksi dari dalam gedung, tak perlu berpanas-panasan di luar gedung atau pinggir jalan, mereka akan memakainya. Inilah keunggulan aplikasi seperti Gojek dan Uber.
Mau tak mau, jika masih ingin ada di benak konsumen digital, layanan taksi konvensional pun harus ada di ponsel konsumen.
Tapi ingat, aplikasi ini hanyalah akses cepat oleh konsumen. Jika perbaikan layanan tak dilakukan, ya akses itu tak ada gunanya.
LINK
Quote:
Pak Sopir, Berdamailah dengan Konsumen Digitalmu
detikinet
Selasa, 22/03/2016 12:10 WIB
Pak Sopir, Berdamailah dengan Konsumen Digitalmu Foto: Ilustrasi oleh Mindra Purnomo
Jakarta - Demo para sopir taksi pada hari ini, Selasa (22/5/2016) tak seperti sebelumnya. Di sejumlah titik terdapat kericuhan, adu fisik sehingga membuat masyarakat ketakutan.
Sebuah pesan damai lewat petisi online pun coba disuarakan netizen, 'Pengusaha dan Pengemudi Taksi Konvensional, Berdamailah dengan Konsumen (Digital) mu...'
Petisi tersebut dibuat oleh penggiat internet dan juga Direktur Eksekutif ICT Watch Donny B.U. Ia menulis, ketimbang-ribut-ribut, pengusaha dan pengemudi taksi konvensional sebaiknya beradaptasi dengan teknologi, pahami perilaku konsumen di era digital.
"Jangan menentang perubahan, berdamailah dengannya!" tegasnya.
Dalam petisi yang tertuang dalam situs Change.org itu juga dimasukkan sejumlah komentar dari para pakar. Seperti diungkapkan pakar manajemen Rhenald Kasali yang menyatakan, pesaingnya (taksi konvensional) bukan sesama bisnis taksi, melainkan para pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen yang membutuhkan jasa angkutan.
"Selamat datang di peradaban sharing economy. Efisiensi menjadi kenyataan karena kita saling mendayagunakan segala kepemilikan yang tadinya idle dari owning economy. Hadirnya aplikasi (online) ini membuat bisnis taksi tersaingi. Begitulah, kita tak bisa membendung teknologi. Ia akan hadir untuk menghancurkan bisnis yang sudah mapan, yang tak bisa beradaptasi dengan perubahan. Persis kata Charles Darwin, bukan yang terkuat yang akan bertahan, tetapi yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan perubahan," tulis Rhenald.
Sementara menurut pakar media sosial Nukman Luthfie, perusahaan taksi konvensional memang sedang menghadapi tantangan berat. Konsumen kini punya pilihan yang lebih baik. Dengan menggunakan transportasi berbasis aplikasi, mereka bebas memilih kendaraan mana yang akan dinaikinya sebagai pengganti taksi.
"Apakah perusahaan taksi (dan para sopirnya) itu tak sadar bahwa yang mereka lawan adalah konsumen mereka sendiri, yang selama ini mereka layani apa adanya (itu jika betul mereka melayani)? Memang berat menghadapi konsumen di era digital. Jika ingin bertahan di era digital, perusahaan/produsen harus memahami perilaku konsumen digital ini. Masuk dan bertempur di layanan berbasis aplikasi. Konsumen di era digital menyukai layanan digital yang memudahkan hidupnya," Nukman menjelaskan.
Menkominfo Rudiantara pun telah berkoordinasi dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan serta Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. Adapun solusi win-win yang kemudian difasilitasi oleh pemerintah adalah:
-. Bagi kendaraan yang digunakan untuk transportasi umum berbasis aplikasi online, kini pengemudi atau pemiliknya dapat bergabung dalam koperasi. Melalui koperasi tersebut, pengemudi atau pemilik kendaraan dapat mengajukan uji teknis dan kelaikan kendaraan (uji kir) demi keselamatan penumpang sebagaimana diatur dalam UU Transportasi.
-. Bagi penyedia layanan aplikasi online diharuskan memiliki Badan Usaha Tetap (Permanent Establishment) di Indonesia. Grab Car telah memiliki badan hukum Perseroan Terbatas (PT), sedangkan Uber belum memiliki. Syarat BUT ini diperuntukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen juga terkait dengan aspek penghitungan pajak negara
detikinet
Selasa, 22/03/2016 12:10 WIB
Pak Sopir, Berdamailah dengan Konsumen Digitalmu Foto: Ilustrasi oleh Mindra Purnomo
Jakarta - Demo para sopir taksi pada hari ini, Selasa (22/5/2016) tak seperti sebelumnya. Di sejumlah titik terdapat kericuhan, adu fisik sehingga membuat masyarakat ketakutan.
Sebuah pesan damai lewat petisi online pun coba disuarakan netizen, 'Pengusaha dan Pengemudi Taksi Konvensional, Berdamailah dengan Konsumen (Digital) mu...'
Petisi tersebut dibuat oleh penggiat internet dan juga Direktur Eksekutif ICT Watch Donny B.U. Ia menulis, ketimbang-ribut-ribut, pengusaha dan pengemudi taksi konvensional sebaiknya beradaptasi dengan teknologi, pahami perilaku konsumen di era digital.
"Jangan menentang perubahan, berdamailah dengannya!" tegasnya.
Dalam petisi yang tertuang dalam situs Change.org itu juga dimasukkan sejumlah komentar dari para pakar. Seperti diungkapkan pakar manajemen Rhenald Kasali yang menyatakan, pesaingnya (taksi konvensional) bukan sesama bisnis taksi, melainkan para pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen yang membutuhkan jasa angkutan.
"Selamat datang di peradaban sharing economy. Efisiensi menjadi kenyataan karena kita saling mendayagunakan segala kepemilikan yang tadinya idle dari owning economy. Hadirnya aplikasi (online) ini membuat bisnis taksi tersaingi. Begitulah, kita tak bisa membendung teknologi. Ia akan hadir untuk menghancurkan bisnis yang sudah mapan, yang tak bisa beradaptasi dengan perubahan. Persis kata Charles Darwin, bukan yang terkuat yang akan bertahan, tetapi yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan perubahan," tulis Rhenald.
Sementara menurut pakar media sosial Nukman Luthfie, perusahaan taksi konvensional memang sedang menghadapi tantangan berat. Konsumen kini punya pilihan yang lebih baik. Dengan menggunakan transportasi berbasis aplikasi, mereka bebas memilih kendaraan mana yang akan dinaikinya sebagai pengganti taksi.
"Apakah perusahaan taksi (dan para sopirnya) itu tak sadar bahwa yang mereka lawan adalah konsumen mereka sendiri, yang selama ini mereka layani apa adanya (itu jika betul mereka melayani)? Memang berat menghadapi konsumen di era digital. Jika ingin bertahan di era digital, perusahaan/produsen harus memahami perilaku konsumen digital ini. Masuk dan bertempur di layanan berbasis aplikasi. Konsumen di era digital menyukai layanan digital yang memudahkan hidupnya," Nukman menjelaskan.
Menkominfo Rudiantara pun telah berkoordinasi dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan serta Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. Adapun solusi win-win yang kemudian difasilitasi oleh pemerintah adalah:
-. Bagi kendaraan yang digunakan untuk transportasi umum berbasis aplikasi online, kini pengemudi atau pemiliknya dapat bergabung dalam koperasi. Melalui koperasi tersebut, pengemudi atau pemilik kendaraan dapat mengajukan uji teknis dan kelaikan kendaraan (uji kir) demi keselamatan penumpang sebagaimana diatur dalam UU Transportasi.
-. Bagi penyedia layanan aplikasi online diharuskan memiliki Badan Usaha Tetap (Permanent Establishment) di Indonesia. Grab Car telah memiliki badan hukum Perseroan Terbatas (PT), sedangkan Uber belum memiliki. Syarat BUT ini diperuntukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen juga terkait dengan aspek penghitungan pajak negara
Quote:
Tuntutan demo taxi bias..
Copas dr temen group tetangga
Sharing hasil ngobrol sm beberapa driver bb, secara umum apa yg dituntut oleh para pengemudi taxi itu bias kl menurut saya..
1. Penutupan aplikasi
2. Pengenaan pajak/ kir
3. Plat kuning
4. Penyesuaian tarif
5. Regulasi
Mereka ternyata bingung ketika tuntutan mereka itu blunder..
Gini..
1. Pak, kl aplikasi yg ditutup bukan nya bb dan ex juga ada aplikasi nah gmn tuh.. Mereka hanya bilang yah itu dia pak.. Apakah penumpang harus kembali ke jaman dahulu kala harus keluar komplek ke jalan besar hujan2an atau panas2an bawa bayi atau orang tua jika mau naik taxi? Kok primitif sih..
2. Percaya sama saya deh.. dari beberapa taxi bb yg saya naikin pengemudi ga ada yg ngeh bahwa tarif pajak tahunan stnk mereka (taxi) itu hanya sepersepuluh atau seperdelapan dr pajak stnk tahunan mobil uber dan grab.. Iya betul kurleb hanya sepersepuluh atau seperdelapan saja! Cek ajah atau suruh pengemudi taxi yg cek.. Biaya kir sekitar 65rb per 6 bulan. Tetep lebih murah jauh pajak mereka jika dibandingkan total pajak uber dan grab. Pengemudi yg udh2 lgs diem kl kita ajak diskusi spt itu..
3. Plat kuning.. Bb punya goldenbird dan ngetem di bandara dgn parkiran khusus.. Suruh kuningin juga tuh.. Pengemudi kembali nyengir..
4. Penyesuaian tarif.. Pak pengemudi yg baik.. Dgn pajak yg semurah itu harusnya peruzahaan bapak yg menyesuaikan tarif bukan uber atau grab.. Kembali spt biasa pengemudi nyengir 😁
5. Nah kalau regulasi saya setuju Pak pengemudi kl itu tuntutannya. Kl memang Uber dan Grab harus mengikuti aturan yg berlaku di Indonesia. Cuma nda khawatir kl nanti pajak stnk akan sama dengan kendaraan taxi maka tarif mereka bisa lebih murah lagi Pak heheS E N S O R
Kebetulan krn pekerjaan sehingga dr senin smp jumat kemarin saya selalu naik bb dan menyempatkan ngobrol ringan dgn pengemudinya sepanjang perjalanan dan hampir semuanya hanya bingung dan nyengir bahkan ujung2nya mereka menyanggah ikut demo.. saya ga ikut demo, itu pengurus dan ada biaya operasional kl pengemudi libur mau ikut demo dari 50 -150ribu. Bb hanya mengeluarkan kendaraan yg berumur 5 thn utk demo kemarin.. Oh ternyata disupport oleh perusahaan toh..
Intinya kl menurut saya pribadi demo mereka adalah titipan dari pengusaha dan stake holder yg merugi akibat kehadiran uber dan grab
Secara aspiratif PPAD yg mendadak exist itu hanya menuntut uber dan grab hangus dr muka bumi.. Mereka intinya takut bersaing dgn Uber dan Grab. Para pengusaha itu panik dgn harga saham2 mereka yg semakin menurun dan tergerus..
Kl mau berkaca, seharusnya taxi menurunkan tarifnya. Jgn mencoba melawan jaman yg semakin maju dan canggih dgn menjadi primitif.. Tapi lebih agar dpt bersaing kembali di pazar modern dan teknologi yg cianggih ini.. berinovasi itulah saat ini menurut saya yg paling tepat dalam bersaing di era ini..
Harapan saya,kalau memang pengemudi tdk mengetahui akan tujuan demo sebenarnya, semoga sedikit coretan ini bisa menjadikan mereka lebih paham apakah mereka menjadi alat atau murni menyalurkan aspirasinya..😊
#sekedar curhat dgn pemahaman minim saya saja..
Politik para pengusaha yg mengatasnamakan kesejahteraan driver...
Copas dr temen group tetangga
Sharing hasil ngobrol sm beberapa driver bb, secara umum apa yg dituntut oleh para pengemudi taxi itu bias kl menurut saya..
1. Penutupan aplikasi
2. Pengenaan pajak/ kir
3. Plat kuning
4. Penyesuaian tarif
5. Regulasi
Mereka ternyata bingung ketika tuntutan mereka itu blunder..
Gini..
1. Pak, kl aplikasi yg ditutup bukan nya bb dan ex juga ada aplikasi nah gmn tuh.. Mereka hanya bilang yah itu dia pak.. Apakah penumpang harus kembali ke jaman dahulu kala harus keluar komplek ke jalan besar hujan2an atau panas2an bawa bayi atau orang tua jika mau naik taxi? Kok primitif sih..
2. Percaya sama saya deh.. dari beberapa taxi bb yg saya naikin pengemudi ga ada yg ngeh bahwa tarif pajak tahunan stnk mereka (taxi) itu hanya sepersepuluh atau seperdelapan dr pajak stnk tahunan mobil uber dan grab.. Iya betul kurleb hanya sepersepuluh atau seperdelapan saja! Cek ajah atau suruh pengemudi taxi yg cek.. Biaya kir sekitar 65rb per 6 bulan. Tetep lebih murah jauh pajak mereka jika dibandingkan total pajak uber dan grab. Pengemudi yg udh2 lgs diem kl kita ajak diskusi spt itu..
3. Plat kuning.. Bb punya goldenbird dan ngetem di bandara dgn parkiran khusus.. Suruh kuningin juga tuh.. Pengemudi kembali nyengir..
4. Penyesuaian tarif.. Pak pengemudi yg baik.. Dgn pajak yg semurah itu harusnya peruzahaan bapak yg menyesuaikan tarif bukan uber atau grab.. Kembali spt biasa pengemudi nyengir 😁
5. Nah kalau regulasi saya setuju Pak pengemudi kl itu tuntutannya. Kl memang Uber dan Grab harus mengikuti aturan yg berlaku di Indonesia. Cuma nda khawatir kl nanti pajak stnk akan sama dengan kendaraan taxi maka tarif mereka bisa lebih murah lagi Pak heheS E N S O R
Kebetulan krn pekerjaan sehingga dr senin smp jumat kemarin saya selalu naik bb dan menyempatkan ngobrol ringan dgn pengemudinya sepanjang perjalanan dan hampir semuanya hanya bingung dan nyengir bahkan ujung2nya mereka menyanggah ikut demo.. saya ga ikut demo, itu pengurus dan ada biaya operasional kl pengemudi libur mau ikut demo dari 50 -150ribu. Bb hanya mengeluarkan kendaraan yg berumur 5 thn utk demo kemarin.. Oh ternyata disupport oleh perusahaan toh..
Intinya kl menurut saya pribadi demo mereka adalah titipan dari pengusaha dan stake holder yg merugi akibat kehadiran uber dan grab
Secara aspiratif PPAD yg mendadak exist itu hanya menuntut uber dan grab hangus dr muka bumi.. Mereka intinya takut bersaing dgn Uber dan Grab. Para pengusaha itu panik dgn harga saham2 mereka yg semakin menurun dan tergerus..
Kl mau berkaca, seharusnya taxi menurunkan tarifnya. Jgn mencoba melawan jaman yg semakin maju dan canggih dgn menjadi primitif.. Tapi lebih agar dpt bersaing kembali di pazar modern dan teknologi yg cianggih ini.. berinovasi itulah saat ini menurut saya yg paling tepat dalam bersaing di era ini..
Harapan saya,kalau memang pengemudi tdk mengetahui akan tujuan demo sebenarnya, semoga sedikit coretan ini bisa menjadikan mereka lebih paham apakah mereka menjadi alat atau murni menyalurkan aspirasinya..😊
#sekedar curhat dgn pemahaman minim saya saja..
Politik para pengusaha yg mengatasnamakan kesejahteraan driver...
konsumen yg menentukan, yg tidak kreatif tergilas jaman.sudah terbukti
sudah ga zaman monopoli, kartel, oligopoli .bos
perusahaan2 taksi reguler, angkutan umum lainnya sudah spt kartel mafia membuat konsumen tidak punya pilihan.sejak ada jasa ojek online n taxi online konsumen punya pilihan.perusahaan taxi n angkutan ga senang.karena kartel mereka terganggu .
mereka ga sadar dengan perubahan zaman n keinginan konsumen karena sudah keenakan di kasi monopoli , kartel harga .
Sudah banyak perusahaan besar tumbang karena ga mau mengikuti keinginan konsumen n perubahan zaman n teknologi.apalagi kl produknya di bidang jasa .harus terus menerus kreatif .bukan manja maunya konsumen yg mengikuti keinginan perusahaan .akhirnya sekarang perusahaan besar tsb tinggal sejarah

Bersambung kw post 46
sudah ga zaman monopoli, kartel, oligopoli .bos
perusahaan2 taksi reguler, angkutan umum lainnya sudah spt kartel mafia membuat konsumen tidak punya pilihan.sejak ada jasa ojek online n taxi online konsumen punya pilihan.perusahaan taxi n angkutan ga senang.karena kartel mereka terganggu .
mereka ga sadar dengan perubahan zaman n keinginan konsumen karena sudah keenakan di kasi monopoli , kartel harga .
Sudah banyak perusahaan besar tumbang karena ga mau mengikuti keinginan konsumen n perubahan zaman n teknologi.apalagi kl produknya di bidang jasa .harus terus menerus kreatif .bukan manja maunya konsumen yg mengikuti keinginan perusahaan .akhirnya sekarang perusahaan besar tsb tinggal sejarah

Bersambung kw post 46
Diubah oleh xonet 23-03-2016 10:46
0
5.8K
Kutip
48
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan