PROLOG

Karir menanjak, dikagumi banyak orang, dikejar-kejar kuli tinta, tidak ada lagi privasi. Setiap hari wajah terpampang di layar kaca. Pada awalnya menyenangkan. Tapi kebohongan ini memuakkan, semakin hari semakin muak. Aku tak sanggup, ingin berteriak tapi tak mampu, ingin berlari tapi bergeming.
“Mariska, ayo take!” Robin yang sedari tadi sibuk keluar masuk kamar hotel meneriaki untuk segera take, menyelesaikan shooting hari terakhir di Bromo.
“Tristan bahkan belum datang, kenapa kamu ribet banget?” Jawabku yang bukannya bangkit malah makin membenamkan tubuh ini semakin dalam, membuat busa-busa meluap dari bibir bathtub.
“Dia sudah datang dari setengah jam lalu di lokasi. Kenapa kamu begitu acuh? Dia itu pacarmu!”
“Baiklah, 10 menit, aku akan segera ada di sana! Puas?” Kubersihkan tubuhku dari sisa busa yang menempel, berpakaian seadanya dan segera beranjak ke lokasi.
Tristan memang pacarku, dua tahun menjalani hubungan. Dia sungguh pria yang menarik, tapi hati ini urung luluh dengan pesonannya. Tapi aku tidak bisa berhenti berlayar menikmati gelombang-gelombang kasih dan perhatian dari Tristan. Hati ini seperti batu, bahkan mungkin lebih keras dari batu yang bisa hancur karena tetesan air.
“Sayang, kemana aja kamu?” Tristan langsung menenggelamkan tubuhku dalam pelukannya. Tubuh tinggi kekarnya sempurna menjadikanku kurcaci.
“Mandi biar mempesona!” Jawabku sembarangan sambil melepaskan pelukannya.
"Hey baby, bahkan kalau kamu nggak mandi dua hari pun kamu tetap mempesona. Siapa yang tidak terpesona oleh kecantikan Mariska. Model dan bintang film nomor satu dan termahal di Indonesia?" Pujian-pujian kosong itu terus meluncur dari bibir Tristan yang merah muda. Remaja-remaja sekarang pasti sudah teriak-teriak kegirangan kalau dipuja-puja Tristan seperti ini. Tapi aku tidak!

"Cukup kamu menggombal seperti itu. Ayo selesaikan kerjaan ini. Aku sudah kangen shopping di ibu kota,"

"Sejak kapan kamu suka shopping? Yang aku tahu kamu susah sekali menghamburkan uang untuk merawat tubuhmu, apalagi belanja? Tanya Tristan bingung.
Dia paham sekali kebiasaanku, dari yang sepele sampai yang prinsip. 

"Sejak hari ini!"

"Aneh kamu!" Tristan menggengam tanganku tanpa aba-aba, mengajakku menghampiri pekerjaan yang sudah menanti di pelupuk mata.
Dua jam beradu akting dengan Tristan, semua kebohongan ini selesai. Dinginnya kaki gunung Bromo di siang hari masih mampu membuat tubuh yang terbalut mantel tebal ini menggigil. Aku berlari kecil meninggalkan lokasi menuju sebuah warung kecil, tidak jauh dari sana. Kepul uap dari teh panas memanggil-manggil, ingin segera meluncur ke kerongkonganku yang kering karena dingin.
“Teh panas mbak? Aduh kasihan pasti kedinginan ya?” Ibu penjaga warung itu menawarkan. Di tangannya ada segelas teh panas, sungguh membuatku ingin melompat mengambil gelas itu. Aku menggigil.
“Iya bu, dingin sekali.” Akhirnya segelas teh itu berpindah ke tanganku yang sebentar lagi membeku, tanpa ba bi bu gelas itu kosong, teh panas itu mengalir dan menyebarkan rasa hangat ke seluruh tubuhku. Segelas teh panas itu menyelamatkanku.
“Sudah selesai mbak shooting untuk acara jalan-jalannya? Aku suka nonton lho, mbak serasi sekali sama mas yang di sana itu. Semoga jodoh ya?” Ibu penjaga warung itu menunjuk seorang pria di lokasi, ya, Tristan.
“Terima kasih bu, barusan selesai.” Singkat saja jawabku. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Sepertinya aku enggan untuk mengamini kata-kata ibu penjaga warung itu. Serasi? Jodoh? Aku tidak yakin!
Tiba-tiba sosok yang amat ku kenal muncul dari balik warung kecil itu. Tidak mungkin aku salah. Dia orang yang membuat hatiku sekeras ini, membuat aku tidak bisa menerima Tristan, membuat aku enggan mengamini kata-kata ibu penjaga warung itu. Matanya dan mataku beradu, gejolak beberapa tahun lalu kembali membuat hati ini pedih.