- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kelakuan Kakak Ipar yang......


TS
takbo.dobo
Kelakuan Kakak Ipar yang......
Lagi belajar bikin cerita masgan. iseng-iseng. ane aja ngeliatnya ampe gedeg sendiri.
Awal kelakuan.
“Setan lu semua yah!”
“Apa hah! Lu berani!”
Kami berdua sudah saling berhadapan. Akupun sudah siap untuk segala kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Kulihat tanganya sudah bersiap untuk meninjuku. Tinggal menunggu waktu untuk melihat siapa yang memulai duluan. Biar saja, Aku tetap pada pendirianku untuk membagi rumah ini menjadi dua. Aku tidak rela orang busuk ini, yang telah mengusir ibuku atau baginya ialah mertuanya sendiri menempati rumah ini. Inilah titik dimana kekesalanku sudah mencapai batasnya. Tidak akan pernah kumaafkan kelakuan orang seperti dia.
Kembali ke masa mudaku.
Entah mengapa dulu ayahku ingin sekali menjodohkan kakak perempuanku dengan dia. padahal bagiku, tidak ada yang menarik sama sekali darinya. Hanya pemuda desa biasa, tidak lebih. Dan dari sinilah semuanya berawal. Semua masalah yang akan muncul nantinya akan bermuara dengan dialah sebagai aktor utamanya.
“Don, kirimin uang lagi dong. Mau ngisi tambak lagi nih, semoga aja taun ini kita panen besar”
“Yauda, nanti Doni kirimin.”
Saat aku masih muda, kakak iparku ini sering sekali meminta kiriman uang kepadaku. Yah alesanya sih macem-macem, gak panen lah, kena penyakitlah. Padahal menurutku kalo misal nambak itu gak menguntungkan, ngapain diterusin. Yah daripada kaya gitu kan mending tambaknya disewakan aja daripada dirawat sendiri tapi gak menghasilkan. Buang-buang duit juga
.
Kala itu aku yang masih menjadi seorang tukang kayu harus rela menyisakan uangku sedikit demi sedikit untuk membantu kakak iparku di desa. Yah, aku hanyalah seorang perantau yang mencoba peruntunganku di ibukota. Kusisihkan upahku yang tidak seberapa untuk mengirimkan kakak iparku “modal” tambak tersebut. Kupikir yah biarinlah lagian merekalah yang merawat ibuku di sana. Tugasku disini hanyalah bekerja dan berusaha membahagiakan mereka.
Aku, bersama dengan beberapa orang dari desaku hanya menjadi seorang tukang kayu di Jakarta. Pamanku yang menawarkan pekerjaan ini. Bermodal nekat akupun mengiyakan saja ajakanya. Semenjak Kecil aku sudah terbiasa hidup susah dan kupikir mungkin inilah awal yang baik. Pindah dari desa ke kota, mencari suasana dan peruntungan baru. Karena alasan inilah sekarang jakarta banyak dibanjiri oleh pendatang baru. Alasanya ya sama sepertiku.
Di desa, Ibuku tinggal bersama kakak perempuanya, kakaku, kakak iparku, adiku, dan ketiga anaknya (halah
). Mereka tinggal di rumah yang dibangun bersama antara ayahku dan suami dari kakak perempuanku. Itu sebabnya rumah ini terlihat seperti dua rumah yang disatukan. Tidak ada yang spesial dari rumah ini, hanya sebagian besar dana renovasinya berasal dari uangku sendiri. bukan dari uang kakak iparku. Hak atas Kepemilikan rumah sendiri semakin tidak jelas setelah ayahku dan suami dari kakak perempuan ibuku wafat. Sedangkan kakak perempuan dari ibuku tadi tidak mempunyai anak. Jadilah kami yang menempati rumah ini bersama dia.
Kala itu, adiku sagi memintaku untuk membelikanya sebuah sepeda o]tor. Dan sebagai kakak yang bertanggung jawab akhirnya kuturuti kemauanya tersebut. Sebuah sepeda motor bebek kubelikan untuknya. Yah sekalian untuk memudahkan aktifitas orang rumah di desalah pikirku. Semuanya lancar, sampai saat aku pulang ke desa. Aku melihat sepeda motor tadi bukan di teras rumahku, melainkan di teras tetangga sebelah. Apa-apaan ini ?.
“Bu, itu kok motornya ada di tetangga sebelah ?”
“itu motornya dipinjem dulu kata kakak iparmu”
“oalah yasudah”
Selang beberapa waktu saat aku kembali pulang ke desa, masih kulihat motor itu ada di parkiran tetangga sebelah. Bukan di parkiran rumah. “walah ada yang gak beres nih” pikirku. Langsung saja aku tanya ke tetangga tadi kenapa motornya ada di teras rumahnya. Dan ternyata, motor itu udah dibeli sama dia. katanya dia udah ngasih uangnya ke kakak iparku. Waah langsung. Amarahku naik. Bisa-bisanya dia ngejual tuh motor tanpa persetujuan dulu dariku. Sepeda motor yang dulu kubeli dari hasil uangku sendiri, dan sekarang dia yang menikmati uangnya.
Langsung saja, kuceramahi ia sejadi-jadinya di rumah. Merasa tak terima akhirnya iapun ngambek kerumah orang tuanya. Wtf ? BANCI! cowok apaan kaya gitu. Tak ingin ada keributan yang berlanjut di rumah. Kakaku akhirnya berjanji padaku akan mengganti semuanya tapi dengan syarat aku tidak boleh memberitahu kakak iparku tadi. Yang kupermasalahkan disini sih bukan materi, tapi kepercayaan yang kuberikan padanya. Lagipula itukan bukan haknya. Itu hak adiku. Kalaupun adiku yang menjualnya sih ga masalah. Lah ini ?. Sedangkan adiku sendiri hanya mengiyakan saja karena mungkin dia takut untuk melawan kakak iparnya.
Tidak kuperpanjang masalah ini karena aku tidak ingin ini semua berdampak pada ibuku atau adiku di desa. Aku tidak ingin mereka yang menjadi pelampiasan orang gila tadi saat aku tidak ada disana. Terlebih lagi kakaku sendiri sudah menjamin akan mengganti keruian tersebut. Walaupun aku tahu itu hanyalah penghibur saja agar aku tidak memperpanjang masalah ini.
Jakarta dan pernak-perniknya. Aku yang dulu kesini hanya sebagai seorang tukang kayu, kini telah menjadi seorang engineering di salah satu perusahaan water osmosis. Telah menikah dengan anak dari mandorku sendiri. dan telah memiliki tiga orang anak. Fajar, Nadiyah, dan Rafi. Dan salah satu dari merekalah yang menulis cerita ini. :P
Alhamdulillah, bisa dibilang sekarang hidupku sudah jauh lebih baik disini. Tidak pernah terbayang olehku, aku yang dulunya hanyalah seorang tukang kayu bisa menjadi seperti ini. sepertinya tuhan memang maha adil. Setelah apa yang telah aku berikan, nampaknya semuanya dibalas olehNYA. Padahal tidak sepeserpun aku pernah meminta imbalan dariNYA.
Aku tinggal di daerah perkampungan di wilayah Jakarta Utara. Melihat latar belakangku yang dulunya hanya seorang tukang kayu rasanya masih mustahil untuku bisa membayangkan memiliki ini semua sekarang. Hidupku di Jakarta nampaknya membuat banyak orang di desaku tertarik. Pertama, adiku sendiri yang mengikutiku untuk merantau kesini dan sampai sekarang masih bekerja satu kantor denganku. Disusul menantu dari kakak iparku tadi, kemudian saudara saudaraku juga ikut. Kalau ditotal sekarang sudah ada 6 kepala keluarga yang mengikutiku tinggal disini.
“Gini, tanah itukan gede tuh. Biar si Sagi patungan aja Rifa’i (menantunya kaip) buat beli tuh tanah baru nanti dijadiin dua rumah”
Kebetulan adiku dan keponakanku tadi sedang mencari tanah untuk dijadikan tempat tinggal. Karena hidup di daerah perkampungan Jakarta makin sulit kita jumpai adanya tanah kosong. Jadi merekapun akhirnya setuju dan patungan. Dengan kesepakatan bahwa nanti akan dibangun dua rumah yang saling bersebelahan. Oke, aku dan adiku setuju.
Nah, disinilah lagi-lagi kami “terlalu baik” kepada kaip (kakak ipar). Hak atas tanah diatasnamakan kepada anaknya. Yah pikirku sih biarin ajalah sama saudara ini. lagian gini aja ngapain diperhitungin. Dan ternyata, lagi-lagi kebaikanku dan adiku dibalas dengan kekecewaan oleh kaip. Tanah yang seharusnya dibangun dua rumah ternyata hanya dibangun satu rumah saja. Yaitu untuk anaknya. Disinilah puncak kekesalan aku dan adiku. Setelah kupinta hak atas tanah itu untuk adiku dia berdalih “sertifikatnya kan atas nama anaknya. Yah sono luh jauh jauh ini tanah anak gua”
kan ngepet.
Aku dan adiku tidak terima. Masalahnya kan adiku juga ikut patungan di tanah itu. mana mungkin sekarang dia gak kebagian apa-apa. Gak adil banget. Akhirnya aku menghampiri kakaku, dan seperti biasa. Dia hanya menyanggupi akan mengembalikan uang adiku tadi. Tapi sampai saat ini, aku masih tetap percaya. Bahwa semua yang kita lakukan, pada dasarnya akan kembali ke diri kita sendiri. Yang baik akan mendapatkan yang baik begitu juga sebaliknya.

Spoiler for Awal Kelakuan.:
Awal kelakuan.
“Setan lu semua yah!”

“Apa hah! Lu berani!”

Kami berdua sudah saling berhadapan. Akupun sudah siap untuk segala kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Kulihat tanganya sudah bersiap untuk meninjuku. Tinggal menunggu waktu untuk melihat siapa yang memulai duluan. Biar saja, Aku tetap pada pendirianku untuk membagi rumah ini menjadi dua. Aku tidak rela orang busuk ini, yang telah mengusir ibuku atau baginya ialah mertuanya sendiri menempati rumah ini. Inilah titik dimana kekesalanku sudah mencapai batasnya. Tidak akan pernah kumaafkan kelakuan orang seperti dia.
Kembali ke masa mudaku.
Entah mengapa dulu ayahku ingin sekali menjodohkan kakak perempuanku dengan dia. padahal bagiku, tidak ada yang menarik sama sekali darinya. Hanya pemuda desa biasa, tidak lebih. Dan dari sinilah semuanya berawal. Semua masalah yang akan muncul nantinya akan bermuara dengan dialah sebagai aktor utamanya.
“Don, kirimin uang lagi dong. Mau ngisi tambak lagi nih, semoga aja taun ini kita panen besar”

“Yauda, nanti Doni kirimin.”

Saat aku masih muda, kakak iparku ini sering sekali meminta kiriman uang kepadaku. Yah alesanya sih macem-macem, gak panen lah, kena penyakitlah. Padahal menurutku kalo misal nambak itu gak menguntungkan, ngapain diterusin. Yah daripada kaya gitu kan mending tambaknya disewakan aja daripada dirawat sendiri tapi gak menghasilkan. Buang-buang duit juga

Kala itu aku yang masih menjadi seorang tukang kayu harus rela menyisakan uangku sedikit demi sedikit untuk membantu kakak iparku di desa. Yah, aku hanyalah seorang perantau yang mencoba peruntunganku di ibukota. Kusisihkan upahku yang tidak seberapa untuk mengirimkan kakak iparku “modal” tambak tersebut. Kupikir yah biarinlah lagian merekalah yang merawat ibuku di sana. Tugasku disini hanyalah bekerja dan berusaha membahagiakan mereka.
Aku, bersama dengan beberapa orang dari desaku hanya menjadi seorang tukang kayu di Jakarta. Pamanku yang menawarkan pekerjaan ini. Bermodal nekat akupun mengiyakan saja ajakanya. Semenjak Kecil aku sudah terbiasa hidup susah dan kupikir mungkin inilah awal yang baik. Pindah dari desa ke kota, mencari suasana dan peruntungan baru. Karena alasan inilah sekarang jakarta banyak dibanjiri oleh pendatang baru. Alasanya ya sama sepertiku.
Di desa, Ibuku tinggal bersama kakak perempuanya, kakaku, kakak iparku, adiku, dan ketiga anaknya (halah

Spoiler for Kelakuan 1. ndagel:
Kala itu, adiku sagi memintaku untuk membelikanya sebuah sepeda o]tor. Dan sebagai kakak yang bertanggung jawab akhirnya kuturuti kemauanya tersebut. Sebuah sepeda motor bebek kubelikan untuknya. Yah sekalian untuk memudahkan aktifitas orang rumah di desalah pikirku. Semuanya lancar, sampai saat aku pulang ke desa. Aku melihat sepeda motor tadi bukan di teras rumahku, melainkan di teras tetangga sebelah. Apa-apaan ini ?.
“Bu, itu kok motornya ada di tetangga sebelah ?”

“itu motornya dipinjem dulu kata kakak iparmu”
“oalah yasudah”
Selang beberapa waktu saat aku kembali pulang ke desa, masih kulihat motor itu ada di parkiran tetangga sebelah. Bukan di parkiran rumah. “walah ada yang gak beres nih” pikirku. Langsung saja aku tanya ke tetangga tadi kenapa motornya ada di teras rumahnya. Dan ternyata, motor itu udah dibeli sama dia. katanya dia udah ngasih uangnya ke kakak iparku. Waah langsung. Amarahku naik. Bisa-bisanya dia ngejual tuh motor tanpa persetujuan dulu dariku. Sepeda motor yang dulu kubeli dari hasil uangku sendiri, dan sekarang dia yang menikmati uangnya.
Langsung saja, kuceramahi ia sejadi-jadinya di rumah. Merasa tak terima akhirnya iapun ngambek kerumah orang tuanya. Wtf ? BANCI! cowok apaan kaya gitu. Tak ingin ada keributan yang berlanjut di rumah. Kakaku akhirnya berjanji padaku akan mengganti semuanya tapi dengan syarat aku tidak boleh memberitahu kakak iparku tadi. Yang kupermasalahkan disini sih bukan materi, tapi kepercayaan yang kuberikan padanya. Lagipula itukan bukan haknya. Itu hak adiku. Kalaupun adiku yang menjualnya sih ga masalah. Lah ini ?. Sedangkan adiku sendiri hanya mengiyakan saja karena mungkin dia takut untuk melawan kakak iparnya.
Tidak kuperpanjang masalah ini karena aku tidak ingin ini semua berdampak pada ibuku atau adiku di desa. Aku tidak ingin mereka yang menjadi pelampiasan orang gila tadi saat aku tidak ada disana. Terlebih lagi kakaku sendiri sudah menjamin akan mengganti keruian tersebut. Walaupun aku tahu itu hanyalah penghibur saja agar aku tidak memperpanjang masalah ini.
Spoiler for Kelakuan 2. Diapusi:
Kelakuan kedua. Diapusi,
Setelah adanya reformasi, semua jabatan di pemerintahan juga mengalami perubahan dalam periode masa jabatan. Presiden yang dulunya bisa memerintah selama puluhan tahun, kini hanya dibatasi selama dua periode. Begitupun juga dengan masa jabatan kepala desa di desaku. setelah beberapa orang, akhirnya giliran kakak iparku lah yang mencalonkan diri sebagai calon kepala desa. Entah apa motivasinya tapi yang jelas untuk menjadi seorang kepala desa tidaklah membutuhkan modal yang sedikit. ini berarti akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Dia akan mengeluarkan modal yang banyak dan menang, atau sebaliknya. Malah kalah dan akhirnya hanya mendapat kekecawaan.
Tapi dilihat dari ekonomi keluarga kami saat itu. kurasa aku tidak perlu khawatir. Karena saat itu kakak iparku sudah bisa mengelola tambaknya dengan baik. Tentunya dengan modal dariku disini. Jadi yah wajar kalau dia cepet kaya. Lha wong modal minta adik iparnya terus yang nikmatin hasil panenya dia.
Pemilihan kades. Dan hasilnya. Kakak iparku menang, entah harus senang atau sedih. Senang karena modal yang ia pakai tidak mengecawakan dan nantinya setelah jadi kades akan diberikan tambak “ganjaran” yang khusus diperuntukan bagi kades saja. Namun juga sedih karena di desa kami, nantinya akan dipimpin orang macam dia. miris memang.
“emak tanda tanda tangan disini yah, tambaknya emak mau disuratin lagi, yang lama suratnya sudah kadaluarsa soalnya. jadi saya mau bikinin suratnya”.
Kata kakak iparku kepada ibuku.
“oalah iya iya.” Ibuku hanya mengiyakan.
Ibuku adalah seorang yang buta huruf, tidak tahu baca tulis dan tidak pernah mengenyam pendidikan. Masa mudanya hanya ia habiskan untuk mencari nafkah. Ia pernah berkata kepadaku kalau seandainya ia dulu ikut sekolah, seandainya ia dulu bisa mengenyam pendidikan. Masih ingat olehku kata-katanya. “emak ini orang bodo nak, emak gak tau tentang dunia. Emak harap kamu bisa jadi orang, gak kayak emak. Emak ini orang bodo” Yah semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Sepahit apapun kehidupan yang mereka rasakan, mereka tidak ingin anaknya kelak merasakan apa yang mereka rasakan di masa lampau. Maka dari itu sebisa mungkin mereka pasti akan melakukan yang terbaik untuk kita.
Kembali ke cerita.
Setelah ibuku menyutujui pembuatan sertifikat tanah tersebut, kakak iparku membawa dokumen dokumen tersebut ke kantornya dan akan membuatkan dokumen seperti yang ia janjikan. Aku heran, mengapa orang seperti dia bisa sampai mau repot untuk mengurus ini semua. Akupun gagal paham. Aku tau wataknya seperti apa dan tidak mungkin ia mau repot-repot seperti ini kalau nantinya tidak ada untungnya sama sekali. dan benar saja.
Semua sertifikat tambak yang dipunyai oleh ibuku dan kakaknya, telah berganti atas namanya sebagai AHLI WARIS!. Dan aku tidak menyadari hal ini sampai beberapa tahun kedepan!.
Setelah adanya reformasi, semua jabatan di pemerintahan juga mengalami perubahan dalam periode masa jabatan. Presiden yang dulunya bisa memerintah selama puluhan tahun, kini hanya dibatasi selama dua periode. Begitupun juga dengan masa jabatan kepala desa di desaku. setelah beberapa orang, akhirnya giliran kakak iparku lah yang mencalonkan diri sebagai calon kepala desa. Entah apa motivasinya tapi yang jelas untuk menjadi seorang kepala desa tidaklah membutuhkan modal yang sedikit. ini berarti akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Dia akan mengeluarkan modal yang banyak dan menang, atau sebaliknya. Malah kalah dan akhirnya hanya mendapat kekecawaan.
Tapi dilihat dari ekonomi keluarga kami saat itu. kurasa aku tidak perlu khawatir. Karena saat itu kakak iparku sudah bisa mengelola tambaknya dengan baik. Tentunya dengan modal dariku disini. Jadi yah wajar kalau dia cepet kaya. Lha wong modal minta adik iparnya terus yang nikmatin hasil panenya dia.

Pemilihan kades. Dan hasilnya. Kakak iparku menang, entah harus senang atau sedih. Senang karena modal yang ia pakai tidak mengecawakan dan nantinya setelah jadi kades akan diberikan tambak “ganjaran” yang khusus diperuntukan bagi kades saja. Namun juga sedih karena di desa kami, nantinya akan dipimpin orang macam dia. miris memang.

“emak tanda tanda tangan disini yah, tambaknya emak mau disuratin lagi, yang lama suratnya sudah kadaluarsa soalnya. jadi saya mau bikinin suratnya”.

“oalah iya iya.” Ibuku hanya mengiyakan.
Ibuku adalah seorang yang buta huruf, tidak tahu baca tulis dan tidak pernah mengenyam pendidikan. Masa mudanya hanya ia habiskan untuk mencari nafkah. Ia pernah berkata kepadaku kalau seandainya ia dulu ikut sekolah, seandainya ia dulu bisa mengenyam pendidikan. Masih ingat olehku kata-katanya. “emak ini orang bodo nak, emak gak tau tentang dunia. Emak harap kamu bisa jadi orang, gak kayak emak. Emak ini orang bodo” Yah semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Sepahit apapun kehidupan yang mereka rasakan, mereka tidak ingin anaknya kelak merasakan apa yang mereka rasakan di masa lampau. Maka dari itu sebisa mungkin mereka pasti akan melakukan yang terbaik untuk kita.
Kembali ke cerita.
Setelah ibuku menyutujui pembuatan sertifikat tanah tersebut, kakak iparku membawa dokumen dokumen tersebut ke kantornya dan akan membuatkan dokumen seperti yang ia janjikan. Aku heran, mengapa orang seperti dia bisa sampai mau repot untuk mengurus ini semua. Akupun gagal paham. Aku tau wataknya seperti apa dan tidak mungkin ia mau repot-repot seperti ini kalau nantinya tidak ada untungnya sama sekali. dan benar saja.
Semua sertifikat tambak yang dipunyai oleh ibuku dan kakaknya, telah berganti atas namanya sebagai AHLI WARIS!. Dan aku tidak menyadari hal ini sampai beberapa tahun kedepan!.
Spoiler for Kelakuan 3. Diapusi neh:
Jakarta dan pernak-perniknya. Aku yang dulu kesini hanya sebagai seorang tukang kayu, kini telah menjadi seorang engineering di salah satu perusahaan water osmosis. Telah menikah dengan anak dari mandorku sendiri. dan telah memiliki tiga orang anak. Fajar, Nadiyah, dan Rafi. Dan salah satu dari merekalah yang menulis cerita ini. :P
Alhamdulillah, bisa dibilang sekarang hidupku sudah jauh lebih baik disini. Tidak pernah terbayang olehku, aku yang dulunya hanyalah seorang tukang kayu bisa menjadi seperti ini. sepertinya tuhan memang maha adil. Setelah apa yang telah aku berikan, nampaknya semuanya dibalas olehNYA. Padahal tidak sepeserpun aku pernah meminta imbalan dariNYA.
Aku tinggal di daerah perkampungan di wilayah Jakarta Utara. Melihat latar belakangku yang dulunya hanya seorang tukang kayu rasanya masih mustahil untuku bisa membayangkan memiliki ini semua sekarang. Hidupku di Jakarta nampaknya membuat banyak orang di desaku tertarik. Pertama, adiku sendiri yang mengikutiku untuk merantau kesini dan sampai sekarang masih bekerja satu kantor denganku. Disusul menantu dari kakak iparku tadi, kemudian saudara saudaraku juga ikut. Kalau ditotal sekarang sudah ada 6 kepala keluarga yang mengikutiku tinggal disini.
“Gini, tanah itukan gede tuh. Biar si Sagi patungan aja Rifa’i (menantunya kaip) buat beli tuh tanah baru nanti dijadiin dua rumah”

Kebetulan adiku dan keponakanku tadi sedang mencari tanah untuk dijadikan tempat tinggal. Karena hidup di daerah perkampungan Jakarta makin sulit kita jumpai adanya tanah kosong. Jadi merekapun akhirnya setuju dan patungan. Dengan kesepakatan bahwa nanti akan dibangun dua rumah yang saling bersebelahan. Oke, aku dan adiku setuju.
Nah, disinilah lagi-lagi kami “terlalu baik” kepada kaip (kakak ipar). Hak atas tanah diatasnamakan kepada anaknya. Yah pikirku sih biarin ajalah sama saudara ini. lagian gini aja ngapain diperhitungin. Dan ternyata, lagi-lagi kebaikanku dan adiku dibalas dengan kekecewaan oleh kaip. Tanah yang seharusnya dibangun dua rumah ternyata hanya dibangun satu rumah saja. Yaitu untuk anaknya. Disinilah puncak kekesalan aku dan adiku. Setelah kupinta hak atas tanah itu untuk adiku dia berdalih “sertifikatnya kan atas nama anaknya. Yah sono luh jauh jauh ini tanah anak gua”

Aku dan adiku tidak terima. Masalahnya kan adiku juga ikut patungan di tanah itu. mana mungkin sekarang dia gak kebagian apa-apa. Gak adil banget. Akhirnya aku menghampiri kakaku, dan seperti biasa. Dia hanya menyanggupi akan mengembalikan uang adiku tadi. Tapi sampai saat ini, aku masih tetap percaya. Bahwa semua yang kita lakukan, pada dasarnya akan kembali ke diri kita sendiri. Yang baik akan mendapatkan yang baik begitu juga sebaliknya.
Diubah oleh takbo.dobo 16-11-2015 23:34


anasabila memberi reputasi
1
5.5K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan