Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kelvinlutfiAvatar border
TS
kelvinlutfi
Kasus Menara BCA, Perdata atau Pidana?
Sampai hari ini pembicaraan akan BOT PT. Grand Indonesia, semakin hangat hingga menekan Kejaksaan Agung untuk menentukan langkah pasti. Perlu diketahui bahwa Kejaksaan Agung memang harus berhati-hati memikirkan benar atau tidak nya langkah untuk menyidik kasus ini bahkan hingga dampak yang akan muncul jika Kejagung salah dalam memutuskan langkah.

Sengketa BOT bukan Pidana
Lalu yang muncul pertanyaan; termasuk delik Pidana kah sengketa BOT PT. Grand Indonesia dengan PT. Hotel Indonesia Natour (HIN) ini? Bahkan banyak yang berani menekan Kejaksaan Agung. Jika sengketa ini akhirnya jatuh kedalam penanganan Kejaksaan Agung maka sengketa ini akan dianggap delik Pidana.

Dari kata “Kerjasama” masyarakat awam pun sudah mengetahui jika terjadi permasalahan/perselisihan maka yang akan diberlakukan adalah delik Perdata. Mungkin kita tidak perlu kuliah tinggi hanya untuk mengetahui perbedaan ini. Bagaimana (bisa) sebuah perjanjian kesepakatan perdata, lalu dipidanakan, hanya karena ada klaim kelemahan dari salah satu pihak yang membuat kesepakatan?

Pada dasarnya dengan menyetujui dan menandatangani perjanjian BOT ini, pemerintah sebenarnya tengah berbisnis, yaitu bisnis kerja sama aset yang dimiliki dengan pihak swasta. Margarito Kamis ( pakar hukum tatanegara, loh,, ) berpendapat ; “Perjanjian BOT adalah perjanjian bisnis yang masuk ranah perdata dan jika di kemudian hari ditemukan ada kelemahan atau kekurangan, para pihak yang mengikat perjanjian itu mestinya memperbaiki. Bukan sebaliknya, secara sepihak, membawa masalah itu ke Kejaksaan Agung yang mengurusi ranah pidana.” Dalam berbisnis, pasti ada potensi untung dan sebaliknya merugi, jika pemerintah merasa ada kerugian, maka perjanjian itu harus direvisi. Atau (mungkin) ini cara PT. HIN (BUMN) mengajukan “REVISI” ??

Jika memang ingin me-“revisi” menurut saya PT. GI bukan pihak yang menutup diri. Perlu diketahui PT. Grand Indonesia menyatakan perpanjangan kontrak pengelolaan kawasan Hotel Indonesia 20 tahun, dari 30 tahun menjadi 50 tahun karena pemilik lahan, yakni karena PT Hotel Indonesia Natour membutuhkan uang untuk renovasi asetnya yang terkena dampak gempa Padang tahun 2009. Pada perjanjian kontrak pertama, HIN menerima kompensasi sebesar Rp 355 miliar atau 25 persen dari NJOP untuk jangka waktu 2004 hingga 2033. Sementara itu pada perjanjian perpanjangan selama 20 tahun hingga 2053, HIN menerima kompensasi tambahan sebesar Rp 400 miliar dari Grand Indonesia. PT. GI Cukup pengertian dan kooperatif yaa,,

Untung-rugi Bentuk Kerjasama BOT PT. HIN dengan PT. GI
Jika kita meninjau pendapatan yang didapatkan Negara (PT. HIN) melalui kontrak BOT dengan PT. GI secara keseluruhan maka jumlah penerimaan negara adalah kurang lebih sebesar Rp 6,2 triliun. Hasil tersebut merupakan penjumlahan keuntungan negara dari kompensasi tetap kontark BOT sebesar Rp 794,1 miliar ditambah dengan total investasi kompleks bangunan Grand Indonesia yang setelah BOT berakhir akan menjadi milik negara sebesar Rp 5,5 triliun. (Lihat Gambar).




Jika kita meninjau melalui nilai asset yang didapat PT. HIN melalui kontrak kerjasama BOT dengan PT. DI kita melihat dari dasar kerjasama BOT. Kerjasama BOT merupakan bentuk kerjasama berdasarkan Keputusan Mentri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 Jo SE - 38/PJ.4/1995 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara-Daerah. Singkatnya perjanjian Build, operate, and transfer (BOT) adalah perjanjian untuk suatu proyek yang dibangun oleh pemerintah dan membutuhkan dana yang besar, dan pembiayaannya dari pihak swasta, pemerintah dalam hal ini menyediakan lahan yang akan digunakan oleh swasta guna membangun proyek. Pihak pemerintah akan memberikan ijin untuk membangun, mengopersikan fasilitas dalam jangka waktu tertentu dan menyerahkan pengelolaannya kepada pembangunan proyek (swasta). Setelah melewati jangka waktu tertentu proyek atau fasilitas tersebut akan menjadi milik pemerintah selaku milik proyek.

Perjanjian BOT berbeda dengan perjanjian sewa tanah maupun perjanjian pembangunan gedung. Artinya pihak mitra Hotel Indonesia, yakni Grand Indonesia, memiliki hak untuk mengembangkan kawasan yang dikerjasamakan tersebut, termasuk membangun berbagai bangunan. Perjanjian yang diteken soalnya bukan kerjasama sewa lahan ataupun pembangunan gedung, tapi BOT.

Model kerjasama ini berbeda dengan sewa lahan. Jika skema yang ditempuh adalah sewa lahan, tidak ada kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan bangunan yang telah didirikan kepada pemilik tanah. Jika sewa lahan, penyewa bisa saja merobohkan bangunan saat perjanjian selesai. Atau kalau tidak begitu, pemilik lahan harus membeli bangunan yang telah berdiri di lahannya itu kepada pihak penyewa karena klausulnya hanya sewa lahan. Ini berbeda dengan BOT yang harus menyerahkan bangunan yang dibangunnya kepada pemilik tanah tanpa harus membayar

Demikian juga, BOT berbeda dengan perjanjian pembangunan gedung. Di mana gedung-gedung yang didirikan harus sesuai dengan perjanjian. Sementara pada BOT, pihak penyewa berhak mengembangkan kawasan tersebut tanpa terikat dengan berapa gedung yang harus dibangun.
Perjanjian BOT memberikan hak kepada mitra yang telah mendapatkan konsesi lahan untuk membangun kawasan, kemudian mengoperasikannya. Di akhir kerjasama, kawasan yang telah dibangun itu wajib dikembalikan kepada pemilik lahan, termasuk bangunan yang ada. Bahkan saat dikembalikan, semua bangunan yang ada harus di-appraisal, apakah layak atau tidak bangunan yang diserahkan tersebut.
Jadi kesimpulan saya Pemerintah PT. Hotel Indonesia Natour (HIN) sebenarnya sangat diuntungkan dengan skema kerjasama BOT. Lantaran, tidak keluar uang sepeser pun dan langsung menerima uang atau kompensasi atas pemanfaatan kawasan yang ada di area Hotel Indonesia. Di akhir kerjasama, pemerintah juga telah memiliki gedung yang memiliki nilai bisnis tinggi. Keuntungan lainnya, Grand Indonesia telah berhasil mengembangkan kawasan Hotel Indonesia menjadi salah satu land mark Jakarta.

Saya menilai kasus Menara BCA sangat janggal karena menurut saya, kasus ini tergolong kasus Perdata. Saya menilai aneh kalau tiba-tiba semudah itu kasus Perdata diseret ke ranah Pidana, karena pada faktanya kalau pun ada pelanggaran, maka pelanggaran itu mengacu pada perjanjian kedua belah pihak (Perdata). Pendapat saya ini juga berdasarkan sejumlah dokumen terkait kasus Menara BCA di media dan sejumlah blog yang saya baca. Menurutnya, protes HIN terhadap perjanjian tidak masuk akal karena tidak ada aspek yang dilanggar oleh PT CKBI dan PT Grand Indonesia. Saya juga menilai, kalau tidak ada kepastian hukum seperti ini, bisa membuat investor takut dan pada akhirnya berpengaruh pada iklim investasi dan kondisi ekonomi secara makro. Oleh sebab itu, penulis meminta semua pihak hati-hati dalam menelaah kasus ini, agar tidak berdampak jangka panjang terhadap perekonomian Indonesia.

Selengkapnya:
http://m.rmol.co/read/2016/03/11/239...-Ranah-Pidana-
http://www.indopos.co.id/2016/03/jan...tor-takut.html
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...untuk.Renovasi
http://www.kaskus.co.id/thread/56e15...dapat-rp-62-t/
http://www.kaskus.co.id/thread/56e15...rand-indonesia
Diubah oleh kelvinlutfi 11-03-2016 13:02
0
1.7K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan