Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

adityaradeaAvatar border
TS
adityaradea
Kisah | Sebuah Monolog Adipati Karna Menjelang Akhir Hayatnya
Beberapa jam sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna terpekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena itu, ia menulis sepucuk surat kepada Surtikanti istrinya.

“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka – juga bila harus melalui mati.

‘Mati’, saat ini rasanya bukan lagi masalah bagiku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang alasan hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa aku. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?

Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya – bukan karena ia telah selesai dirumuskan.

Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.

Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16tahun: hari itu ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti.

Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tidak dikehendaki dan membuangnya ke air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukanlah bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang. Dan mulai saat itu, aku kembali merasa terbuang, seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian. Demi Dewa Jagat Batara, Aku mencintai Ibuku Radha dan kamu Surtikanti.

Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan kepada Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan karena itu di sanalah aku akan bebas — sesungguhnya aku berdusta, juga pada diriku sendiri: diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Surtikanti, ilmu pun telah jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.

Aku datang berguru kepada Durna, tapi Durna menolakku karena aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku datang kepada Parasurama, mengaku anak brahmana dan jadi muridnya – tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak kesatria, kasta yang dibencinya, yang berbohong padanya.

Surtikanti, terus terang aku memang berdusta, tapi hanya dalam satu perkara dan bukan perkara lain. Dusta demi kebenaran. Tapi aku tidak mengerti, kebenaran apa yang aku tutupi saat parasurama mengatakan aku seorang Ksatria, atau bukan Ksatria, tahukah parasurama dari mana aku lahir? Dia tidak tahu. demikian juga aku, Surtikanti. Aku hanya seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian tak tahu dari mana asal.

Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku dari tingkatan kasta yaitu tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali. Dan aku meminangmu.

Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di arena Hastina belasan tahun yang lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja. Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya yang lima itu.

Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa saja’, karena seorang kesatria ada bukan hanya karena ayahbundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal.

Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperolehnya. Maka, jika aku esok mati, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku.”

Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya. Kurusetra senyap. Malam mengerang kesakitan.

Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna, saudara seibunya dikarenakan kutukan parasurama yang membuat Karna lupa semua astra saat pertarungan hidup dan mati dengan arjuna.

***Dikutip dan digubah sedikit dari naskah Monolog Karna, karya Bapak Goenawan Muhammad yang dipentaskan teater salihara pada 17 November 2011

*Tulisan ini saya posting juga di website saya dengan judul yang sama. Mohon kunjungannya di www.bebetterself.com
0
4.1K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan