Butuh pemahaman linguistik yang tinggi untuk memahami kosa kata politik di Indonesia. Partai politik di luar pemerintahan, yang lazim disebut oposisi, membuat posisi baru.

Golkar menyebut dirinya partai loyal kritis. Sedang PKS memosisikan sebagai partai oposisi loyal.

Loyal kritis yang dimaksud Golkar adalah loyal terhadap pemerintah, namun tetap kritis terhadap kebijakan yang dinilai tidak sesuai. Sedang oposisi loyal yang dimaksud PKS adalah, mesti PKS keberadaannya di luar pemerintahan bukan berarti menghentikan loyalitas partai tersebut kepada bangsa dan negara.

Baiklah. Eufemisme dalam politik kadang dibutuhkan, untuk memberi kesan, bahwa oposisi bukanlah musuh politik.

Lalu bagaimana dengan partai yang ada di dalam pemerintah? Lazimnya memang disebut sebagai partai pendukung pemerintah. Dalam pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, partai pendukung utamanya adalah PDIP. Partai inilah inisiator pengusung Joko Widodo yang kader PDIP berpasangan dengan Jusuf Kalla (tanpa dukungan partai) dalam pilpres lalu.

Karenanya PDIP saat ini disebut sebagai partai berkuasa alias ruling party. Sebagai partai berkuasa, PDIP seolah mendapat berbagai privilege. Empat kadernya mendapat kursi di kabinet misalnya, juga kepala atau anggota di lembaga-lembaga negara, bahkan menjadi direktur maupun komisaris di BUMN.

Namun partai berkuasa juga punya "kewajiban" untuk menyukseskan pemerintah. Di parlemen menjalin lobi agar keputusan-keputusan politik bisa bersinergi dengan kebijakan pemerintah, misalnya. Termasuk memberikan masukan kepada pemerintah bila ada kebijakan yang berpotensi kontraproduktif atau bertentangan dengan peraturan.

Melalui kader dan mesin partai, meyakinkan masyarakat bahwa program pemerintah adalah untuk menyejahterakan rakyat bukan sebaliknya. Ringkasnya sukses pemerintahan akan dimaknai juga sebagai sukses dari partai penguasa dan partai pendukungnya.

Keberpihakan partai berkuasa terhadap pemerintah, semestinya juga terlihat dari sikap para politisinya.

Namun hal itu justru tidak terjadi pada PDIP. Dalam berbagai kesempatan, politisi PDIP terang-terangan mengkritik habis pemerintah, bahkan disertai ramalan atau tepatnya ancaman, bahwa presiden Jokowi akan dilengserkan. Itulah yang disampaikan politisi PDIP, Effendi Simbolon, beberpa waktu lalu.

Sekadar catatan, kritik keras, sampai ancaman melengserkan presiden, belum pernah dilakukan PDIP secara terang-terangan selama 10 tahun partai ini menjadi "oposisi" pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kritik paling keras yang dilakukan PDIP adalah menolak kebijakan pemerintah, meskipun kemudian di sidang DPR, PDIP kalah. Misalnya saat menolak kenaikan harga BBM.

Kritik keras kepada pemerintah juga disampaikan oleh politisi PDIP, Rieke Diah Pitaloka. Ia meminta presiden mencopot menteri BUMN. Permintaan itu tertulis dalam rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) Angket Pelindo II. Rekomendasi tersebut disetujui sidang paripurna DPR pekan lalu. Pansus ini diketuai Rieke.

"Karena itu, pansus sangat merekomendasikan kepada Presiden RI untuk menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN," ujar Rieke saat membacakan laporan pansus dalam sidang paripurna DPR.

Rekomendasi agar presiden menggunakan hak prerogatif mengganti menteri? Ini rekomendasi yang unik. Jelas, prerogatif itu mutlak milik presiden. Tak satu lembaga maupun pribadi yang bisa memengaruhinya.

Presiden memang belum menyikapi rekomendasi tersebut, karena belum menerima surat resmi hasil rekomendasi secara lengkap. Namun Wapres Jusuf Kalla, berjanji mempertimbangkan rekomendasi yang dinilainya sebagai saran politis tersebut.

Namun Rieke seolah menganggap rekomendasi tersebut wajib dilaksanakan oleh pemerintah sesuai Tata Tertib (Tatib) DPR. Bila tidak, Angket Pelindo II bisa dilanjutkan pada hak menyatakan pendapat, yang ujungnya bisa melengserkan presiden.

Padahal dalam Tatib DPR, sama sekali tak menyinggung kewajiban pemerintah untuk menjalankan rekomendasi Pansus Angket (Pasal 177). Soal hak menyatakan pendapat juga tak terkait dengan dilaksanakan atau tidaknya rekomendasi.

Kritik PDIP terhadap pemerintah dilanjutkan oleh politisi PDIP yang lain. Masinton Pasaribu memberi pernyataan pers, meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), mundur dari jabatannya. JK dinilai telah menggunakan kekuasaan untuk kepentingan bisnisnya. JK juga dianggap sebagai sebagai sumber kegaduhan yang terjadi dalam kehidupan politik Indonesia saat ini.

Masinton juga meminta presiden Jokowi untuk mencopot Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, dan Menteri Badan Usaha Milik Negera (BUMN), Rini Soemarno. Tudingannya serius, kedua menteri tersebut banyak menimbulkan kegaduhan, yang diakibatkan karena adanya upaya mencari keuntungan pribadi.

Ia menyoal kebijakan Rini Soemarno memperpanjang konsesi pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia: Jakarta International Container Terminal (JICT), kepada pihak asing, Hutchinson. Sedang Sudirman dipermasalahkan perannya dalam pembahasan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.

Belum ada klarifikasi resmi dari kritik tajam Masinton ini. Namun Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang juga politisi PDIP, menilai pernyataan Masinton bukan pernyataan resmi PDIP.

Katakanlah pernyataan Masinton, Rieke, maupun Effendi Simbolon, adalah pernyataan pribadi, apakah masyarakat bisa membedakannya? Atribut sebagai politisi PDIP tak pernah lepas dari ketiganya, sampai mereka tak lagi di PDIP. Lagi pula adakah kepentingan politik pribadi untuk menyerang kekuasaan tertinggi negara?

Pernyataan ketiga politisi PDIP ini memberikan kesan PDIP tengah membingungkan para pendukungnya. Ada oposisi dan pendukung dalam tubuh PDIP. Tak salah bila dipertanyakan, sebenarnya PDIP itu partai pendukung pemerintah, atau malah pengrusuh pemerintah?

PDIP seperti tak menyadari bila pemerintahan Jokowi gagal, itu artinya PDIP sebagai partai berkuasa juga gagal. Bahkan tak salah bila PDIP dituding sebagai biang kegagalannya.

https://beritagar.id/artikel/editori...ya-adalah-pdip