November yang hujan, menjatuhkan seluruh luka dan nyeri. Kau tak menemukan sebuah dingin yang gelap tuk melelapkan seluruh gelora pada jiwa yang kehilangan separuh raganya.

Di tempat sunyi ini terbaring sabrigja 09 november 1930, marpaung 09 november 1930, sutopo 09 november 1930 di tahun dan hari yang sama Mereka bersemayam Bergandengan dengan wangi darah perjuangan, dan semangat yang kan selalu di kenang. Di tepian paling sudut kanan makam nampak seorang lelaki kecil Yang tidak terlalu kecil untuk di sebut seorang bocah. Gemericik hujan mengiringi raut datar dari wajah kusam penuh lukanya.
Lelaki kecil itu nampak teguh seperti sebatang kayu yang kokoh di tancapkan dengan mantap menghujam tanah. Seperti kebanyakan orang yang menyaksikanya menundukan pandanganya, seolah2 terkunci pada makam-makam sahabat seperjuanganya. Mereka tak mengetahui tubuh kurusnya yang tabah bertopeng wajah datar penuh luka itu, tersimpan hati yang rapuh, Dan rasa-rasa nyeri yang takan pernah usai

Lelaki itu, ia tak menangis, di umurnya yang masih muda ia terlihat lebih muda dari umur yang semstinya. Rere aljannati 16 tahun, begitu kebanyakan orang mengenalnya. Di keteguhan sikapnya menandakan ia seorang yang amatlah kuat, dan bekas luka-luka di sekujur tubuhnya menandakan kerasnya pertempuran yang beliau lewati. Ia berdiri bertumpu pada kedua kaki kurusnya, dengan sepatu boat madein japan dengan temali hitam dan sama kusamnya dengan wajahnya. Rambut cepak, sepaket dengan kekarnya pundak seorang anak muda yang cemerlang. amatlah jauh berbeda, tak seperti kebanyakan abegeh jakarta yang bertopi berak dengan cukuran mohak 2 jari.

Ada 2 balutan perban yang nampak Menonjol secara melintang dari kemeja biru yang ia kenakan, dan semakin jelas luka dari balik perban kemeja biru yang terbasuh air hujan. Dan belum luka sayatan di sekujur lengan yang seperti masih segar, seperti baru di perolehnya tadi. Lengan kekar dengan kepalan besar jemari yang kurus panjang, tampak tulang jemari yang mencuat di pangkal-pangkalnya. Tak luput dari bekas luka bakar dan sayatan belati penuhi selaras urat-urat kekarnya.

Sosoknya yang lugu dengan alis tercabik, wajah polos murungya menandakan ia sedang bersedih. Namun sekali lagi ia tak menangis. Dari sekian banyak kerumunan orang-orang yang ikut dalam prosesi pemakaman pahlawan-pahlawan muda, beberapa isak tangis pecah dari sanak saudara dan dari keluarga yang di tinggalkanya. Di bawah payung mereka terisak sembari membekap separuh wajahnya dengan juntaian selendang-selendang bermotif batik, itu ibu-ibu dan kakak-kakak prempuan mereka.

dari balik keriuhan isak tangis dan deraian hujan Dengan pelan dan terpincang-pincang seorang lelaki berjalan kearahnya diiringi air hujan, sembari menepukan pundaknya
"kau takan pernah merasa kesepian, bersamaku perjuangan kita takan pernah tersia-siakan, dan dan kau tak sendirian mereka tetap ada di dalam hati kita, di jejantung hati kita" ucapnya lembut
"aku takan pernah kehilangan mereka yung, tak ada yang perlu di sesali. Sebab pada saatnya jika mereka tak meninggalkan ku, akulah yang kan meninggalkan mereka. Dan jika kita tak menkendaki semua itu, maka terjadilah suatu ikatan. Kita manusia di takdirkan untuk mati, masing-masing dari kita akan berakhir di perpisahan baik itu dengan cara yang manis ataupun pahit" Balasnya dengan suara lirih, dengan pandangan yang masih terpaku pada liang makam yang belum sepenuhnya selesai di timbun.
"Perpisahan pasti terjadi, aku tak menolak hal itu, dan kita tak dapat melewatkanya. Jika waktunya tiba perpisahan akan terjadi. Dan adalah pilihan untuk bersedih setelah dan sesudahnya" sambung buyung dengan raut muka tegar sembari mengusap bahu kurus yang berpakaian kemeja biru basah.

Setelah berbincang dengan kata2 bijak, tampak berkaca airmata dari cemelek wajah kusamnya nan lugu dan penuh luka. Tak ingin larut dan berlanjut ia usap matanya dan memandangi langit hitam yang menghujan, sembari menengadahkan telapak harap menaikan dedoa yang tabah solah ingin mengumpulkan air hujan. "Tuhan di hari yang penuh penderitaan ini kau ambil orang-orang yang engaku takdirkan tuk mengisi masa kecil indahku, mereka orang baik yang terbaik, mereka sempurna tuk mengisi bagian kosong dalam hidupku, MAKA tempatkan mereka di sisi terbaikmu, amiiiiinnnnnn...." sembari mengusapkan tengadah doa ke wajah kusamnya, di barengi dengan tetesan hujan dan pandangan yang di tunjukan ke langit.

Hujan ini seperti kebanyakan hujan yang lain, setelah kemarau yang terik dan panjang telah pergi. Di sekeliling kerumunan pemakaman nampak ribuan makam lain yang sepertinya masih baru, dengan bekas urukan dan bertabur kembang masih segar rupanya. Di ujung2 tanah lapang tempat pengkuburan pahlawan terdapat pepohonan yang amatlah rindang, di pucuk - pucuk pepohonan tinggi berdaun sedikit dan beranting besar menjulang, ada titik-titik hitam yang tamapak dari kejauhan, dengan jarak amat berdekatan, saling berbaris rupanya itu burung-burung besar. di batang yang satu Sekumpulan gagak berparuh besar hitam, yang jumlahnya tak kurang dari 20 bertengger meringkuk berteduh dari hujan. Sedangkan di batang yang lainya terdapat burung bangkai dengan kepala dan leher botak yang lebih besar dari seekor angsa putih, ada 2 di sudut atas dan 3 sisanya di paling kanan nampak tak menghiraukan hujan.