- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
CERPEN HARI IBU [Mengharukan]
TS
siswijaya1
CERPEN HARI IBU [Mengharukan]
Selamat hari Ibu semuanya! Untuk merayakan itu saya membuat cerpen tentang kasih sayang seorang Ibu. Cerpennya emang sedikit panjang, tapi nggak akan ngebosenin, deh.
Selamat menikmati.
Di Lukisan itu Ada Senyuman Bunda
Oleh : Exis Wijaya
Tak pernah aku mengira, asisten yang paling kupercayai akan mengundurkan diri hari itu. Tanpa ada tanda apa-apa semacam hujan, angin atau desas-desus sebelumnya, dia datang ke ruang kerjaku dan menyodorkan surat pengunduran diri.
Tan… Tan. Aku sungguh tak menyangka kau akan bertindak sebodoh ini. Galeri kita sedang ada di puncak kejayaannya. Kolektor lokal maupun asing mulai banyak berdatangan untuk memborong lukisanku dengan harga gila-gilaan. Yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Sesegera mungkin kita akan masuk daftar orang terkaya di Indonesia, Tan. Kita bisa membeli apapun yang kita mau. Rumah yang sangat mewah, mobil sport, perhiasan mahal, atau private jet sekalipun, tampaknya tak akan jadi masalah lagi.
Benar-benar sangat disayangkan kau mundur di saat-saat seperti ini. Kau bilang ada urusan yang sangat penting. Apa? Kau rindu pada anak dan istrimu? Kalau cuma itu alasannya tak perlulah kau mengundurkan diri segala. Apa kau tak ingat akan kebaikanku dulu? Mana pernah aku melarangmu untuk menengok keluargamu itu? Aku masih ingat betul setiap 1 atau 2 bulan sekali kau minta izin untuk pulang! Dan, aku tak pernah melarangmu.
“Kali ini, urusannya jauh lebih penting, Rus.”
Hanya begitu saja jawabanmu setiap aku bertanya mengapa kau memutuskan mundur. Dan, itu tak dapat menghilangkan rasa penasaranku sama sekali.
Tapi, pada akhirnya, tanpa peduli rasa penasaranku hilang atau tidak, toh, kau jadi mundur juga. Bagaimanapun aku harus rela, karena tak mungkin juga aku melakukan tindakan pemaksaan seperti mengikat tanganmu dengan tali tambang atau mengancam akan membunuh keluargamu. Aku tak mungkin melakukan tindakan sebodoh itu.
Bagaimanapun itu pilihanmu, dan aku harus menghargainya. Meskipun setelah ini berat bagiku untuk mencari penggantimu. Kau sangat berjasa bagiku, Tan. Aku masih ingat saat pertama kali kita bertemu di kos-kosan bobrok itu. Kau selalu menemani aku ketika melukis, dan bukan hanya itu, di saat-saat uangku sudah habis, kau membelikan aku makanan, membayarkan kontrakanku, dan terakhir yang paling tidak bisa kulupakan, kau mengajakku untuk membuat sebuah galeri lukisan.
“Tapi, kau tahu sendiri, kan, aku tak punya uang sepeserpun,” kataku.
“Aku tahu, aku tahu. Mana mungkin juga seorang anak yang kabur dari rumah membawa uang banyak?” katamu, cukup membuatku sedikit tersinggung mendengarnya. “Aku yang akan mendanai semuanya. Tugasmu hanya menyediakan lukisannya saja. Kau setuju?”
Aku mengatakan setuju berulang kali dengan anggukan penuh semangat. Tak pernah aku segembira hari itu sebelumnya. Aku akan punya galeri sendiri… sendiri. Oh, betapa indahnya mimpi yang jadi kenyataan.
***
Selamat menikmati.
Di Lukisan itu Ada Senyuman Bunda
Oleh : Exis Wijaya
Tak pernah aku mengira, asisten yang paling kupercayai akan mengundurkan diri hari itu. Tanpa ada tanda apa-apa semacam hujan, angin atau desas-desus sebelumnya, dia datang ke ruang kerjaku dan menyodorkan surat pengunduran diri.
Tan… Tan. Aku sungguh tak menyangka kau akan bertindak sebodoh ini. Galeri kita sedang ada di puncak kejayaannya. Kolektor lokal maupun asing mulai banyak berdatangan untuk memborong lukisanku dengan harga gila-gilaan. Yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Sesegera mungkin kita akan masuk daftar orang terkaya di Indonesia, Tan. Kita bisa membeli apapun yang kita mau. Rumah yang sangat mewah, mobil sport, perhiasan mahal, atau private jet sekalipun, tampaknya tak akan jadi masalah lagi.
Benar-benar sangat disayangkan kau mundur di saat-saat seperti ini. Kau bilang ada urusan yang sangat penting. Apa? Kau rindu pada anak dan istrimu? Kalau cuma itu alasannya tak perlulah kau mengundurkan diri segala. Apa kau tak ingat akan kebaikanku dulu? Mana pernah aku melarangmu untuk menengok keluargamu itu? Aku masih ingat betul setiap 1 atau 2 bulan sekali kau minta izin untuk pulang! Dan, aku tak pernah melarangmu.
“Kali ini, urusannya jauh lebih penting, Rus.”
Hanya begitu saja jawabanmu setiap aku bertanya mengapa kau memutuskan mundur. Dan, itu tak dapat menghilangkan rasa penasaranku sama sekali.
Tapi, pada akhirnya, tanpa peduli rasa penasaranku hilang atau tidak, toh, kau jadi mundur juga. Bagaimanapun aku harus rela, karena tak mungkin juga aku melakukan tindakan pemaksaan seperti mengikat tanganmu dengan tali tambang atau mengancam akan membunuh keluargamu. Aku tak mungkin melakukan tindakan sebodoh itu.
Bagaimanapun itu pilihanmu, dan aku harus menghargainya. Meskipun setelah ini berat bagiku untuk mencari penggantimu. Kau sangat berjasa bagiku, Tan. Aku masih ingat saat pertama kali kita bertemu di kos-kosan bobrok itu. Kau selalu menemani aku ketika melukis, dan bukan hanya itu, di saat-saat uangku sudah habis, kau membelikan aku makanan, membayarkan kontrakanku, dan terakhir yang paling tidak bisa kulupakan, kau mengajakku untuk membuat sebuah galeri lukisan.
“Tapi, kau tahu sendiri, kan, aku tak punya uang sepeserpun,” kataku.
“Aku tahu, aku tahu. Mana mungkin juga seorang anak yang kabur dari rumah membawa uang banyak?” katamu, cukup membuatku sedikit tersinggung mendengarnya. “Aku yang akan mendanai semuanya. Tugasmu hanya menyediakan lukisannya saja. Kau setuju?”
Aku mengatakan setuju berulang kali dengan anggukan penuh semangat. Tak pernah aku segembira hari itu sebelumnya. Aku akan punya galeri sendiri… sendiri. Oh, betapa indahnya mimpi yang jadi kenyataan.
***
anasabila memberi reputasi
1
1.4K
7
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan