- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kepedulian Presiden Jokowi Terhadap Suku Anak Dalam
TS
siraitparadoks
Kepedulian Presiden Jokowi Terhadap Suku Anak Dalam
Quote:
Foto-foto yang memperlihatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang berbincang dengan sejumlah warga Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Jumat (30/10/2015) lalu, sangat mengesankan dan bersejarah. Foto itu menunjukkan betapa tidak berjaraknya Presiden ke-7 Republik ini dengan rakyatnya. Apalagi dengan warga SAD, yang selama ini keberadaannya selalu ditempatkan di halaman belakang Republik. Ini juga momentum bersejarah: Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia pertama yang mengunjungi warga SAD di pedalaman. Namun, foto itu juga membawa misi penting: ingin menunjukkan betapa pedulinya Presiden kita sekarang ini dengan warga SAD. Jangankan Presiden-Presiden sebelumnya, pejabat setempat saja (Gubernur hingga Bupati) belum tentu melakukan hal serupa. Foto itu seakan ingin bilang: “Inilah Presiden Jokowi yang peduli dengan warga SAD.” Tetapi foto gampang direkayasa. Apa yang dipotret bisa saja sudah diatur sedemikian rupa. Kita juga tidak tahu apa yang diperbincangkan. Karena itu, foto tidaklah cukup untuk menggambarkan kepedulian dan keberpihakan seorang pemimpin politik pada rakyatnya. Sebaliknya, bagi kita kepedulian dan keberpihakan seorang pemimpin politik terhadap rakyatnya harus diukur pada kebijakan politiknya. Ini soal bagaimana seorang Presiden menghadirkan dan menggunakan negara untuk melindungi dan memajukan kehidupan ekonomi, politik, dan sosial rakyatnya.
Bagi SAD, atau sering disebut orang rimba, hutan adalah ruang hidup mereka. Hutan adalah rumah sekaligus ruang membangun kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Tetapi cerita pilu mulai mengetuk pintu kehidupan SAD di tahun 1987. Saat itu, PT. Bangun Desa Utama (BDU) mendapat izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 20.000 hektar di kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang hidup SAD. Kutar, Ketua Adat SAD Bathin Bahar, masih menyimpang cerita pilu kejadian saat itu. “Tanpa salam, tentara bersepatu laras masuk ke dalam rumah. Mereka mengusir kami. Keluar kau, katanya,” tutur Kutar. Sejak saat itu, lanjut Kutar, orang-orang SAD terusir dari ruang hidupnya. Kampung dan kuburan leluhur dihancurkan. Mereka lalu hidup tercerai berai. Kutar sendiri kemudian tergabung dengan SAD 113 yang dipimpin oleh Abas Subuk. Kelompok SAD 113 terus berjuang untuk menuntut agar tanah ulayat SAD dikembalikan. Tahun 2007 juga, Serikat Tani Nasional (STN) mulai turun tangan membela hak-hak warga SAD. Organisasi tani yang berdiri tahun 1994 itu membuat perjuangan warga SAD mulai terdengar keluar. Bahkan, pada tahun 2011, di bawah bendera STN dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), warga SAD menggelar aksi pendudukan selama 1 bulan lebih di depan gedung DPR-RI, di Jakarta. Perjuangan itu sedikit membuahkan hasil. Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menyetujui tuntutan warga SAD terkait pengembalian hak ulayat seluas 3550 ha. Keputusan BPN RI itu diperkuat oleh DPR-RI, Menteri Kehutanan, DPD-RI, Komnas HAM, dan Pemerintah Daerah Jambi. Saat itu, warga SAD pulang ke Jambi dengan wajah sumringah.
Pada Oktober 2013, Kanwil BPN Jambi mengeluarkan surat rekomendasi tertanggal 24 Oktober 2013 Nomor 1073/18-15/X/2013 perihal Peninjauan Ulang Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PT. Asiatic. Disusul kemudian oleh surat rekomendasi Gubernur Jambi tertanggal 25 Oktober 2013 Nomor S-525.26/3260/SETDA.EKBANG-4.2/X/2013 Perihal Peninjauan Ulang Sertifikat HGU PT. Asiatic. Ironisnya, ketika Surat Rekomendasi itu sedang berproses di BPN-RI, pada tanggal 7 Desember 2013, PT Asiatic mengerahkan ribuan security-nya, dibantu oleh TNI dan Polri, kembali menggusur warga SAD 113 di tiga kampung: Padang Salak, Pinang Tinggi, dan Tanah Menang. Dan kekerasan demi kekerasan datang berentetan. Pada tanggal 7 Maret 2014, hanya beberapa bulan menjelang Pemilu 2014, seorang warga SAD bernama Puji (50 tahun) disiksa dan dibunuh secara keji oleh aparat TNI, Brimob, dan security PT. Asiatic Persada. Dalam kejadian itu TNI dan Brimob juga mengumbar peluru tajam terhadap warga SAD lainnya.
Dari uraian panjang di atas, jelas terlihat apa yang menjadi persoalan mendasar bagi warga SAD. Yakni: perampasan hak dan ruang hidup mereka oleh korporasi sawit. Dan foto yang memperlihatkan Presiden Jokowi berdialog dengan warga SAD dilatari oleh rimbunan pohon sawit. Dan cerita tentang ekspansi sawit yang menggusur ruang hidup SAD mulai banyak diulas media massa. Begitu juga dengan perjuangan SAD dan tuntutannya. Juga dengan mata telanjang Jokowi menyaksikan sendiri kehidupan warga SAD dikepung oleh perkebunan sawit. Untuk menyelamatkan kehidupan warga SAD secara keseluruhan, ada tiga hal yang mendesak: pertama, mengembalikan semua tanah ulayat milik SAD yang dirampas oleh korporasi; kedua, mencabut izin HGU perusahaan yang selama ini melanggar hak-hak warga SAD; dan ketiga, mengakui hak hidup SAD sesuai tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup mereka. Presiden Jokowi pun sepertinya menjadikan SAD sebagai kaca benggala untuk melihat persoalan yang lebih besar: perampasan ruang hidup banyak warga negara akibat ekspansi korporasi. Ada begitu banyak warga negara di seantero negeri ini yang dipaksa hidup nomaden akibat ruang dan sumber penghidupannya dirampas oleh korporasi besar. Tetapi, kita memang berharap agar Presiden Jokowi dapat mengakomodir SAD ini dan hak untuk hidupnya diperhatikan sehingga keberadaan SAD tidak terganggu dan tetap eksis.
Bagi SAD, atau sering disebut orang rimba, hutan adalah ruang hidup mereka. Hutan adalah rumah sekaligus ruang membangun kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Tetapi cerita pilu mulai mengetuk pintu kehidupan SAD di tahun 1987. Saat itu, PT. Bangun Desa Utama (BDU) mendapat izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 20.000 hektar di kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang hidup SAD. Kutar, Ketua Adat SAD Bathin Bahar, masih menyimpang cerita pilu kejadian saat itu. “Tanpa salam, tentara bersepatu laras masuk ke dalam rumah. Mereka mengusir kami. Keluar kau, katanya,” tutur Kutar. Sejak saat itu, lanjut Kutar, orang-orang SAD terusir dari ruang hidupnya. Kampung dan kuburan leluhur dihancurkan. Mereka lalu hidup tercerai berai. Kutar sendiri kemudian tergabung dengan SAD 113 yang dipimpin oleh Abas Subuk. Kelompok SAD 113 terus berjuang untuk menuntut agar tanah ulayat SAD dikembalikan. Tahun 2007 juga, Serikat Tani Nasional (STN) mulai turun tangan membela hak-hak warga SAD. Organisasi tani yang berdiri tahun 1994 itu membuat perjuangan warga SAD mulai terdengar keluar. Bahkan, pada tahun 2011, di bawah bendera STN dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), warga SAD menggelar aksi pendudukan selama 1 bulan lebih di depan gedung DPR-RI, di Jakarta. Perjuangan itu sedikit membuahkan hasil. Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menyetujui tuntutan warga SAD terkait pengembalian hak ulayat seluas 3550 ha. Keputusan BPN RI itu diperkuat oleh DPR-RI, Menteri Kehutanan, DPD-RI, Komnas HAM, dan Pemerintah Daerah Jambi. Saat itu, warga SAD pulang ke Jambi dengan wajah sumringah.
Pada Oktober 2013, Kanwil BPN Jambi mengeluarkan surat rekomendasi tertanggal 24 Oktober 2013 Nomor 1073/18-15/X/2013 perihal Peninjauan Ulang Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PT. Asiatic. Disusul kemudian oleh surat rekomendasi Gubernur Jambi tertanggal 25 Oktober 2013 Nomor S-525.26/3260/SETDA.EKBANG-4.2/X/2013 Perihal Peninjauan Ulang Sertifikat HGU PT. Asiatic. Ironisnya, ketika Surat Rekomendasi itu sedang berproses di BPN-RI, pada tanggal 7 Desember 2013, PT Asiatic mengerahkan ribuan security-nya, dibantu oleh TNI dan Polri, kembali menggusur warga SAD 113 di tiga kampung: Padang Salak, Pinang Tinggi, dan Tanah Menang. Dan kekerasan demi kekerasan datang berentetan. Pada tanggal 7 Maret 2014, hanya beberapa bulan menjelang Pemilu 2014, seorang warga SAD bernama Puji (50 tahun) disiksa dan dibunuh secara keji oleh aparat TNI, Brimob, dan security PT. Asiatic Persada. Dalam kejadian itu TNI dan Brimob juga mengumbar peluru tajam terhadap warga SAD lainnya.
Dari uraian panjang di atas, jelas terlihat apa yang menjadi persoalan mendasar bagi warga SAD. Yakni: perampasan hak dan ruang hidup mereka oleh korporasi sawit. Dan foto yang memperlihatkan Presiden Jokowi berdialog dengan warga SAD dilatari oleh rimbunan pohon sawit. Dan cerita tentang ekspansi sawit yang menggusur ruang hidup SAD mulai banyak diulas media massa. Begitu juga dengan perjuangan SAD dan tuntutannya. Juga dengan mata telanjang Jokowi menyaksikan sendiri kehidupan warga SAD dikepung oleh perkebunan sawit. Untuk menyelamatkan kehidupan warga SAD secara keseluruhan, ada tiga hal yang mendesak: pertama, mengembalikan semua tanah ulayat milik SAD yang dirampas oleh korporasi; kedua, mencabut izin HGU perusahaan yang selama ini melanggar hak-hak warga SAD; dan ketiga, mengakui hak hidup SAD sesuai tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup mereka. Presiden Jokowi pun sepertinya menjadikan SAD sebagai kaca benggala untuk melihat persoalan yang lebih besar: perampasan ruang hidup banyak warga negara akibat ekspansi korporasi. Ada begitu banyak warga negara di seantero negeri ini yang dipaksa hidup nomaden akibat ruang dan sumber penghidupannya dirampas oleh korporasi besar. Tetapi, kita memang berharap agar Presiden Jokowi dapat mengakomodir SAD ini dan hak untuk hidupnya diperhatikan sehingga keberadaan SAD tidak terganggu dan tetap eksis.
Kapan majunya negara ini,, KALO PRESIDEN-nya aja di fitnah terus2an sama rakyatnya sendiri. Oknum-oknum yg sengaja bwt firnah emg hrus dicuci otaknya biar lurus lg dan ke arah yg benar
Spoiler for :
0
828
Kutip
0
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan