- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Mangalorean Catholics, a Christian ethno-religious in India
TS
dragonroar
Mangalorean Catholics, a Christian ethno-religious in India
Spoiler for definisi ethno-religious:
id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_etnoreligius
Kelompok etnoreligius (atau kelompok etno-religius) adalah sebuah kelompok etnis dari orang-orang yang anggota-anggotanya juga disatukan oleh sebuah latar belakang agama umum.
Contoh kelompok etnis yang didefinikasikan menurut agama leluhurnya adalah Asiria, Armenia, Sikh, Druze, Koptik,Yazidi, Shabak, Zoroastrian, Zaza, Lur, Kaka'i, Huguenot, Yahudi dan Serer.
Kelompok etnoreligius (atau kelompok etno-religius) adalah sebuah kelompok etnis dari orang-orang yang anggota-anggotanya juga disatukan oleh sebuah latar belakang agama umum.
Contoh kelompok etnis yang didefinikasikan menurut agama leluhurnya adalah Asiria, Armenia, Sikh, Druze, Koptik,Yazidi, Shabak, Zoroastrian, Zaza, Lur, Kaka'i, Huguenot, Yahudi dan Serer.
Quote:
id.wikipedia.org/wiki/Umat_Katolik_Mangalore
Umat Katolik Mangalore (Konkani: Kodialchein Katholik) adalah sebuah komunitas etno-religius Katolik Roma yang mengikuti Ritus Latin dari Keuskupan Mangalore (terletak di distrik Kanara Selatan) di pesisir barat daya Karnataka, India.[2][3] Mereka adalah orang Konkanidan berbicara dalam bahasa Konkani.
Umat Katolik Mangalore masa kini utamanya merupakan keturunan dari umat Katolik Goa yang melakukan migrasi ke Kanara Selatanantara tahun 1560–1573 selama masa Inkuisisi Goa, peperangan antara Portugis–Adil Shahi, dan peperangan antara Portugis–Maratha. Mereka belajar bahasa-bahasa Kanara Selatan,Tulu, dan Kannada, tetapi tetap mempertahankan Konkani sebagai bahasa ibu mereka serta melestarikan gaya hidup mereka.Pembuangan selama 15 tahun di Seringapatam dalam masa Tipu Sultan, penguasa de facto dari Kerajaan Mysore, sejak 24 Februari 1784 hingga 4 Mei 1799, menyebabkan hampir punahnya komunitas tersebut. Setelah kekalahan Tipu oleh Britania pada tahun 1799, komunitas tersebut bermukim kembali di Kanara Selatan, dan kemudian berkembang di bawah kekuasaan Britania.
Meskipun berbagai pernyataan awal mengenai suatu identitas Katolik Mangalore yang berbeda bermula dari periode migrasi, namun perkembangan identitas budaya Katolik Mangalore baru timbul setelah masa pembuangan. Budaya umat Katolik Mangalore merupakan perpaduan antara budaya Mangalore dan Goa. Setelah migrasi, mereka mengadopsi beberapa aspek budaya Mangalore setempat, tetapi mempertahankan banyak tradisi dan kebiasaan mereka dari Goa; dan layaknya leluhur mereka dari Goa, budaya Katolik Mangalore modern dapat digambarkan secara tepat sebagai suatu budaya Indo-Latin yang disesuaikan dengan norma-norma Inggris. Diaspora Katolik Mangalore sebagian besar terkonsentrasi di negara-negara Arab di Teluk Persia dan Anglosfer.
Masa pra-migrasi

Kepulauan Santa Maria di Udupi, di mana penjelajah Portugis Vasco da Gama mendarat tahun 1498
Semua catatan dari awal keberadaan umat Kristen di Kanara Selatan hilang pada saat pembuangan mereka oleh Tipu Sultan di tahun 1784. Karenanya tidak diketahui pasti kapan agama Kristen diperkenalkan di Kanara Selatan, meskipun ada kemungkinan bahwa umat Kristen Suriah menetap di Kanara Selatan, sebagaimana juga terjadi diKerala, sebuah negara bagian di selatan Kanara.[12] Penjelajah Italia Marco Polomencatat bahwa ada aktivitas perdagangan yang cukup besar antara pesisir Kanara dan Laut Merah pada abad ke-13. Dapat diduga bahwa para pedagang Kristen asing mengunjungi kota-kota pesisir di Kanara Selatan selama periode perdagangan; dan ada kemungkinan beberapa imam Kristen menemani mereka untuk melakukanpenginjilan.[13]
Pada bulan April 1321 Jordanus Catalani dari Severac (di barat daya Perancis), seorang biarawan Dominikan, mendarat di Thana bersama dengan 4 biarawan lainnya.[14] Ia kemudian melakukan perjalanan ke Bhatkal di Kanara Utara, sebuah kota pelabuhan di jalur pesisir dari Thana ke Quilon.[15][16] Ia menjadi uskup pertama di India dan Keuskupan Quilon, serta dipercaya untuk melakukan pemeliharaan rohani komunitas Kristen di Mangalore dan bagian lainnya di India olehPaus Yohanes XXII.[17] Menurut sejarawan Severine Silva, tidak ada bukti konkret yang telah ditemukan terkait adanya pemukiman permanen umat Kristen di Kanara Selatan sebelum abad ke-16. Kekristenan mulai menyebar baru setelah datangnya Portugis di wilayah tersebut.[13]
Pada tahun 1498 penjelajah Portugis Vasco da Gama mendarat di satu gugusan pulau di Kanara Selatan dalam pelayarannya dari Portugal ke India. Ia menamakan pulau-pulau tersebut El Padron de Santa Maria, yang kemudian dikenal dengan Kepulauan Santa Maria.[18] Pada tahun 1500 penjelajah Portugis Pedro Álvares Cabral tiba di Anjedivadi Kanara Utara bersama dengan 8 misionaris Fransiskan. Di bawah kepemimpinan Frei Henrique Soares de Coimbra, para misionaris tersebut menyebabkan 22 atau 23 penduduk asli di daerah Mangalore memeluk agama Kristen.[16]Selama masa-masa awal abad ke-16, Krishnadevaraya (1509-1529), penguasa Kemaharajaan Wijayanagara dariDekkan, memberi hak istimewa komersial kepada orang-orang Portugis di pesisir Kanara. Ada kebebasan sepenuhnya dalam beribadah, berkeyakinan, dan penyebaran ajaran agama di Kemaharajaan Wijayanagara.[13] Tahun 1526, di bawah komando Lopo Vaz de Sampaio (seorang viceroy), Portugis mengambil alih Mangalore.[19]
Para Fransiskan Portugis secara perlahan mulai menyebarkan ajaran Kekristenan di Mangalore.[19] Tokoh setempat yang memeluk Kristen yang paling terkemuka adalah mahant Brahmana Shankarayya; ia pada tahun 1751 melakukan perjalanan dengan istrinya dari Kallianpur ke Goa dan dibaptis, dengan viceroy Portugis berperan sebagai wali baptisnya. Mahant yang dihormati itu mengambil nama baptis Francisco de Távora, dari nama Viceroy Marques de Távora.[20][21] Harta kekayaan mereka kemudian diambil alih oleh kerabat Hindu mereka, namun sang viceroymenginstruksikan perwakilannya di Mangalore untuk mendapatkan kembali harta mereka.[21][22] Pada tahun 1534 Kanara ditempatkan di bawah yurisdiksi gerejani Uskup Goa, di mana bangsa Portugis memiliki keberadaan yang kuat. Para misionaris segera tiba dan menerima penduduk yang mau memeluk (konversi) Kekristenan. Jumlah penduduk setempat yang melakukan konversi di Kanara Selatan terus meningkat hingga tahun 1546.[12] Selama pertengahan abad ke-16, orang-orang Portugis tersebut menghadapi perlawanan dari Abbakka Rani dari Ullal, Ratu wangsa Bednore. Hal ini segera menghentikan segala bentuk konversi. Pertempuran pertama antara Abbakka Rani dan orang-orang Portugis terjadi pada tahun 1546; sang ratu tampil sebagai pemenang dan memaksa Portugis keluar dari Kanara Selatan.[23]
Masa migrasi

Sebuah litograf berwarna dari abad ke-19 yang menggambarkan konversi Paravas oleh Fransiskus Xaverius, seorang santo Katolik Roma, pada tahun 1542. Ia meminta João III dari Portugal untuk melakukan Inkuisisi di Goa, yang menyebabkan gelombang migrasi besar pertama ke Kanara Selatan.
Pada tahun 1510, armada Portugis di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque, dikirim oleh Raja Manuel I dari Portugal, merebut negara bagian Goa dari Sultan Yusuf Adil Shah dari Bijapur.[24] Tahun 1534, Keuskupan Goa didirikan. Tidak lama kemudian para misionaris dikirim ke Goa, yang menyebabkan konversi penduduk dalam jumlah yang lumayan besar ke Katolik Roma.[25] Bagian terbesar dari para pemukim Kristen datang dalam tiga gelombang migrasi besar menuju Kanara Selatan. Semua migrasi ini berlangsung selama berbagai periode gejolak besar: Inkuisisi Goa terjadi sejak tahun 1560; peperangan antara bangsa Portugis–Adil Shahi terjadi antara tahun 1570–1579; dan peperangan antara bangsa Portugis–Maratha terjadi antara tahun 1667–1683 dan 1737–1740.[26] Faktor-faktor lain yang menyebabkan migrasi massal adalah wabah penyakit, bencana kelaparan, bencana alam, kepadatan penduduk yang berlebihan, kondisi hidup yang buruk, beban pajak yang berat, dan diskriminasi sosial oleh orang-orang Portugis.
Pada tahun 1542 Fransiskus Xaverius, seorang Yesuit dari Navarra dan rekan pendiriSerikat Yesus, tiba di Goa.[28] Ia menemukan bahwa orang-orang yang baru memeluk Kristen mempraktikkan kembali tradisi dan kebiasaan Hindu. Ia kemudian meminta Raja Portugal João III untuk melakukan suatu Inkuisisi di Goa pada tahun 1545.[29]Banyak leluhur orang-orang Goa dari umat Katolik Mangalore masa kini yang melarikan diri dari Goa ketika Inkuisisi dimulai pada tahun 1560. Raja Sebastião I menetapkan bahwa setiap jejak kebiasaan atau adat India harus dihapus melalui Inkuisisi tersebut. Banyak umat Kristen Goa yang dengan gigih mempertahankan beberapa kebiasaan India mereka yang telah ada sejak dahulu, terutama kostum pernikahan Hindu tradisional mereka, dan menolak untuk meninggalkannya.[30] Mereka yang menolak untuk menaatinya terpaksa meninggalkan Goa dan menetap di luar kekuasaan Portugis,[12] yang mengakibatkan gelombang migrasi besar pertama menuju Kanara Selatan.[31]
Umat Kristen yang meninggalkan Goa sebagian besarnya merupakan para agrikulturis terampil yang meninggalkan lahan beririgasi mereka di Goa untuk memperoleh kebebasan.[32] Sisanya merupakan para pedagang, pengrajin, pandai emas, dan tukang kayu terampil.[33] Pada saat terjadinya migrasi, Kanara diperintah oleh Raja Keladi Shivappa Nayaka(1540–1560). Ia menunjukkan minat yang besar dalam pembangunan pertanian di kerajaannya dan menyambut para agrikulturis ini, memberikan lahan subur kepada mereka untuk dibudidayakan.[32] Mereka direkrut ke dalam angkatan bersenjata wangsa Bednore.[34][a] Hal ini dikonfirmasi oleh Francis Buchanan, seorang dokter Skotlandia, ketika ia mengunjungi Kanara pada tahun 1801. Dalam bukunya A Journey from Madras through the Countries of Mysore, Canara and Malabar (1807), ia menyatakan bahwa "Para pangeran dari Ikkeri tersebut memberi dorongan semangat yang besar bagi umat Kristen, dan menyebabkan 80.000 di antara mereka menetap di Tuluva."[35][36] Kemudian, pernyataan ini diidentifikasi sebagai suatu kesalahan potensial dan seharusnya dibaca "8.000". Jumlah tersebut mencakup emigrasiumat Kristen yang kedua dari Goa.[32] Kebijakan perpajakan wangsa Nayaka dari Keladi selama tahun 1598–1763 memungkinkan para migran Katolik Goa untuk tampil sebagai bangsawan pemilik tanah yang terkemuka di Kanara Selatan.[37] Para migran ini umumnya membawa membawa modal mereka masing-masing dari Goa, yang mereka investasikan dalam lahan baru mereka, sehingga secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap kemakmuran kerajaan Keladi.[33]
Berdasarkan perjanjian sementara antara bangsa Portugis dan para penguasa Bednore, serta Padroado, umat Kristen diizinkan untuk membangun gereja-gereja; hal ini mendorong pertumbuhan Kekristenan di Kanara Selatan.[34]Datangnya bangsa Inggris dan Belanda menghentikan aktivitas bangsa Portugis, dan mereka secara bertahap tidak dapat lagi mengirim sejumlah misionaris yang dibutuhkan ke Mangalore.[38] Shivappa Nayaka sebelumnya telah mengusir Portugis dari benteng-benteng mereka beberapa saat sebelum tahun 1660, yang mana mengakibatkan perubahan cukup besar dalam situasi gerejawi.[39] Penunjukan Vikaris Apostolik Mangalore dirasakan oleh Takhta Sucisebagai suatu hal yang penting. Nayaka menekan otoritas gereja untuk menunjuk seorang imam pribumi sebagai Vikaris Apostolik, dan menyebabkan ditunjuknya Pastor Andrew Gomez untuk menempati posisi tersebut; namun ia keburu meninggal sebelum surat penunjukkannya sampai di Mangalore.[40]

Serangan yang dilakukan oleh Ali Adil Shah I terhadap Goa pada tahun 1571 memicu gelombang migrasi umat Katolik Goa yang kedua ke Kanara Selatan.
Atas rekomendasi Vikaris jenderal Verapoly, Mgr. Joseph Sebastiani, Paus Klemens Xmenunjuk Uskup Thomas de Castro, seorang Theatines Goa dan Uskup Fulsivelem, sebagai Vikaris Apostolik Propaganda Fide di Vikariat Kanara pada tanggal 30 Agustus 1675, dengan maksud menyediakan kepemimpinan rohani bagi umat Kristen Kanara.[40][41] Setelah konsekrasinya, ia pertama kali pergi ke Calicut dan kemudian pindah Mangalore, di mana ia menjalankan tugasnya sejak tahun 1677 hingga 1684.[42] Pada tahun 1677, Uskup de Castro mengalami suatu konflik dengan Uskup Agung Goa, Dom Frei António Brandão, karena sang uskup mengabaikannya sebagai Padroado. Akibatnya mereka tidak saling berbagi wewenang kepadanya kendati ada surat penunjukan dari Paus.[43] Konflik antara Padroado–Propaganda memisahkan umat Katolik di Kanara menjadi dua pihak —mereka yang mengakui kewenangan (yurisdiksi) Uskup Agung Padroado di Goa dan mereka yang mendukung Uskup de Castro.
Orang-orang Portugis menolak mengakui penunjukan Uskup de Castro dan menentang dengan keras berbagai aktivitasnya. Kematian Uskup Agung Brandão secara mendadak pada 6 Juli 1678 membuat situasi bertambah rumit, dan kapitel katedral (cathedral chapter) yang mengelola Keuskupan Agung Goa setelah kekosongan takhta akibat kematiannya, melarang umat Katolik Kanara menerima sakramen-sakramen dari sang uskup atau dari para imam yang ditunjuk olehnya. Sebaliknya, Uskup de Castro mengekskomunikasi umat Katolik yang tunduk pada otoritas sang Padroado di Goa dan para imam mereka.[41] Pada tahun 1681, Takhta Suci menunjuk imam Goa lainnya, Pastor Joseph Vaz, sebagai Vicar Forane Kanara; ia diminta untuk tidak tunduk pada Uskup de Castro kecuali ia diperlihatkan surat penunjukannya.[43] Namun setelah diyakinkan akan keabsahannya, Pastor Vaz tunduk kepada Uskup de Castro dan menghasilkan suatu perdamaian. Ia kemudian berhasil membujuk Uskup de Castro untuk mendelegasikan kewenangan kepadanya sementara sang uskup tetap pada posisinya.[44] Pada tahun 1700, umat Katolik di Kanara kembali berada di bawah yurisdiksi Uskup Agung Padroado di Goa.
Gereja Milagres, salah satu gereja tertua di Kanara Selatan, dibangun pada tahun 1680 oleh Uskup Thomas de Castro.[38][46][47] Sebelumnya pada tahun 1568, Gereja Nossa Senhora do Rosário de Mangalore (Bunda Maria Ratu Rosari dari Mangalore) didirikan oleh Portugis di Bolar, Mangalore. Sementara Gereja Nossa Senhora de Mercês de Velala (Bunda Maria Bunda Kerahiman dari Ullal) dan Gereja São Francisco de Assis (Santo Fransiskus Asisi) di Farangipet didirikan oleh Portugis di Kanara Selatan pada rentang waktu yang bersamaan. Ketiga gereja tersebut disebutkan oleh penjelajah Italia Pietro Della Valle, yang mengunjungi Mangalore pada tahun 1623.
Pada tahun 1570 Sultan Bijapur, Ali Adil Shah I, menjalin aliansi dengan Sultan Ahmadnagar, Murtaza Nizam Shah, danZamorin dari Calicut untuk melakukan serangan secara serentak pada wilayah Portugis di Goa, Chaul, dan Mangalore.[26] Ia menyerang Goa pada tahun 1571 dan mengakhiri pengaruh Portugis di wilayah tersebut. Para Sultan Bijapur dikenal terutama karena kebencian mereka terhadap Kekristenan.[49] Karena khawatir akan adanya penganiayaan, banyak umat Katolik Goa yang melarikan diri ke Kanara Selatan selama gelombang migrasi kedua ini, dan mereka menetap di Barkur, Kallianpur, Kundapur, dan Basrur.[26][49] Pada abad berikutnya, terjadi migrasi umat Katolik Goa yang berkelanjutan ke bagian selatan, sehingga pada tahun 1650, cukup banyak umat Katolik yang menetap di sekitar Mangalore, Mulki, Shirva, Pezar, Bantwal, Kundapur, dan Kirem.[26] Umat Kristen dari Brahmin Saraswat Goud yang datang selama gelombang ini sebagian besar termasuk subkasta Shenvi.

Serangan gencar Sambhaji, seorang penguasa Maratha, menyebabkan gelombar besar migrasi yang ketiga dan terakhir ke Kanara Selatan.
Berbagai serangan dari Kemaharajaan Maratha atas Goa sepanjang pertengahan abad ke-16 memicu gelombang besar migrasi yang ketiga. Tahun 1664 Shivaji, pendiri Kemaharajaan Maratha, menyerang Kudal, sebuah kota di utara Goa, dan memulai operasinya atas Goa. Setelah kematian Shivaji pada 3 April 1689, anaknya Sambhajinaik takhta.[49] Gempuran Sambhaji di sepanjang wilayah utara Goa mendorong hampir semua umat Kristen untuk meninggalkan daerah asal mereka dan bermigrasi ke Kanara Selatan. Arus migrasi meningkat seiring dengan jatuhnya "Provinsi Utara" Portugis (yang mana termasuk Bassein, Chaul dan Salsette) dan merupakan ancaman langsung terhadap keberadaan Goa di tahun 1738–1740.
Menurut salah satu perkiraan, emigrasi dari distrik Salcete di Goa berada di kisaran 2.000 orang setiap tahunnya. Para imam Yesuit memperkirakan sekitar 12.000 umat Kristen yang beremigrasi dari distrik Bardez di Goa antara tahun 1710–1712, dan kebanyakan dari mereka pergi ke selatan. Sebuah laporan tahun 1747 dari pemerintah Goa yang saat ini berada di arsip Panaji mencatat bahwa sekitar 5.000 umat Kristen melarikan diri dari distrik Bardez dan Tiswadi di Goa selama invasi Maratha.[50] Selama penyerangan Maratha atas Goa, sekitar 60.000 umat Kristen hijrah ke Kanara Selatan.[51] Para pendatang baru ini diberikan lahan di Shirva, Kirem, Mundkur, Pezar, dan Hosabettu oleh para raja Chowta dariMudbidri; dan di Milagres, Bondel, dan Cordel oleh para raja Banghel dari Mangalore.[44] Bertahun-tahun kemudian, arus migrasi berkurang karena peperangan antara Maratha–Mughal, dan sekitar 10.000 umat Kristen kembali ke Goa.[49]Menurut Alan Machado Prabhu, umat Katolik Mangalore berjumlah sekitar 58.000 pada tahun 1765.[52]
Setelah peningkatan populasi Katolik yang stabil di Kanara Selatan, bangsa Portugis memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperluas kontrol mereka atas umat Katolik Mangalore, yang dapat dikenali dengan adanya beragam kepentingan mereka.[53] Portugis berusaha untuk memperluas kekuasaan para imam, terhitung sejak permulaan kerajaan mereka, para imam telah menyertai delegasi Portugis pada misi-misi diplomatik dan pada kesempatan sebagai para juru runding utama. Perjanjian-perjanjian yang mereka tandatangani dengan wangsa Nayaka dari Keladi secara bertahap memasukkan klausul-klausul yang meningkatkan otoritas para imam atas penduduk Katolik setempat, membuat mereka tunduk kepada para imam dalam hal hukum Kristen sekaligus memberi para imam wewenang untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran.[53] Orang-orang Portugis berjanji menahan diri untuk tidak menyembelih sapidan menghentikan konversi secara paksa di pos-pos perdagangan mereka.[53] Ketentuan-ketentuan dalam semua perjanjian ini tidak selalu dipatuhi oleh Portugis, yang menyebabkan setiap kali terjadi perseteruan antara Portugis dan Keladi, para pemukim Katolik seringkali diganggu atau ditangkap oleh para Nayaka.
Umat Katolik Mangalore (Konkani: Kodialchein Katholik) adalah sebuah komunitas etno-religius Katolik Roma yang mengikuti Ritus Latin dari Keuskupan Mangalore (terletak di distrik Kanara Selatan) di pesisir barat daya Karnataka, India.[2][3] Mereka adalah orang Konkanidan berbicara dalam bahasa Konkani.
Umat Katolik Mangalore masa kini utamanya merupakan keturunan dari umat Katolik Goa yang melakukan migrasi ke Kanara Selatanantara tahun 1560–1573 selama masa Inkuisisi Goa, peperangan antara Portugis–Adil Shahi, dan peperangan antara Portugis–Maratha. Mereka belajar bahasa-bahasa Kanara Selatan,Tulu, dan Kannada, tetapi tetap mempertahankan Konkani sebagai bahasa ibu mereka serta melestarikan gaya hidup mereka.Pembuangan selama 15 tahun di Seringapatam dalam masa Tipu Sultan, penguasa de facto dari Kerajaan Mysore, sejak 24 Februari 1784 hingga 4 Mei 1799, menyebabkan hampir punahnya komunitas tersebut. Setelah kekalahan Tipu oleh Britania pada tahun 1799, komunitas tersebut bermukim kembali di Kanara Selatan, dan kemudian berkembang di bawah kekuasaan Britania.
Meskipun berbagai pernyataan awal mengenai suatu identitas Katolik Mangalore yang berbeda bermula dari periode migrasi, namun perkembangan identitas budaya Katolik Mangalore baru timbul setelah masa pembuangan. Budaya umat Katolik Mangalore merupakan perpaduan antara budaya Mangalore dan Goa. Setelah migrasi, mereka mengadopsi beberapa aspek budaya Mangalore setempat, tetapi mempertahankan banyak tradisi dan kebiasaan mereka dari Goa; dan layaknya leluhur mereka dari Goa, budaya Katolik Mangalore modern dapat digambarkan secara tepat sebagai suatu budaya Indo-Latin yang disesuaikan dengan norma-norma Inggris. Diaspora Katolik Mangalore sebagian besar terkonsentrasi di negara-negara Arab di Teluk Persia dan Anglosfer.
Masa pra-migrasi
Kepulauan Santa Maria di Udupi, di mana penjelajah Portugis Vasco da Gama mendarat tahun 1498
Semua catatan dari awal keberadaan umat Kristen di Kanara Selatan hilang pada saat pembuangan mereka oleh Tipu Sultan di tahun 1784. Karenanya tidak diketahui pasti kapan agama Kristen diperkenalkan di Kanara Selatan, meskipun ada kemungkinan bahwa umat Kristen Suriah menetap di Kanara Selatan, sebagaimana juga terjadi diKerala, sebuah negara bagian di selatan Kanara.[12] Penjelajah Italia Marco Polomencatat bahwa ada aktivitas perdagangan yang cukup besar antara pesisir Kanara dan Laut Merah pada abad ke-13. Dapat diduga bahwa para pedagang Kristen asing mengunjungi kota-kota pesisir di Kanara Selatan selama periode perdagangan; dan ada kemungkinan beberapa imam Kristen menemani mereka untuk melakukanpenginjilan.[13]
Pada bulan April 1321 Jordanus Catalani dari Severac (di barat daya Perancis), seorang biarawan Dominikan, mendarat di Thana bersama dengan 4 biarawan lainnya.[14] Ia kemudian melakukan perjalanan ke Bhatkal di Kanara Utara, sebuah kota pelabuhan di jalur pesisir dari Thana ke Quilon.[15][16] Ia menjadi uskup pertama di India dan Keuskupan Quilon, serta dipercaya untuk melakukan pemeliharaan rohani komunitas Kristen di Mangalore dan bagian lainnya di India olehPaus Yohanes XXII.[17] Menurut sejarawan Severine Silva, tidak ada bukti konkret yang telah ditemukan terkait adanya pemukiman permanen umat Kristen di Kanara Selatan sebelum abad ke-16. Kekristenan mulai menyebar baru setelah datangnya Portugis di wilayah tersebut.[13]
Pada tahun 1498 penjelajah Portugis Vasco da Gama mendarat di satu gugusan pulau di Kanara Selatan dalam pelayarannya dari Portugal ke India. Ia menamakan pulau-pulau tersebut El Padron de Santa Maria, yang kemudian dikenal dengan Kepulauan Santa Maria.[18] Pada tahun 1500 penjelajah Portugis Pedro Álvares Cabral tiba di Anjedivadi Kanara Utara bersama dengan 8 misionaris Fransiskan. Di bawah kepemimpinan Frei Henrique Soares de Coimbra, para misionaris tersebut menyebabkan 22 atau 23 penduduk asli di daerah Mangalore memeluk agama Kristen.[16]Selama masa-masa awal abad ke-16, Krishnadevaraya (1509-1529), penguasa Kemaharajaan Wijayanagara dariDekkan, memberi hak istimewa komersial kepada orang-orang Portugis di pesisir Kanara. Ada kebebasan sepenuhnya dalam beribadah, berkeyakinan, dan penyebaran ajaran agama di Kemaharajaan Wijayanagara.[13] Tahun 1526, di bawah komando Lopo Vaz de Sampaio (seorang viceroy), Portugis mengambil alih Mangalore.[19]
Para Fransiskan Portugis secara perlahan mulai menyebarkan ajaran Kekristenan di Mangalore.[19] Tokoh setempat yang memeluk Kristen yang paling terkemuka adalah mahant Brahmana Shankarayya; ia pada tahun 1751 melakukan perjalanan dengan istrinya dari Kallianpur ke Goa dan dibaptis, dengan viceroy Portugis berperan sebagai wali baptisnya. Mahant yang dihormati itu mengambil nama baptis Francisco de Távora, dari nama Viceroy Marques de Távora.[20][21] Harta kekayaan mereka kemudian diambil alih oleh kerabat Hindu mereka, namun sang viceroymenginstruksikan perwakilannya di Mangalore untuk mendapatkan kembali harta mereka.[21][22] Pada tahun 1534 Kanara ditempatkan di bawah yurisdiksi gerejani Uskup Goa, di mana bangsa Portugis memiliki keberadaan yang kuat. Para misionaris segera tiba dan menerima penduduk yang mau memeluk (konversi) Kekristenan. Jumlah penduduk setempat yang melakukan konversi di Kanara Selatan terus meningkat hingga tahun 1546.[12] Selama pertengahan abad ke-16, orang-orang Portugis tersebut menghadapi perlawanan dari Abbakka Rani dari Ullal, Ratu wangsa Bednore. Hal ini segera menghentikan segala bentuk konversi. Pertempuran pertama antara Abbakka Rani dan orang-orang Portugis terjadi pada tahun 1546; sang ratu tampil sebagai pemenang dan memaksa Portugis keluar dari Kanara Selatan.[23]
Masa migrasi
Sebuah litograf berwarna dari abad ke-19 yang menggambarkan konversi Paravas oleh Fransiskus Xaverius, seorang santo Katolik Roma, pada tahun 1542. Ia meminta João III dari Portugal untuk melakukan Inkuisisi di Goa, yang menyebabkan gelombang migrasi besar pertama ke Kanara Selatan.
Pada tahun 1510, armada Portugis di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque, dikirim oleh Raja Manuel I dari Portugal, merebut negara bagian Goa dari Sultan Yusuf Adil Shah dari Bijapur.[24] Tahun 1534, Keuskupan Goa didirikan. Tidak lama kemudian para misionaris dikirim ke Goa, yang menyebabkan konversi penduduk dalam jumlah yang lumayan besar ke Katolik Roma.[25] Bagian terbesar dari para pemukim Kristen datang dalam tiga gelombang migrasi besar menuju Kanara Selatan. Semua migrasi ini berlangsung selama berbagai periode gejolak besar: Inkuisisi Goa terjadi sejak tahun 1560; peperangan antara bangsa Portugis–Adil Shahi terjadi antara tahun 1570–1579; dan peperangan antara bangsa Portugis–Maratha terjadi antara tahun 1667–1683 dan 1737–1740.[26] Faktor-faktor lain yang menyebabkan migrasi massal adalah wabah penyakit, bencana kelaparan, bencana alam, kepadatan penduduk yang berlebihan, kondisi hidup yang buruk, beban pajak yang berat, dan diskriminasi sosial oleh orang-orang Portugis.
Pada tahun 1542 Fransiskus Xaverius, seorang Yesuit dari Navarra dan rekan pendiriSerikat Yesus, tiba di Goa.[28] Ia menemukan bahwa orang-orang yang baru memeluk Kristen mempraktikkan kembali tradisi dan kebiasaan Hindu. Ia kemudian meminta Raja Portugal João III untuk melakukan suatu Inkuisisi di Goa pada tahun 1545.[29]Banyak leluhur orang-orang Goa dari umat Katolik Mangalore masa kini yang melarikan diri dari Goa ketika Inkuisisi dimulai pada tahun 1560. Raja Sebastião I menetapkan bahwa setiap jejak kebiasaan atau adat India harus dihapus melalui Inkuisisi tersebut. Banyak umat Kristen Goa yang dengan gigih mempertahankan beberapa kebiasaan India mereka yang telah ada sejak dahulu, terutama kostum pernikahan Hindu tradisional mereka, dan menolak untuk meninggalkannya.[30] Mereka yang menolak untuk menaatinya terpaksa meninggalkan Goa dan menetap di luar kekuasaan Portugis,[12] yang mengakibatkan gelombang migrasi besar pertama menuju Kanara Selatan.[31]
Umat Kristen yang meninggalkan Goa sebagian besarnya merupakan para agrikulturis terampil yang meninggalkan lahan beririgasi mereka di Goa untuk memperoleh kebebasan.[32] Sisanya merupakan para pedagang, pengrajin, pandai emas, dan tukang kayu terampil.[33] Pada saat terjadinya migrasi, Kanara diperintah oleh Raja Keladi Shivappa Nayaka(1540–1560). Ia menunjukkan minat yang besar dalam pembangunan pertanian di kerajaannya dan menyambut para agrikulturis ini, memberikan lahan subur kepada mereka untuk dibudidayakan.[32] Mereka direkrut ke dalam angkatan bersenjata wangsa Bednore.[34][a] Hal ini dikonfirmasi oleh Francis Buchanan, seorang dokter Skotlandia, ketika ia mengunjungi Kanara pada tahun 1801. Dalam bukunya A Journey from Madras through the Countries of Mysore, Canara and Malabar (1807), ia menyatakan bahwa "Para pangeran dari Ikkeri tersebut memberi dorongan semangat yang besar bagi umat Kristen, dan menyebabkan 80.000 di antara mereka menetap di Tuluva."[35][36] Kemudian, pernyataan ini diidentifikasi sebagai suatu kesalahan potensial dan seharusnya dibaca "8.000". Jumlah tersebut mencakup emigrasiumat Kristen yang kedua dari Goa.[32] Kebijakan perpajakan wangsa Nayaka dari Keladi selama tahun 1598–1763 memungkinkan para migran Katolik Goa untuk tampil sebagai bangsawan pemilik tanah yang terkemuka di Kanara Selatan.[37] Para migran ini umumnya membawa membawa modal mereka masing-masing dari Goa, yang mereka investasikan dalam lahan baru mereka, sehingga secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap kemakmuran kerajaan Keladi.[33]
Berdasarkan perjanjian sementara antara bangsa Portugis dan para penguasa Bednore, serta Padroado, umat Kristen diizinkan untuk membangun gereja-gereja; hal ini mendorong pertumbuhan Kekristenan di Kanara Selatan.[34]Datangnya bangsa Inggris dan Belanda menghentikan aktivitas bangsa Portugis, dan mereka secara bertahap tidak dapat lagi mengirim sejumlah misionaris yang dibutuhkan ke Mangalore.[38] Shivappa Nayaka sebelumnya telah mengusir Portugis dari benteng-benteng mereka beberapa saat sebelum tahun 1660, yang mana mengakibatkan perubahan cukup besar dalam situasi gerejawi.[39] Penunjukan Vikaris Apostolik Mangalore dirasakan oleh Takhta Sucisebagai suatu hal yang penting. Nayaka menekan otoritas gereja untuk menunjuk seorang imam pribumi sebagai Vikaris Apostolik, dan menyebabkan ditunjuknya Pastor Andrew Gomez untuk menempati posisi tersebut; namun ia keburu meninggal sebelum surat penunjukkannya sampai di Mangalore.[40]
Serangan yang dilakukan oleh Ali Adil Shah I terhadap Goa pada tahun 1571 memicu gelombang migrasi umat Katolik Goa yang kedua ke Kanara Selatan.
Atas rekomendasi Vikaris jenderal Verapoly, Mgr. Joseph Sebastiani, Paus Klemens Xmenunjuk Uskup Thomas de Castro, seorang Theatines Goa dan Uskup Fulsivelem, sebagai Vikaris Apostolik Propaganda Fide di Vikariat Kanara pada tanggal 30 Agustus 1675, dengan maksud menyediakan kepemimpinan rohani bagi umat Kristen Kanara.[40][41] Setelah konsekrasinya, ia pertama kali pergi ke Calicut dan kemudian pindah Mangalore, di mana ia menjalankan tugasnya sejak tahun 1677 hingga 1684.[42] Pada tahun 1677, Uskup de Castro mengalami suatu konflik dengan Uskup Agung Goa, Dom Frei António Brandão, karena sang uskup mengabaikannya sebagai Padroado. Akibatnya mereka tidak saling berbagi wewenang kepadanya kendati ada surat penunjukan dari Paus.[43] Konflik antara Padroado–Propaganda memisahkan umat Katolik di Kanara menjadi dua pihak —mereka yang mengakui kewenangan (yurisdiksi) Uskup Agung Padroado di Goa dan mereka yang mendukung Uskup de Castro.
Orang-orang Portugis menolak mengakui penunjukan Uskup de Castro dan menentang dengan keras berbagai aktivitasnya. Kematian Uskup Agung Brandão secara mendadak pada 6 Juli 1678 membuat situasi bertambah rumit, dan kapitel katedral (cathedral chapter) yang mengelola Keuskupan Agung Goa setelah kekosongan takhta akibat kematiannya, melarang umat Katolik Kanara menerima sakramen-sakramen dari sang uskup atau dari para imam yang ditunjuk olehnya. Sebaliknya, Uskup de Castro mengekskomunikasi umat Katolik yang tunduk pada otoritas sang Padroado di Goa dan para imam mereka.[41] Pada tahun 1681, Takhta Suci menunjuk imam Goa lainnya, Pastor Joseph Vaz, sebagai Vicar Forane Kanara; ia diminta untuk tidak tunduk pada Uskup de Castro kecuali ia diperlihatkan surat penunjukannya.[43] Namun setelah diyakinkan akan keabsahannya, Pastor Vaz tunduk kepada Uskup de Castro dan menghasilkan suatu perdamaian. Ia kemudian berhasil membujuk Uskup de Castro untuk mendelegasikan kewenangan kepadanya sementara sang uskup tetap pada posisinya.[44] Pada tahun 1700, umat Katolik di Kanara kembali berada di bawah yurisdiksi Uskup Agung Padroado di Goa.
Gereja Milagres, salah satu gereja tertua di Kanara Selatan, dibangun pada tahun 1680 oleh Uskup Thomas de Castro.[38][46][47] Sebelumnya pada tahun 1568, Gereja Nossa Senhora do Rosário de Mangalore (Bunda Maria Ratu Rosari dari Mangalore) didirikan oleh Portugis di Bolar, Mangalore. Sementara Gereja Nossa Senhora de Mercês de Velala (Bunda Maria Bunda Kerahiman dari Ullal) dan Gereja São Francisco de Assis (Santo Fransiskus Asisi) di Farangipet didirikan oleh Portugis di Kanara Selatan pada rentang waktu yang bersamaan. Ketiga gereja tersebut disebutkan oleh penjelajah Italia Pietro Della Valle, yang mengunjungi Mangalore pada tahun 1623.
Pada tahun 1570 Sultan Bijapur, Ali Adil Shah I, menjalin aliansi dengan Sultan Ahmadnagar, Murtaza Nizam Shah, danZamorin dari Calicut untuk melakukan serangan secara serentak pada wilayah Portugis di Goa, Chaul, dan Mangalore.[26] Ia menyerang Goa pada tahun 1571 dan mengakhiri pengaruh Portugis di wilayah tersebut. Para Sultan Bijapur dikenal terutama karena kebencian mereka terhadap Kekristenan.[49] Karena khawatir akan adanya penganiayaan, banyak umat Katolik Goa yang melarikan diri ke Kanara Selatan selama gelombang migrasi kedua ini, dan mereka menetap di Barkur, Kallianpur, Kundapur, dan Basrur.[26][49] Pada abad berikutnya, terjadi migrasi umat Katolik Goa yang berkelanjutan ke bagian selatan, sehingga pada tahun 1650, cukup banyak umat Katolik yang menetap di sekitar Mangalore, Mulki, Shirva, Pezar, Bantwal, Kundapur, dan Kirem.[26] Umat Kristen dari Brahmin Saraswat Goud yang datang selama gelombang ini sebagian besar termasuk subkasta Shenvi.
Serangan gencar Sambhaji, seorang penguasa Maratha, menyebabkan gelombar besar migrasi yang ketiga dan terakhir ke Kanara Selatan.
Berbagai serangan dari Kemaharajaan Maratha atas Goa sepanjang pertengahan abad ke-16 memicu gelombang besar migrasi yang ketiga. Tahun 1664 Shivaji, pendiri Kemaharajaan Maratha, menyerang Kudal, sebuah kota di utara Goa, dan memulai operasinya atas Goa. Setelah kematian Shivaji pada 3 April 1689, anaknya Sambhajinaik takhta.[49] Gempuran Sambhaji di sepanjang wilayah utara Goa mendorong hampir semua umat Kristen untuk meninggalkan daerah asal mereka dan bermigrasi ke Kanara Selatan. Arus migrasi meningkat seiring dengan jatuhnya "Provinsi Utara" Portugis (yang mana termasuk Bassein, Chaul dan Salsette) dan merupakan ancaman langsung terhadap keberadaan Goa di tahun 1738–1740.
Menurut salah satu perkiraan, emigrasi dari distrik Salcete di Goa berada di kisaran 2.000 orang setiap tahunnya. Para imam Yesuit memperkirakan sekitar 12.000 umat Kristen yang beremigrasi dari distrik Bardez di Goa antara tahun 1710–1712, dan kebanyakan dari mereka pergi ke selatan. Sebuah laporan tahun 1747 dari pemerintah Goa yang saat ini berada di arsip Panaji mencatat bahwa sekitar 5.000 umat Kristen melarikan diri dari distrik Bardez dan Tiswadi di Goa selama invasi Maratha.[50] Selama penyerangan Maratha atas Goa, sekitar 60.000 umat Kristen hijrah ke Kanara Selatan.[51] Para pendatang baru ini diberikan lahan di Shirva, Kirem, Mundkur, Pezar, dan Hosabettu oleh para raja Chowta dariMudbidri; dan di Milagres, Bondel, dan Cordel oleh para raja Banghel dari Mangalore.[44] Bertahun-tahun kemudian, arus migrasi berkurang karena peperangan antara Maratha–Mughal, dan sekitar 10.000 umat Kristen kembali ke Goa.[49]Menurut Alan Machado Prabhu, umat Katolik Mangalore berjumlah sekitar 58.000 pada tahun 1765.[52]
Setelah peningkatan populasi Katolik yang stabil di Kanara Selatan, bangsa Portugis memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperluas kontrol mereka atas umat Katolik Mangalore, yang dapat dikenali dengan adanya beragam kepentingan mereka.[53] Portugis berusaha untuk memperluas kekuasaan para imam, terhitung sejak permulaan kerajaan mereka, para imam telah menyertai delegasi Portugis pada misi-misi diplomatik dan pada kesempatan sebagai para juru runding utama. Perjanjian-perjanjian yang mereka tandatangani dengan wangsa Nayaka dari Keladi secara bertahap memasukkan klausul-klausul yang meningkatkan otoritas para imam atas penduduk Katolik setempat, membuat mereka tunduk kepada para imam dalam hal hukum Kristen sekaligus memberi para imam wewenang untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran.[53] Orang-orang Portugis berjanji menahan diri untuk tidak menyembelih sapidan menghentikan konversi secara paksa di pos-pos perdagangan mereka.[53] Ketentuan-ketentuan dalam semua perjanjian ini tidak selalu dipatuhi oleh Portugis, yang menyebabkan setiap kali terjadi perseteruan antara Portugis dan Keladi, para pemukim Katolik seringkali diganggu atau ditangkap oleh para Nayaka.
Diubah oleh dragonroar 05-03-2016 14:13
0
2.3K
Kutip
4
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan