- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Cara memurnikan hati yang kotor


TS
tomscell
Cara memurnikan hati yang kotor

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩Ϫ۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Pada kesempatan kali ini dalam thread ini saya akan memberikan sedikit ilmu
untuk anda semua untuk memurnikan hati yang kotor.
Sebelum membaca jangan lupa


▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩Ϫ۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Quote:
1. Membaca Quran dan memahami artinya


Spoiler for Open here:
Kunci-kunci untuk Dapat Memahami dan Berinteraksi dengan Al-Quran
Memahami al-Quran sebagai kitab yang syamil mencakup seluruh urusan kehidupan.
Al-Quran adalah kitab yang syamil, manhaj hidup yang sempurna, memiliki tabiat gerak yang hidup, membangun peradaban yang positif dan tetap berpengaruh sampai akhir zaman. Sebagian orang terperangkap untuk memandang Al-Quran dan satu sisi saja, misalkan hanya memandang Al-Quran dan ilmu pengetahuannya saja, sejarahnya saja, bahasanya saja, ataupun Al-Quran hanya dijadikan jampi-jampi sebagai obat saja, dsb. Kita tidak mengingkari bahwa semua hal itu dicakup oleh Al-Quran, bukan kita tidak mempelajari bagian-bagian itu semua tapi yang tidak boleh ialah hanya menghususkan diri kita pada satu sisi saja. Ada sebagian ulama yang membahas Al-Quran dari sisi akhlaq, sisi ekonomi, sosiologi, tata bahasa dan lain-lain. Ini adalah usaha yang sangat berharga dan kita tidak bisa mengesampingkannya. Tapi hendaklah orang yang mempelajari Al-Quran memahami bahwa Al-Quran adalah satu kerangka yang menyeluruh, menyeluruh dalam tabi’atnya, peranannya, risalah, mu’jizat, ilmu, tema-temanya, manhaj, undang-undang dan syari’atnya serta setiap perkara yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.
Memfokuskan kepada tujuan utama Al-Quran.
Sebagian manusia menggunakan Al-Quran dengan tujuan sampingan, tujuan furu'iyah atau sama sekali tidak sesuai dengan tujuan Al-Quran diturunkan. Seperti Al-Quran dijadikan untuk perlombaan, Al-Quran dibaca untuk orang mati saja, Al-Quran hanya diambil barakahnya dengan dijadikan azimat, ruqa' dan tamimah. Al-Quran hanya dijadikan pajangan yang menghiasi rumah, mobil atau tempat-tempat lain.
Mereka tidak menggunakan Al-Quran untuk membukakan hati, jiwa, perasaan danakal, sehingga mereka hidup tidak sesuai dengan tuntunan Al-Quran dalam seluruh lapangan kehidupan, baik kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat, pendidikan, ekonomi, yayasan-yayasan, negara dan sebagainya.
Tujuan utama Al-Quran berkisar pada empat perkara berikut ini:
Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus menuju Allah (Al-Isra: 9,as-Syura: 52, al-Maidah: 15 – 16).
Membentuk kepribadian muslim yang seimbang. Diantaranya adalah:
Menanamkan iman yang kuat.
Membekali akal dengan ilmu pengetahuan.
Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dansumber-sumber kebaikan yang ada di dunia.
Menetapkan undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.
Membentuk masyarakat muslim yang betul-betul Qur'ani, yaitu masyarakat yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang merupakan penjelmaan Al-Quran dalam setiap gerak kehidupannya. Masyarakat yang diasuh dan dibimbing dengan arahan Al-Quran, hidup di bawah naungannya, dan berjalan di bawah cahayanya, seperti masyarakat sahabat (al-Anfal 24).
Membimbing umat dalam memerangi kejahihiyyahan.
Memperhatikan sisi harakah dalam menegakkan dakwah, jihad dan hukum Islam, karena Al-Quran memiliki sifat (waqi'iyah harakiyah):
Jidiyatul harakiyah.
Harakah dzatu marahil.
Harakah daibah walwail mutajaddidah.
Syari'at mengatur hubungan dengan kelompok non muslim.
Menjaga suasana pemikiran agar selalu ada dalam bingkai topik permasalahan yang terkandung dalam ayat yang sedang dibaca.
Ketika membaca Al-Quran diperbolehkan untuk memperdalam satu ayat dari sisi ilmu pengetahuan, dan sisi tata bahasa atau yang lainnya, tapi hendaknya, perasaan, pemikiran, penghayatannya dan perhatiannya tetap pada pokok pikiran ayat yang sedang dibaca.
Menjauhi bertele-tele yang bisa menghalangi cahaya Al-Qur'an. Misalnya tenggelam dalam perbedaan pendapat tentang qiraat, i'rab, balaghah, asal kata, perbedaan-perbedaan masalah fiqih, mempertentangkan tokoh, tempat, tanggal kisah-kisah yang diungkap dalam Al-Quran. Misalnya mempertentangkan asal kata Malaikat, berapa jumlah Ashabul Kahfi dan lain-lain. Tapi itu semua bukan berarti tidak boleh dilakukan, boleh dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam ilmu tafsir.
Menjauhi Israiliyyat (cerita-cerita palsu) dan menjauhi dari mempermasalahkan ayat-ayat yang mutasyabihat.
Memasuki Al-Quran tanpa didahului oleh asumsi dan opini tertentu. Hal ini untuk menghindarkan agar makna-makna Al-Quran tidak dipaksakan agar sesuai dengan asumsi yang telah dia pegang dan berusaha mencari-cari legitimasi atas pendapat yang ia pegang dan bukan mempelajari Al-Quran untuk meluruskan pemahaman dia. Seperti yang dilakukan oleh para shahabat apabila mereka membaca Al-Quran mereka melepaskan seluruh keyakinan dan persepsi mereka yang mereka pegang ketika masa jahiliyyah.
Tsiqah secara mutlak terhadap semua petunjuk, perintah, larangan dan berita yang diungkapkan oleh Al-Quran.
Memahami isyarat-isyarat yang terdapat dalam Al-Quran.
Di dalam Al-Quran terdapat rahasia-rahasia arti yang terkandung yang tidak akan dipahami kecuali oleh orang-orang yang telah memilki kunci-kunci untuk berinteraksi dengan Al-Quran dan ia memiliki bashirah, limpahan keimanan dan kesiapan untuk hidup di bawah naungan Al-Quran. Seperti ayat keimanan mendorong orang untuk merasa diawasi oleh Allah, membaca tentang hari qiamat tergerak hatinya untuk takut akan adzab Allah, kemudian ia mampu memahami hubungan satu ayat dengan yang lain padahal ayat itu diturunkan dalam senggang waktu yang cukup jauh.
Mempunyai pemahaman bahwa satu kata atau kalimat dalam Al-Quranmempunyai beberapa pengertian.
Karena ayat Al-Quran sering diungkapkan dengan kalimat yang singkat tapi padat (I’jaz), seperti surat Al-Ashri, Imam Syafi’i mengatakan: "Kalaulah manusia mentadabburi surat al-Ashri tentu surat itu sudah cukup bagi mereka sebagai pegangan hidup" . Contoh lain al-Isra’: 16; al-Mujadilah: 5; al-A‘raf: 34; dan Thaha: 124.
Mempelajari realita shahabat dalam pengamalan al-Quran. ~ Ibnu Mas'ud berkata, "Kami sulit menghafal lafadh Al-Quran tapi mudah mengamalkannya sedang orang sesudah kami mudah untuk menghapal tapi sulit mengamalkannya." Ibnu Umar berkata, "Para shahabat diberi iman sebelum Al-Quran, sehingga Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad menjelaskan hukum halal dan haram, lalu mereka berpegang teguh dengan ayat tersebut." Contoh, ketika turun ayat yang memerintahkan untuk mengalihkan arah qiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram maka mereka serentak melaksanakan dengan penuh ketaatan dan komitmen.
Memahami bahwa Al-Quran tidak dibatasi dengan tempat dan zaman.
Memahami korelasi ayat-ayat Al-Quran dengan realita yang ada sekarang.
Merasa bahwa ayat-ayat Al-Quran ditujukan kepada dirinya.
Mempelajari Al-Quran dengan manhaj talaqqi yang benar (berhadap-hadapan dengan guru yang sudah diverifikasi bacaannya, bahkan kalau bisa ada silsilahnya sampai nyambung ke Rasulullah saw).
Menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan pendapat para ahli tafsir.
Memahami al-Quran sebagai kitab yang syamil mencakup seluruh urusan kehidupan.
Al-Quran adalah kitab yang syamil, manhaj hidup yang sempurna, memiliki tabiat gerak yang hidup, membangun peradaban yang positif dan tetap berpengaruh sampai akhir zaman. Sebagian orang terperangkap untuk memandang Al-Quran dan satu sisi saja, misalkan hanya memandang Al-Quran dan ilmu pengetahuannya saja, sejarahnya saja, bahasanya saja, ataupun Al-Quran hanya dijadikan jampi-jampi sebagai obat saja, dsb. Kita tidak mengingkari bahwa semua hal itu dicakup oleh Al-Quran, bukan kita tidak mempelajari bagian-bagian itu semua tapi yang tidak boleh ialah hanya menghususkan diri kita pada satu sisi saja. Ada sebagian ulama yang membahas Al-Quran dari sisi akhlaq, sisi ekonomi, sosiologi, tata bahasa dan lain-lain. Ini adalah usaha yang sangat berharga dan kita tidak bisa mengesampingkannya. Tapi hendaklah orang yang mempelajari Al-Quran memahami bahwa Al-Quran adalah satu kerangka yang menyeluruh, menyeluruh dalam tabi’atnya, peranannya, risalah, mu’jizat, ilmu, tema-temanya, manhaj, undang-undang dan syari’atnya serta setiap perkara yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.
Memfokuskan kepada tujuan utama Al-Quran.
Sebagian manusia menggunakan Al-Quran dengan tujuan sampingan, tujuan furu'iyah atau sama sekali tidak sesuai dengan tujuan Al-Quran diturunkan. Seperti Al-Quran dijadikan untuk perlombaan, Al-Quran dibaca untuk orang mati saja, Al-Quran hanya diambil barakahnya dengan dijadikan azimat, ruqa' dan tamimah. Al-Quran hanya dijadikan pajangan yang menghiasi rumah, mobil atau tempat-tempat lain.
Mereka tidak menggunakan Al-Quran untuk membukakan hati, jiwa, perasaan danakal, sehingga mereka hidup tidak sesuai dengan tuntunan Al-Quran dalam seluruh lapangan kehidupan, baik kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat, pendidikan, ekonomi, yayasan-yayasan, negara dan sebagainya.
Tujuan utama Al-Quran berkisar pada empat perkara berikut ini:
Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus menuju Allah (Al-Isra: 9,as-Syura: 52, al-Maidah: 15 – 16).
Membentuk kepribadian muslim yang seimbang. Diantaranya adalah:
Menanamkan iman yang kuat.
Membekali akal dengan ilmu pengetahuan.
Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dansumber-sumber kebaikan yang ada di dunia.
Menetapkan undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.
Membentuk masyarakat muslim yang betul-betul Qur'ani, yaitu masyarakat yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang merupakan penjelmaan Al-Quran dalam setiap gerak kehidupannya. Masyarakat yang diasuh dan dibimbing dengan arahan Al-Quran, hidup di bawah naungannya, dan berjalan di bawah cahayanya, seperti masyarakat sahabat (al-Anfal 24).
Membimbing umat dalam memerangi kejahihiyyahan.
Memperhatikan sisi harakah dalam menegakkan dakwah, jihad dan hukum Islam, karena Al-Quran memiliki sifat (waqi'iyah harakiyah):
Jidiyatul harakiyah.
Harakah dzatu marahil.
Harakah daibah walwail mutajaddidah.
Syari'at mengatur hubungan dengan kelompok non muslim.
Menjaga suasana pemikiran agar selalu ada dalam bingkai topik permasalahan yang terkandung dalam ayat yang sedang dibaca.
Ketika membaca Al-Quran diperbolehkan untuk memperdalam satu ayat dari sisi ilmu pengetahuan, dan sisi tata bahasa atau yang lainnya, tapi hendaknya, perasaan, pemikiran, penghayatannya dan perhatiannya tetap pada pokok pikiran ayat yang sedang dibaca.
Menjauhi bertele-tele yang bisa menghalangi cahaya Al-Qur'an. Misalnya tenggelam dalam perbedaan pendapat tentang qiraat, i'rab, balaghah, asal kata, perbedaan-perbedaan masalah fiqih, mempertentangkan tokoh, tempat, tanggal kisah-kisah yang diungkap dalam Al-Quran. Misalnya mempertentangkan asal kata Malaikat, berapa jumlah Ashabul Kahfi dan lain-lain. Tapi itu semua bukan berarti tidak boleh dilakukan, boleh dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam ilmu tafsir.
Menjauhi Israiliyyat (cerita-cerita palsu) dan menjauhi dari mempermasalahkan ayat-ayat yang mutasyabihat.
Memasuki Al-Quran tanpa didahului oleh asumsi dan opini tertentu. Hal ini untuk menghindarkan agar makna-makna Al-Quran tidak dipaksakan agar sesuai dengan asumsi yang telah dia pegang dan berusaha mencari-cari legitimasi atas pendapat yang ia pegang dan bukan mempelajari Al-Quran untuk meluruskan pemahaman dia. Seperti yang dilakukan oleh para shahabat apabila mereka membaca Al-Quran mereka melepaskan seluruh keyakinan dan persepsi mereka yang mereka pegang ketika masa jahiliyyah.
Tsiqah secara mutlak terhadap semua petunjuk, perintah, larangan dan berita yang diungkapkan oleh Al-Quran.
Memahami isyarat-isyarat yang terdapat dalam Al-Quran.
Di dalam Al-Quran terdapat rahasia-rahasia arti yang terkandung yang tidak akan dipahami kecuali oleh orang-orang yang telah memilki kunci-kunci untuk berinteraksi dengan Al-Quran dan ia memiliki bashirah, limpahan keimanan dan kesiapan untuk hidup di bawah naungan Al-Quran. Seperti ayat keimanan mendorong orang untuk merasa diawasi oleh Allah, membaca tentang hari qiamat tergerak hatinya untuk takut akan adzab Allah, kemudian ia mampu memahami hubungan satu ayat dengan yang lain padahal ayat itu diturunkan dalam senggang waktu yang cukup jauh.
Mempunyai pemahaman bahwa satu kata atau kalimat dalam Al-Quranmempunyai beberapa pengertian.
Karena ayat Al-Quran sering diungkapkan dengan kalimat yang singkat tapi padat (I’jaz), seperti surat Al-Ashri, Imam Syafi’i mengatakan: "Kalaulah manusia mentadabburi surat al-Ashri tentu surat itu sudah cukup bagi mereka sebagai pegangan hidup" . Contoh lain al-Isra’: 16; al-Mujadilah: 5; al-A‘raf: 34; dan Thaha: 124.
Mempelajari realita shahabat dalam pengamalan al-Quran. ~ Ibnu Mas'ud berkata, "Kami sulit menghafal lafadh Al-Quran tapi mudah mengamalkannya sedang orang sesudah kami mudah untuk menghapal tapi sulit mengamalkannya." Ibnu Umar berkata, "Para shahabat diberi iman sebelum Al-Quran, sehingga Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad menjelaskan hukum halal dan haram, lalu mereka berpegang teguh dengan ayat tersebut." Contoh, ketika turun ayat yang memerintahkan untuk mengalihkan arah qiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram maka mereka serentak melaksanakan dengan penuh ketaatan dan komitmen.
Memahami bahwa Al-Quran tidak dibatasi dengan tempat dan zaman.
Memahami korelasi ayat-ayat Al-Quran dengan realita yang ada sekarang.
Merasa bahwa ayat-ayat Al-Quran ditujukan kepada dirinya.
Mempelajari Al-Quran dengan manhaj talaqqi yang benar (berhadap-hadapan dengan guru yang sudah diverifikasi bacaannya, bahkan kalau bisa ada silsilahnya sampai nyambung ke Rasulullah saw).
Menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan pendapat para ahli tafsir.
Quote:
2. Mengingat karunia yang telah Allah s.w.t berikan kepada kita

Spoiler for :
Di dalam alqur an Allah berfirman kepada hambanya pada (Q.S An-nahl :18)
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan pernah mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pada kenyataannya manusia lupa dengan nikmat yang telah allah berikan, memang benar manusia adalah tempatnya lupa dan salah. Namun itu bukan menjadi alasan untuk kita tidak bersyukur kepada allah, agar kita selalu dapat mengingat allah setiap saat dengan selalu berdzikir dan mengucapkan hamdalah.
Mengapa manusia sering lupa? sebab manusia memiliki musuh terbesar yaitu syetan yang telah berjanji kepada allah untuk menggoda dan menyesatkan manusia agar jauh dari jalan yang benar Pernyataan setan yang mendurhakai Allah ini menegaskan pentingnya bersyukur kepada Allah:
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. Allah berfirman, ‘Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya’.” (Q.s. al-A’raf: 17-8).
Bersyukur atas nikmat allah itu sangat menguntungkan bagi orang yang mau melakukannya. Didalam artikel ini akan coba saya paparkan manfaat dari bersyukur.
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan pernah mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pada kenyataannya manusia lupa dengan nikmat yang telah allah berikan, memang benar manusia adalah tempatnya lupa dan salah. Namun itu bukan menjadi alasan untuk kita tidak bersyukur kepada allah, agar kita selalu dapat mengingat allah setiap saat dengan selalu berdzikir dan mengucapkan hamdalah.
Mengapa manusia sering lupa? sebab manusia memiliki musuh terbesar yaitu syetan yang telah berjanji kepada allah untuk menggoda dan menyesatkan manusia agar jauh dari jalan yang benar Pernyataan setan yang mendurhakai Allah ini menegaskan pentingnya bersyukur kepada Allah:
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. Allah berfirman, ‘Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya’.” (Q.s. al-A’raf: 17-8).
Bersyukur atas nikmat allah itu sangat menguntungkan bagi orang yang mau melakukannya. Didalam artikel ini akan coba saya paparkan manfaat dari bersyukur.
Quote:
3. Menyesali dosa-dosa yang kita lakukan di masa lalu dan bertaubat kepada Allah

Spoiler for :
Sebuah hadits yang patut jadi renungan, Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ اللهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السمَاءِ ثُم اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُم لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Bertaubatlah yang Tulus
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيهَا الذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)
Dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa makna taubat yang tulus (taubatan nashuhah) sebagaimana kata para ulama adalah,
“Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/ mengembalikannya.”[4]
Penuhilah Syarat Diterimanya Taubat
Berdasarkan penjelasan Ibnu Katsir di atas, syarat taubat yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang ingin bertaubat dapat dirinci secara lebih lengkap sebagai berikut.
Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.
Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.”[5] ‘Umar, ‘Ali dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal.[6]
Tidak terus menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.[7]
Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.[8]
Bacalah Do’a Ampunan Versi Abu Bakr
Do’a yang bisa diamalkan adalah do’a meminta ampunan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq, beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَلمْنِى دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ :اللهُم إِنى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذنُوبَ إِلا أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرحِيمُ »
“Ajarkanlah aku suatu do’a yang bisa aku panjatkan saat shalat!” Maka Beliau pun berkata, “Bacalah: ‘ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHAFUURUR RAHIIM (Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ‘.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705)
قَالَ اللهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السمَاءِ ثُم اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُم لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Bertaubatlah yang Tulus
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيهَا الذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)
Dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa makna taubat yang tulus (taubatan nashuhah) sebagaimana kata para ulama adalah,
“Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/ mengembalikannya.”[4]
Penuhilah Syarat Diterimanya Taubat
Berdasarkan penjelasan Ibnu Katsir di atas, syarat taubat yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang ingin bertaubat dapat dirinci secara lebih lengkap sebagai berikut.
Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.
Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.”[5] ‘Umar, ‘Ali dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal.[6]
Tidak terus menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.[7]
Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.[8]
Bacalah Do’a Ampunan Versi Abu Bakr
Do’a yang bisa diamalkan adalah do’a meminta ampunan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq, beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَلمْنِى دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ :اللهُم إِنى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذنُوبَ إِلا أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرحِيمُ »
“Ajarkanlah aku suatu do’a yang bisa aku panjatkan saat shalat!” Maka Beliau pun berkata, “Bacalah: ‘ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHAFUURUR RAHIIM (Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ‘.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705)
Quote:
4. Ingatlah amalan-amalan yang dilakukan orang shaleh terdahulu dan semangat mereka dalam melaksanakan ibadah

Spoiler for :
Berlebihan terhadap orang shalih adalah salah salah satu sebab terjadinya kemusyrikan
Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh : 23). Berkata Muhammad bin Qais menjelaskan ayat tersebut, Ya’uq dan Nasr adalah orang-orang shalih keturunan Nabi Adam (yaitu kaumnya Nabi Nuh). Mereka memiliki banyak pengikut. Tatkala mereka meninggal, berkata sahabat-sahabat dari kalangan pengikut mereka : “Seandainya kita membuat gambar-gambar mereka, akan membuat kita lebih semangat dalam beribadah ketika kita mengingat mereka”. Maka para pengikut orang shalih tersebut membuat gambar mereka. Tatkala para pengikut generasi pertama orang shalih tersebut mati, dan datang generasi berikutnya. Kemudian Iblis menyesatkannya dengan berkata :” Tidaklah gambar-gambar tersebut dibuat melainkan agar mereka disembah, dan merekalah yang menurunkan hujan. Maka akhirnya orang-orang shalih tersebut disembah. Ikrimah mengatakan, diantara Nabi Adam dan Nabi Nuh terdapat 10 abad, seluruhnya diatas tauhid (Tafsir At Tobari).
Dari penjelasan tersebut, diketahui awal mula terjadinya kemusyrikan pada kaum Nabi Nuh. Kemusyrikan tersebut berawal dari sikap berlebihan terhadap orang shalih, yaitu dengan membuat gambar mereka. Dalam riwayat lain, orang shalih tersebut dibuatkan patung dan orang-orang beri’tikaf dikubur mereka. Tujuan awal dibuat gambar dan patung tersebut agar ibadah yang dilakukan menjadi lebih khusuk dan semangat, karena mengingat keshalihan mereka. Namun ketika berganti generasi, dan ilmu semakin sedikit, maka Iblis semakin menyesatkan manusia dengan perkataan dusta bahwa orang shalih tersebutlah yang disembah. Bahkan merekalah yang menurunkan hujan. Sehingga terjadilah penyembahan terhadap orang-orang shalih tersebut.
Bentuk-bentuk berlebihan terhadap orang shalih
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, di sekitar kita, seringkali kita jumpai perbuatan-perbuatan yang termasuk sikap berlebihan terhadap orang shalih. Sudah seharusnya kita waspada dan meninggalkannya. Diantara perkara tersebut adalah :
1. Membuat gambar dan patung
2. Membangun masjid di atas kuburan
3. Memuji secara berlebihan
Semoga Allah menjaga kita dari sikap berlebihan, baik dalam perkara dunia maupun perkara agama, dan memasukkan kita ke dalam Surga bersama Nabi dan Rasul yang kita cintai. Allahu a’lam.
Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh : 23). Berkata Muhammad bin Qais menjelaskan ayat tersebut, Ya’uq dan Nasr adalah orang-orang shalih keturunan Nabi Adam (yaitu kaumnya Nabi Nuh). Mereka memiliki banyak pengikut. Tatkala mereka meninggal, berkata sahabat-sahabat dari kalangan pengikut mereka : “Seandainya kita membuat gambar-gambar mereka, akan membuat kita lebih semangat dalam beribadah ketika kita mengingat mereka”. Maka para pengikut orang shalih tersebut membuat gambar mereka. Tatkala para pengikut generasi pertama orang shalih tersebut mati, dan datang generasi berikutnya. Kemudian Iblis menyesatkannya dengan berkata :” Tidaklah gambar-gambar tersebut dibuat melainkan agar mereka disembah, dan merekalah yang menurunkan hujan. Maka akhirnya orang-orang shalih tersebut disembah. Ikrimah mengatakan, diantara Nabi Adam dan Nabi Nuh terdapat 10 abad, seluruhnya diatas tauhid (Tafsir At Tobari).
Dari penjelasan tersebut, diketahui awal mula terjadinya kemusyrikan pada kaum Nabi Nuh. Kemusyrikan tersebut berawal dari sikap berlebihan terhadap orang shalih, yaitu dengan membuat gambar mereka. Dalam riwayat lain, orang shalih tersebut dibuatkan patung dan orang-orang beri’tikaf dikubur mereka. Tujuan awal dibuat gambar dan patung tersebut agar ibadah yang dilakukan menjadi lebih khusuk dan semangat, karena mengingat keshalihan mereka. Namun ketika berganti generasi, dan ilmu semakin sedikit, maka Iblis semakin menyesatkan manusia dengan perkataan dusta bahwa orang shalih tersebutlah yang disembah. Bahkan merekalah yang menurunkan hujan. Sehingga terjadilah penyembahan terhadap orang-orang shalih tersebut.
Bentuk-bentuk berlebihan terhadap orang shalih
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, di sekitar kita, seringkali kita jumpai perbuatan-perbuatan yang termasuk sikap berlebihan terhadap orang shalih. Sudah seharusnya kita waspada dan meninggalkannya. Diantara perkara tersebut adalah :
1. Membuat gambar dan patung
2. Membangun masjid di atas kuburan
3. Memuji secara berlebihan
Semoga Allah menjaga kita dari sikap berlebihan, baik dalam perkara dunia maupun perkara agama, dan memasukkan kita ke dalam Surga bersama Nabi dan Rasul yang kita cintai. Allahu a’lam.
Barokaallah allhamdullilah akhirnya selesai sudah thread saya kali ini.
semoga yang saya sampaikan kepada anda bisa bermanfaat untuk anda yang benar benar mensucikan hati!
segala sesuatu diutamakan dengan niat dan tekad yang kuat!
SAYA TUNGGU KOMENTAR ANDA

Jangan lupa



Sampai bertemu di thread selanjutnya


Quote:


http://www.kaskus.co.id/post/56320f8...523370738b4570 Cara mendapatkan 1 Juta pahala dalam 7 detik
http://www.kaskus.co.id/post/563212b...e5df20318b456d Keutamaan sholat jumat
http://www.kaskus.co.id/thread/56321...nggasana-allah Mengenal Arasy Singgasana Allah
Diubah oleh tomscell 29-10-2015 12:39
0
4.9K
Kutip
46
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan