- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Catatan Perjalanan OANC
DEMPO - Nikmati Perjalanan-nya, Puncak sebagai Bonus-nya


TS
kabloy
DEMPO - Nikmati Perjalanan-nya, Puncak sebagai Bonus-nya
Permisi mod Idos, sesepuh dan agan-agan OANC, setelah lama cuma jadi silent reader di forum ini, ijinkan ane untuk memberikan sedikit coretan tentang pendakian beberapa bulan kemarin. Sebuah cerita di gunung yang terletak di Sumatera Selatan.

(foto by: Haif Chaniago)

(foto by: Haif Chaniago)
Quote:
Intro
Sudah hampir 2 tahun saya merantau di daerah sumatera selatan, namun penasaran akan Gunung Dempo masih belum tertuntaskan. maklum, sebagai seorang karyawan harus cermat membagi jatah cuti. Dan tentunya kalaupun ada kesempatan, prioritas pertama adalah digunakan untuk mudik ke kampung halaman (red: Bandung).
Namun, berbeda dengan kali ini. Rasa rindu untuk mendaki gunung sudah sampai di ubun-ubun. Maka dimulailah dengan mencari dan membaca berbagai referensi semua tentang gn.Dempo, seperti mencatat catper yang ada di OANC pastinya. Karena ini akan menjadi pendakian pertama ke gunung yang memiliki ketinggian 3159 MDPL. Setelah dirasa cukup memiliki pengetahuan dan gambaran yang meliputi; jarak tempuh, logistik, transportasi, dan hal lainnya selengkap mungkin. Sebuah itinerary-pun akhirnya berhasil dibuat dan coba di-share ke teman-teman yang kiranya dapat bergabung dalam pendakian kali ini. Tak sampai di situ, saya coba share di socmed dengan harapan banyak yang bisa bersama-sama. Akhirnya ada teman dari Bandung (Dedi) yang menyatakan siap ikut, dan dari hasil "memasang iklan" di twitter, dapat satu orang yang juga yang akan mendaki bareng. Namanya Sherly, dia seorang mahasiswi di Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta. Semua perencanaan dan persiapan dibicarakan selanjutnya hanya melalui chatting. Jadi terbentuklah kelompok berjumlah 5 orang (TS & Istri, Dedi, Sherly dan sepupunya Rian dari Lahat).
Sudah hampir 2 tahun saya merantau di daerah sumatera selatan, namun penasaran akan Gunung Dempo masih belum tertuntaskan. maklum, sebagai seorang karyawan harus cermat membagi jatah cuti. Dan tentunya kalaupun ada kesempatan, prioritas pertama adalah digunakan untuk mudik ke kampung halaman (red: Bandung).
Namun, berbeda dengan kali ini. Rasa rindu untuk mendaki gunung sudah sampai di ubun-ubun. Maka dimulailah dengan mencari dan membaca berbagai referensi semua tentang gn.Dempo, seperti mencatat catper yang ada di OANC pastinya. Karena ini akan menjadi pendakian pertama ke gunung yang memiliki ketinggian 3159 MDPL. Setelah dirasa cukup memiliki pengetahuan dan gambaran yang meliputi; jarak tempuh, logistik, transportasi, dan hal lainnya selengkap mungkin. Sebuah itinerary-pun akhirnya berhasil dibuat dan coba di-share ke teman-teman yang kiranya dapat bergabung dalam pendakian kali ini. Tak sampai di situ, saya coba share di socmed dengan harapan banyak yang bisa bersama-sama. Akhirnya ada teman dari Bandung (Dedi) yang menyatakan siap ikut, dan dari hasil "memasang iklan" di twitter, dapat satu orang yang juga yang akan mendaki bareng. Namanya Sherly, dia seorang mahasiswi di Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta. Semua perencanaan dan persiapan dibicarakan selanjutnya hanya melalui chatting. Jadi terbentuklah kelompok berjumlah 5 orang (TS & Istri, Dedi, Sherly dan sepupunya Rian dari Lahat).
Quote:
Sabtu, 01 Agustus 2015
Semangat sekali pagi ini rasanya, sambil menunggu Dedi yang sedang dijemput dari bandara Palembang, ane dibantu istri tercinta
semua logistik di-ceklis ulang untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Sengaja tidak di-packing karena memang rencananya logistik kelompok akan di-share dengan si dedi. sekitar jam 11.00 yang ditunggu pun datang, segera kamipun packing. Setelah istirahat, sholat dzuhur dan makan siang, sekitar jam 14.30 kamipun meluncur ke jalan raya untuk menunggu Bis yang menuju Pagar Alam. sementara dengan Sherly dan Sepupu rencananya ketemu di kediaman ayah Anton.

Cukup lama menunggu, hampir 1,5 jam bis (Telaga Biru) yg dinanti akhirnya tiba. Tepat jam 16.00 perjalanan dari Gelumbang menuju Pagar Alam dimulai. Sore itu tiba-tiba hujan turun mengguyur cukup deras, padahal sudah beberapa minggu hujan tidak turun di daerah ini. Sehingga dalam perjalanan di dalam bis, hujan tersebut mengingatkan ane bahwa ada barang yang gak dibawa. ya, itu adalah raincoat. Namun karena sedang musim kemarau, pikirku itu tidak akan terlalu bermasalah dan berniat nanti akan cari bila sudah tiba di kota (Pagar Alam). Bis yang kami tumpangi istirahat terlebih dahulu beberapa saat di sekitar Prabumulih, dan semua penumpang turun untuk sekedar ke toilet ataupun makan. Dari situ ane tau bahwa ternyata isi bis tersebut banyak penumpangnya bertujuan sama dengan kami. Senang rasanya, karena pikirku bisa naik bareng.

Dalam bis cerita banyak dengan si dedi, karena sudah cukup lama tak bertemu. Tak terasa haripun mulai gelap dan suasana tidak kondusif dengan lantunan remix yang dimainkan cukup kencang di pengeras suara, lumayan mengganggu sampai rasanya membuat rambut ane jadi "keriting"
Dari jendela terlihat sebuah gerbang yang bertuliskan cukup jelas yaitu "PTPN VII", tak lama bis berukuran 3/4 ini pun berhenti di depan sebuah mesjid, segera ransel diturunkan dari bagasi, dan ane lihat jam di tangan waktu itu jarumnya menunjukan pukul 24.00. Udara cukup sejuk malam itu, tak lama sherly yang sudah tiba lebih dulu, menjemput kami untuk mengajak kami ke pondokan milik Ayah Anton yang sebelumnya memang sudah dalam rencana.
Rumah Ayah Anton berada tepat di belakang mesjid tersebut, dengan dinding berwarna ungu. Beliau memang sengaja menyediakan sebuah pondokan yang terbuka 24 jam untuk pendaki yang mau ke gunung Dempo. Tapi karena hari sudah larut, malam itu kami tak sempat bertemu.
Tiba di pondokan, kami bertemu dengan rombongan dari daerah Curup (Bengkulu) yang juga berencana naik besok pagi. Segera bergabung kelompok yang tadi bersama kami di dalam bis, setelah berkenalan ternyata mereka dari Palembang dan mahasiswa UNSRI. Sembari kopi, kita terlibat obrolan yang cukup panjang dan di akhir percakapan dini hari itu sepakat untuk mendaki bersama (menjadi sebuah kelompok besar), lalu kami pun terkapar untuk istirahat.
Semangat sekali pagi ini rasanya, sambil menunggu Dedi yang sedang dijemput dari bandara Palembang, ane dibantu istri tercinta

Cukup lama menunggu, hampir 1,5 jam bis (Telaga Biru) yg dinanti akhirnya tiba. Tepat jam 16.00 perjalanan dari Gelumbang menuju Pagar Alam dimulai. Sore itu tiba-tiba hujan turun mengguyur cukup deras, padahal sudah beberapa minggu hujan tidak turun di daerah ini. Sehingga dalam perjalanan di dalam bis, hujan tersebut mengingatkan ane bahwa ada barang yang gak dibawa. ya, itu adalah raincoat. Namun karena sedang musim kemarau, pikirku itu tidak akan terlalu bermasalah dan berniat nanti akan cari bila sudah tiba di kota (Pagar Alam). Bis yang kami tumpangi istirahat terlebih dahulu beberapa saat di sekitar Prabumulih, dan semua penumpang turun untuk sekedar ke toilet ataupun makan. Dari situ ane tau bahwa ternyata isi bis tersebut banyak penumpangnya bertujuan sama dengan kami. Senang rasanya, karena pikirku bisa naik bareng.
Dalam bis cerita banyak dengan si dedi, karena sudah cukup lama tak bertemu. Tak terasa haripun mulai gelap dan suasana tidak kondusif dengan lantunan remix yang dimainkan cukup kencang di pengeras suara, lumayan mengganggu sampai rasanya membuat rambut ane jadi "keriting"

Dari jendela terlihat sebuah gerbang yang bertuliskan cukup jelas yaitu "PTPN VII", tak lama bis berukuran 3/4 ini pun berhenti di depan sebuah mesjid, segera ransel diturunkan dari bagasi, dan ane lihat jam di tangan waktu itu jarumnya menunjukan pukul 24.00. Udara cukup sejuk malam itu, tak lama sherly yang sudah tiba lebih dulu, menjemput kami untuk mengajak kami ke pondokan milik Ayah Anton yang sebelumnya memang sudah dalam rencana.
Rumah Ayah Anton berada tepat di belakang mesjid tersebut, dengan dinding berwarna ungu. Beliau memang sengaja menyediakan sebuah pondokan yang terbuka 24 jam untuk pendaki yang mau ke gunung Dempo. Tapi karena hari sudah larut, malam itu kami tak sempat bertemu.
Tiba di pondokan, kami bertemu dengan rombongan dari daerah Curup (Bengkulu) yang juga berencana naik besok pagi. Segera bergabung kelompok yang tadi bersama kami di dalam bis, setelah berkenalan ternyata mereka dari Palembang dan mahasiswa UNSRI. Sembari kopi, kita terlibat obrolan yang cukup panjang dan di akhir percakapan dini hari itu sepakat untuk mendaki bersama (menjadi sebuah kelompok besar), lalu kami pun terkapar untuk istirahat.
Quote:
Minggu, 02 Agustus 2015
Mata masih berat rasanya untuk dibuka dan udara dingin seakan mengajak tubuh ini enggan untuk beranjak bangun, tapi alarm yang di-set pukul 05.00 tak bosan-bosan terus bunyi untuk membangunkan kami. Lantai pondokan yang berbahan papan pun mulai berbunyi oleh aktifitas kaki orang yang terlebih dahulu bangun, secara bergantian menggunakan fasilitas kamar mandi untuk mengambil air wudhu, cuci muka dan lainnya. Karena pendaki yang menginap di pondokan Ayah Anton pagi itu cukup banyak, ane dan si Dedi memutuskan untuk sholat di mesjid yang air-nya cukup "menampar" muka yang membuat kelopak mata yang awalnya berat menjadi melotot maksimal karena saking dinginnya.
Sekembali dari mesjid, susu panas campur gandum kemasan sudah tersaji dalam sebuah cangkir, cukup untuk menghangatkan di pagi yang dingin itu. Setelah packing selesai, tak lama suara Ayah memanggil semua penghuni pondokan untuk segera turun menuju area mesjid, karena truk pengangkut teh yang akan mengangkut kami menuju Kampung IV, yaitu sebuah dusun yang berada dekat dengan titik awal pendakian.
Namun saking banyaknya pagi itu pendaki yang akan naik, sehingga truk berukuran sedang tersebut tidak cukup untuk mengangkut. Hasil percakapan dengan ayah, akhirnya diputuskan untuk menunggu digantikan dengan truk yang bermuatan lebih besar.
Sambil menunggu, ane berkenalan dengan Ayah Anton, beliau sangat friendly dan bercerita cukup banyak atau sekedar bersenda gurau kepada kami. Tak terasa truk yang dinanti akhirnya tiba, saat itu jam di telepon genggam angka digital nya menunjukan pukul 09.45. Dalam belakang truk yang penuh tersebut, kami berdiri menikmati perjalanan yang menyegarkan mata dengan suguhan kebun teh yang terhampar begitu luas. Gunung Dempo yang megah nampak dari kejauhan sangat jelas di pagi yang cerah itu, hanya bagian ujung kerucut puncaknya saja yang masih tertutup awan. Seperempat perjalanan lancar dengan tanah ber-permukaan aspal membuat truk melaju dengan mulus, selanjutnya goncangan terjadi, sehingga membuat kami harus berpegangan erat pada setiap ujung dinding truk agar tubuh tetap seimbang berdiri.
Perjalanan selama kurang lebih tiga puluh menit dengan pemandangan kebun teh dari bawah diakhiri di sebuah perkampungan warga yang cukup asri, karena memang truk ini tujuan utamanya adalah mengangkut hasil panen/petikan daun teh untuk dibawa ke pabrik pengolahan. Satu persatu kita turun, dan beberapa perwakilan langsung bergegas menuju sebuah balai untuk mengurus simaksi. Sembari istirahat di warung, kami yang belum sempat sarapan dari pagi segera memesan nasi goreng untuk bekal energi nanjak nanti.
Matahari hampir tepat berada di atas kepala, jam dinding di warung pun menunjukan pukul 11.15 saat itu. kami segera bergegas memulai pendakian dengan penuh semangat menuju Pintu Rimba, mengitari jalan berbatu yang cukup besar di antara kebun teh di kiri dan kanan nya. Jalanan cukup landai sampai ke titik awal pendakian (ada sebuah penanda cukup besar). Setelah melewati tanda tersebut, jalur pendakian mulai menanjak. Kebun teh pun sudah terlewati, berganti dengan vegetasi pohon pinus yang rapi berjajar. Di sela nya tumbuh rumput dan ilalang yang cukup tinggi. Dari sini, kota Pagar Alam jelas terlihat. Perlu waktu sekitar 45 menit yang kami tempuh untuk sampai di Pintu Rimba, dengan ditandai adanya papan penunjuk dan pesan kepada para pendaki. Tidak berselang lama, kami membentuk sebuah lingkaran kecil untuk berdoa sejenak, semoga tidak terjadi hal apapun yang tidak diinginkan dan tentunya dapat kembali pulang dengan selamat. Aamiin..
Dari Pintu Rimba, vegetasi hutan nya mulai rapat. Jalur nya tidak memberikan kami kesempatan untuk pemanasan, karena langsung disuguhkan jalanan yang terjal tanpa ampun. Dalam hati sempat terucap bahwa karakter jalur gunung Dempo ini berbeda dengan beberapa gunung di Pulau Jawa yang pernah ane daki, maksudnya dalam hal "jalanan bonus".

Keringat mulai membasahi baju kami, setelah 1 jam perjalanan dari Pintu Rimba akhirnya pukul 13.00 tiba di Shelter 1. Kami pun istirahat sejenak untuk sekedar mengatur ulang hela nafas, membasahi tenggorakan dan meluruskan otot. Langit tampak mulai gelap dengan hadirnya awan hitam yang tipis, namun bergantian dengan berhasilnya sinar matahari menembus rapatnya pepohonan di sepanjang jalur.
Setelah dirasa cukup dan menjaga kondisi badan agar tetap panas, tak berlama-lama segera kami ayunkan kembali langkah kaki menuju titik selanjutnya. Jalur semakin terjal, beberapa kali mulai harus menggunakan bantuan tangan untuk meraih akar ataupun batang pohon dalam membantu pijakan. Kurang lebih 2 jam berjibaku dengan track yang setengah "manjat", kami disuguhi dengan sebuah pemandangan jalur yang memiliki kemiringan sudut hampir 90 derajat. ya, area ini biasa orang sebut Dinding Almari. Tampak beberapa tali webing bergantung yang memang disediakan untuk membantu para pendaki melewatinya.
Tanjakan-tanjakan terjal satu persatu berhasil dlewati, nampak langit mulai mendung sore itu. Setelah 1 jam perjalanan dari Dinding Almari,
terdengar sayup sayup percakapan dari atas, tak lama berselang sampailah di Shelter 2, yaitu sebuah area terbuka yang cukup luas. Kompor spirtus pun dinyalakan, kami memasak air untuk membuat teh manis dan mie rebus sambil makan beberapa potong biskuit. Diantara teman kami, beberapa orang nampak sedang membakar sisa-sisa sampah yang cukup banyak tercecer dengan harapan sedikit mengahangatkan tubuh mereka di tengah dinginnya udara pada sore hari itu. Ketika ane sudah selesai makan dan re-packing, kelompok Unsri dan Curup Bengkulu terlebih dahulu melanjutkan perjalanan. Tersisalah ane, sang istri dan si Dedi.
Hujan deras seketika turun membasahi tanah dan pepohonan di Shelter 2, ini yang sangat ane khawatirkan, karena memang tidak membawa raincoat. Tidak ingin tertinggal dari rombongan (karena tdk tahu jalur), kami bertiga paksakan melangkah dengan menembus hujan, namun baru beberapa langkah hujan malah bertambah semakin deras, cukup untuk menembus kaos walaupun sudah berlapis jaket. Tidak mau basah lebih kuyup, ane putuskan untuk berteduh dan memasang Flysheet dengan berharap saat hujan reda kami dapat langsung menyusul teman-teman yang lain.
Hari semakin gelap, jarum jam yang terlilit di tangan sudah menunjukan pukul 17.15 WIB, namun hujan tak sedikitpun berkurang intensitas nya. Mengingat di antara kami bertiga belum ada yang pernah daki gunung ini, ditambah ane pernah membaca sebuah catper bahwa jalur dari Shelter 2 menuju Top dempo semakin terjal dari sebelumnya. Untuk melakukan perjalanan malam dalam kondisi yang ane jelaskan tadi, akan dirasa memaksakan. Biarlah puncak digapai esok hari dibanding berjalan dengan penuh resiko yang kami tak tahu sedikitpun di depan sana. Toh ane yakin bahwa puncak itu adalah bonus, tapi menikmati perjalanannya lah yang terpenting.
Sempat sedikit khawatir dengan pesan dari teman ane yang pernah mendaki gunung Dempo ini, yaitu menghindari untuk nge-camp di Shelter 2. Kata-kata itu tak berlangsung lama muncul dalam pikiran, karena yang lebih ane khawatirkan adalah Sherly dan sepupunya yang sudah jauh berada di depan, padahal rencana awal mereka akan menggunakan 2 buah tenda yang ane dan si dedi bawa. Kami bertiga berulang kali coba untuk menghubungi mereka, namun apadaya sinyal tak mau menampakan diri di layar telepon genggam. Hanya bisa berharap mereka berdua bisa mendapat space di tenda kelompok Bengkulu dan Unsri.
Hujan memang sedang tidak bersahabat pada sore itu, dan langit mulai menghitam. Semua sepakat untuk camp, segera kami mendirikan 2 tenda (karena 1 tenda hanya berkapasitas 2 orang) dan membuat parit kecil di sisi nya untuk menghindari banjiran air hujan. Ransel dan logistik lainnya yang awalnya hanya terlindungi flysheet, langsung dimasukan ke dalam tenda. setelah memastikan tidak ada barang yang tercecer, kami masuk tenda dan mengganti baju yang sudah kuyup. Kembali kompor spirtus dinyalakan, masak air untuk kopi/teh. Menu nasi dan rendang pun jadi, kami lahap tak bersisa makan malam tersebut. Obrolan dalam tenda berlanjut dengan tema rencana esok hari, dan diputuskan lanjut naik mulai pukul 05.00 WIB.
Lalu ngantuk pun tiba, rasa lelah tampak jelas melanda kami bertiga. Di antara setengah sadar karena ngantuk melanda, entah pukul berapa saat itu (hujan sudah reda) ane dengar suara musik yang cukup kencang, bukan gamelan, tapi seperti lagu dangdut. Tanpa pikir aneh-aneh ane keluar tenda untuk buang air, tak lupa permisi2, ane liat si sela pohon, tampak cahaya lampu terlihat jelas jauh di bawah sana. kesimpulan ku waktu itu bahwa Kampung IV masih terlihat dan berarti masih dekat, maka suara itu berasal dari sana, pikirku. Ane pun segera masuk kembali ke dalam tenda dan istirahat.
BERSAMBUNG....
Diubah oleh kabloy 19-12-2015 22:03
0
3.4K
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan