- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
"Siapa di Balik Perusahaan Pembakar Hutan?"


TS
namima
"Siapa di Balik Perusahaan Pembakar Hutan?"
Quote:

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad menduga, ada orang penting di balik perusahaan-perusahaan yang membakar hutan dan lahan di Indonesia.
Dia meminta pemerintah menyelidiki hal itu demi penyelesaian kasus kebakaran hutan secara permanen.
"Ini saatnya dibuka terang benderang siapa owner sesungguhnya di balik perusahaan pembakar itu? Jangan cuma yang di atas akta saja, tetapi yang owner sesungguhnya yang teraliri dana dan sebagainya," ujar dia dalam acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/10/2015).
"Ini karena mereka diduga punya perusahaan itu, mereka juga punya kekuatan politik. Jadi, seolah-olah di depan publik antipembakaran hutan, tetapi ternyata bisa jadi dia berada di balik perusahaan itu," lanjut Chalid.
Upaya tersebut, lanjut Chalid, tidak dapat dilakukan kementerian seorang diri. Langkah ini harus melibatkan lembaga audit negara, misalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bahkan Pusat Penelusuran Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Jika perlu, sang owner pun dikenakan sanksi pidana. Menurut Chalid, upaya penelusuran tersebut sangat perlu dilakukan oleh pemerintah.
Alasan utamanya, hal itu bisa menjadi bagian dari penyelesaian persoalan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang terjadi setiap tahun, setidaknya 18 tahun terakhir.
Menurut data Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri per 22 Oktober 2015, polisi telah menetapkan 247 tersangka pembakar hutan.
Dari jumlah itu, 230 tersangka adalah perorangan dan 17 tersangka adalah korporasi.
http://nasional.kompas.com/read/2015...embakar.Hutan.
hmm siapa kira2 ya..

Quote:
Tindak Tegas Perusahaan Penebar Asap

Jakarta, GATRAnews - Siapa gerangan para biang kerok penebar bencana asap yang menyengsarakan jutaan warga itu? Sudah terang-benderang bahwa penyumbang asap terbesar adalah kalangan korporasi atau perusahaan. Memang, ada pelaku perorangan. Mereka diduga sengaja membakar lahan.
Maklum, teknik membakar merupakan cara termudah dan termurah untuk membuka lahan perkebunan. Lagi pula, teknik membakar memang diizinkan, sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup.
Undang-undang ini mengatur pembukaan lahan dengan cara dibakar maksimal luasnya dua hektare, meski kenyataan di lapangan luas lahan yang dibakar sering kali jauh melampaui yang diizinkan. Nah, kondisi kekeringan, ditambah lahan yang dibuka itu banyak di atas tanah gambut, membuat api kerap tak terkendali dan berkembang menjadi kebakaran hebat yang sulit dipadamkan.
Aparat kepolisian tampaknya cukup serius mengusut para pelaku pembakaran hutan dan lahan ini, baik dari kalangan korporasi, dan terutama sekali perorangan. Dalam upaya mengungkap kasus pembakaran hutan dan lahan, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menggandeng tujuh satuan wilayah, yakni Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Sampai pertengahan Oktober ini, polisi menerima laporan 248 kasus kebakaran hutan dan lahan, meningkat sebanyak 70 laporan dari bulan sebelumnya.
Jumlah laporan terbanyak dari wilayah hukum Polda Riau, yakni 71 laporan, disusul Polda Kalimantan Tengah sebanyak 63 laporan. Sejauh ini, kepolisian telah menetapkan 243 tersangka, 17 di antaranya berasal dari korporasi, sisanya tersangka perorangan.
Ke-17 tersangka korporasi itu termasuk sembilan tersangka yang diumumkan sebelumnya, September lalu. Sayangnya Mabes Polri sepertinya terlalu berhati-hati, sehingga tidak menyebut rinci nama-nama tersangka korporasi, yang tujuh di antaranya perusahaan asing.
530 Hektar Milik Sandiaga Uno
Dari penelusuran GATRA, beberapa nama perusahaan lokal yang jadi tersangka anyar, di antaranya, PT Rosalindo Putra Prima, PT Persada Sawit Mas, PT Rimba Hutan Mas --ketiganya di Sumatera Selatan-- dan PT Langgam Inti Hibrindo di Riau.
Perusahaan disebut terakhir ini adalah anak perusahaan PT Provident Agro, milik Sandiaga Uno. Polda Riau menahan Manajer PT Langgam, Frans Katihokang, yang dianggap bertanggung jawab atas terbakarnya 530 hektare areal lahan perusahaan tersebut.
Sandiaga enggan berkomentar atas keterlibatan perusahaannya dalam kebakaran lahan. "Mohon maaf, saya belum dapat memberi tanggapan," katanya melalui pesan singkat kepada wartawan GATRA Hendry Roris Sianturi.

Humas PT Provident, Heru Purnomo, mengatakan bahwa kebakaran di area PT Langgam dipicu kondisi iklim dan kekeringan yang melanda Indonesia. "Nggak mungkin kita membakar sawit sendiri yang sudah kita tanam," kata Heru kepada Andi Anggana dari GATRA.
Dari Jambi dilaporkan, Polda telah menetapkan empat tersangka korporasi, yaitu PT Diera Hutan Lestari, PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi, PT Ricky Kurniawan Kertapersada, dan PT Tebo Alam Lestari. Sejumlah korporasi lain di Jambi, di antaranya PT Wira Karya Sakti, sedang disidik pula. Begitu juga di wilayah hukum polda yang lain.
"Artinya akan terus bertambah lagi (tersangka) untuk yang korporasi. Tentunya perlu pembuktian dan mekanismenya harus kita penuhi semua," kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Yazid Fanani.
Yazid memaparkan, dari 248 laporan itu, 53 kasus sudah dilimpahkan ke kejaksaan tahap satu, 61 kasus dilimpahkan ke kejaksaan tahap dua, satu kasus sudah P-21, dan 109 kasus ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Deputi Direktur LSM Komunitas Koservasi Indonesia (KKI Warsi) Jambi, Yulqari, mengingatkan agar polisi dalam menjerat tersangka sebaiknya jangan hanya berpedoman pada KUHP yang akan sarat debat soal pembuktian, tetapi juga dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, yang ancaman dendanya Rp 3 milyar-Rp 10 milyar.
"Sehingga perusahaan mana pun akan kapok mengulangi perbuatannya," kata Yulqari. Ia berharap, polisi dapat lebih banyak lagi menersangkakan kalangan perusahaan.
Memang, sejauh ini jumlah tersangka korporasi masih minim, terlebih dibandingkan dengan jumlah tersangka perorangan. Yazid beralasan, pengusutan kasus pembakaran hutan dan lahan yang melibatkan korporasi cukup kompleks, sehingga terkesan berjalan lambat. "Kita harus membuktikan, apa betul mereka (korporasi) yang membakar," kata Yazid pula.
Wahli: Individu itu Suruhan Perusahaan
Pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyayangkan masih minimnya korporasi yang dijadikan tersangka, sedangkan yang banyak justru perorangan. "Temuan kami, individu itu suruhan perusahaan. Harusnya perusahaan bisa lebih banyak lagi (jadi tersangka)," kata Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi, Muhnur Satyahaprabu, kepada wartawan GATRA M. Afwan Fathul Barry.
Muhnur juga menyebutkan, sebagian besar area perusahaan yang terbakar terafiliasi dengan perusahaan besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Raja Garuda Mas, Sampoerna, PTPN, Sime Darby, Cargill, First Resource, Provident Agro, dan Marubeni. Pihak perusahaan ini membantah tudingan bahwa perusahaan terafiliasi dimaksud melakukan pembakaran hutan.

Dari 17 tersangka korporasi yang ditetapkan polisi, tujuh korporasi di antaranya perusahaan asing asal Cina, Australia, dan Malaysia. "Perusahaan luar (asing) juga ikut membakar," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, tanpa merincinya.
Bareskrim Mabes Polri hanya menyebut inisialnya. Yaitu, PT SP (Cina) di Kalimantan Tengah, PT KAL (Australia) di Kalimantan Barat, dan PT IA (Malaysia) di Sumatera Selatan.
Adapun empat perusaaan Malaysia lainnya, yaitu PT H dan PT MBI di Sumatera Selatan serta PT PAH dan PT AP di Jambi. Badrodin juga menyebut, pihaknya juga tengah menyelidiki perusahaan asal Singapura yang terkait kasus pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) juga menemukan indikasi keterlibatan perusahaan asing dalam kasus pembakaran hutan, seperti perusahaan asal Singapura, Australia, Amerika, Cina, dan Malaysia.
"Ini baru indikasi, akan terkonfirmasi setelah berita acara jadi. Kita mendekati dari sanksi administratif dulu," kata Menteri LHK Siti Nurbaya kepada GATRA.
Siti memaparkan, dari sekitar 1,7 juta hektare areal kebakaran, terindikasi berada di 413 entitas perusahaan. Dari 413 entitas, 34 lokasi telah diverifikasi yang kemudian diklasifikasi dan diklarifikasi oleh 61 tim Satgas Khusus Pengawasan Kebakaran Hutan dan Lahan. Saat ini ada 27 entitas yang sudah dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP) untuk kemudian dijatuhi sanksi administrasi.
Sanksi administrasi yang baru terjadi di era Pemerintahan Joko Widodo ini tidak bisa dianggap enteng, karena dapat berujung pada pencabutan izin perusahaan bersangkutan.
Senin lalu, Kementerian LHK kembali mengumumkan sanksi administrasi, kali ini menyangkut 10 perusahaan perkebunan dan perusahaan hutan di Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan. Empat di antaranya berupa sanksi pembekuan izin, dua berwujud pencabutan izin.
Sebelumnya, 22 September lalu, Kementerian LHK membekukan tiga izin perusahaan perkebunan dan mencabut satu izin perusahaan hutan.
"Sanksi administratif ini seumur-umur pemerintahan belum pernah ada, dan ini baru pertama kali," ucap Siti Nurbaya penuh semangat.
Selain proses administrasi, juga dilakukan proses pidana oleh penyidik pegawai negeri sipil Kementerian LHK. Menurut Siti Nurbaya, saat ini 26 kasus dalam proses penyelidikan, masing-masing menyangkut 18 korporasi dan delapan perorongan. "Kelihatannya dua (kasus) sudah naik ke penyidikan. Dua itu di Kalteng (Kalimantan Tengah), punya Singapura," katanya.
Para pelaku pembakaran hutan juga bisa dijerat secara perdata. Contohnya, PT Bumi Mekar Hijau digugat Rp 7 triliun terkait kasus pembakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan tahun 2014.
Persidangannya masih berlangsung di Pengadilan Negeri Palembang. Adapun gugatan terhadap PT Kalista Alam dalam kasus pembakaran hutan dan lahan di Aceh pada 2009-2012 dimenangi pemerintah. Dalam putusan kasasinya Agustus lalu, Mahkamah Agung menghukum perusahaan sawit itu membayar denda Rp 336 milyar.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian LHK, Rasio Rido Sani, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membeda-bedakan perlakuan hukum terhadap perusahaan yang membakar hutan dan lahan. "Kita tidak melihat (perusahaan pelaku pembakaran) dari negara mana dan grup mana, akan kami proses. Tidak penting asing maupun tidak," ucap Rasio.
Dengan sikap tegas pemerintah yang tidak pandang bulu dalam menjatuhkan sanksi ini, baik administrasi, pidana dan perdata, Siti Nurbaya berharap, menimbulkan efek jera bagi perusahaan mana pun, termasuk perusahaan asing yang ikut-ikutan menyumbang asap pekat di negeri ini.
Taufik Alwie, Andhika Dinata, Hidayat Adiningrat, Joni Aswira Putra, Jogi Sirait (Jambi), dan Noverta Salyadi (Palembang)
http://www.gatra.com/fokus-berita-1/...n-penebar-asap

Jakarta, GATRAnews - Siapa gerangan para biang kerok penebar bencana asap yang menyengsarakan jutaan warga itu? Sudah terang-benderang bahwa penyumbang asap terbesar adalah kalangan korporasi atau perusahaan. Memang, ada pelaku perorangan. Mereka diduga sengaja membakar lahan.
Maklum, teknik membakar merupakan cara termudah dan termurah untuk membuka lahan perkebunan. Lagi pula, teknik membakar memang diizinkan, sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup.
Undang-undang ini mengatur pembukaan lahan dengan cara dibakar maksimal luasnya dua hektare, meski kenyataan di lapangan luas lahan yang dibakar sering kali jauh melampaui yang diizinkan. Nah, kondisi kekeringan, ditambah lahan yang dibuka itu banyak di atas tanah gambut, membuat api kerap tak terkendali dan berkembang menjadi kebakaran hebat yang sulit dipadamkan.
Aparat kepolisian tampaknya cukup serius mengusut para pelaku pembakaran hutan dan lahan ini, baik dari kalangan korporasi, dan terutama sekali perorangan. Dalam upaya mengungkap kasus pembakaran hutan dan lahan, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menggandeng tujuh satuan wilayah, yakni Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Sampai pertengahan Oktober ini, polisi menerima laporan 248 kasus kebakaran hutan dan lahan, meningkat sebanyak 70 laporan dari bulan sebelumnya.
Jumlah laporan terbanyak dari wilayah hukum Polda Riau, yakni 71 laporan, disusul Polda Kalimantan Tengah sebanyak 63 laporan. Sejauh ini, kepolisian telah menetapkan 243 tersangka, 17 di antaranya berasal dari korporasi, sisanya tersangka perorangan.
Ke-17 tersangka korporasi itu termasuk sembilan tersangka yang diumumkan sebelumnya, September lalu. Sayangnya Mabes Polri sepertinya terlalu berhati-hati, sehingga tidak menyebut rinci nama-nama tersangka korporasi, yang tujuh di antaranya perusahaan asing.
530 Hektar Milik Sandiaga Uno
Dari penelusuran GATRA, beberapa nama perusahaan lokal yang jadi tersangka anyar, di antaranya, PT Rosalindo Putra Prima, PT Persada Sawit Mas, PT Rimba Hutan Mas --ketiganya di Sumatera Selatan-- dan PT Langgam Inti Hibrindo di Riau.
Perusahaan disebut terakhir ini adalah anak perusahaan PT Provident Agro, milik Sandiaga Uno. Polda Riau menahan Manajer PT Langgam, Frans Katihokang, yang dianggap bertanggung jawab atas terbakarnya 530 hektare areal lahan perusahaan tersebut.
Sandiaga enggan berkomentar atas keterlibatan perusahaannya dalam kebakaran lahan. "Mohon maaf, saya belum dapat memberi tanggapan," katanya melalui pesan singkat kepada wartawan GATRA Hendry Roris Sianturi.

Humas PT Provident, Heru Purnomo, mengatakan bahwa kebakaran di area PT Langgam dipicu kondisi iklim dan kekeringan yang melanda Indonesia. "Nggak mungkin kita membakar sawit sendiri yang sudah kita tanam," kata Heru kepada Andi Anggana dari GATRA.
Dari Jambi dilaporkan, Polda telah menetapkan empat tersangka korporasi, yaitu PT Diera Hutan Lestari, PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi, PT Ricky Kurniawan Kertapersada, dan PT Tebo Alam Lestari. Sejumlah korporasi lain di Jambi, di antaranya PT Wira Karya Sakti, sedang disidik pula. Begitu juga di wilayah hukum polda yang lain.
"Artinya akan terus bertambah lagi (tersangka) untuk yang korporasi. Tentunya perlu pembuktian dan mekanismenya harus kita penuhi semua," kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Yazid Fanani.
Yazid memaparkan, dari 248 laporan itu, 53 kasus sudah dilimpahkan ke kejaksaan tahap satu, 61 kasus dilimpahkan ke kejaksaan tahap dua, satu kasus sudah P-21, dan 109 kasus ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Deputi Direktur LSM Komunitas Koservasi Indonesia (KKI Warsi) Jambi, Yulqari, mengingatkan agar polisi dalam menjerat tersangka sebaiknya jangan hanya berpedoman pada KUHP yang akan sarat debat soal pembuktian, tetapi juga dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, yang ancaman dendanya Rp 3 milyar-Rp 10 milyar.
"Sehingga perusahaan mana pun akan kapok mengulangi perbuatannya," kata Yulqari. Ia berharap, polisi dapat lebih banyak lagi menersangkakan kalangan perusahaan.
Memang, sejauh ini jumlah tersangka korporasi masih minim, terlebih dibandingkan dengan jumlah tersangka perorangan. Yazid beralasan, pengusutan kasus pembakaran hutan dan lahan yang melibatkan korporasi cukup kompleks, sehingga terkesan berjalan lambat. "Kita harus membuktikan, apa betul mereka (korporasi) yang membakar," kata Yazid pula.
Wahli: Individu itu Suruhan Perusahaan
Pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyayangkan masih minimnya korporasi yang dijadikan tersangka, sedangkan yang banyak justru perorangan. "Temuan kami, individu itu suruhan perusahaan. Harusnya perusahaan bisa lebih banyak lagi (jadi tersangka)," kata Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi, Muhnur Satyahaprabu, kepada wartawan GATRA M. Afwan Fathul Barry.
Muhnur juga menyebutkan, sebagian besar area perusahaan yang terbakar terafiliasi dengan perusahaan besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Raja Garuda Mas, Sampoerna, PTPN, Sime Darby, Cargill, First Resource, Provident Agro, dan Marubeni. Pihak perusahaan ini membantah tudingan bahwa perusahaan terafiliasi dimaksud melakukan pembakaran hutan.

Dari 17 tersangka korporasi yang ditetapkan polisi, tujuh korporasi di antaranya perusahaan asing asal Cina, Australia, dan Malaysia. "Perusahaan luar (asing) juga ikut membakar," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, tanpa merincinya.
Bareskrim Mabes Polri hanya menyebut inisialnya. Yaitu, PT SP (Cina) di Kalimantan Tengah, PT KAL (Australia) di Kalimantan Barat, dan PT IA (Malaysia) di Sumatera Selatan.
Adapun empat perusaaan Malaysia lainnya, yaitu PT H dan PT MBI di Sumatera Selatan serta PT PAH dan PT AP di Jambi. Badrodin juga menyebut, pihaknya juga tengah menyelidiki perusahaan asal Singapura yang terkait kasus pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) juga menemukan indikasi keterlibatan perusahaan asing dalam kasus pembakaran hutan, seperti perusahaan asal Singapura, Australia, Amerika, Cina, dan Malaysia.
"Ini baru indikasi, akan terkonfirmasi setelah berita acara jadi. Kita mendekati dari sanksi administratif dulu," kata Menteri LHK Siti Nurbaya kepada GATRA.
Siti memaparkan, dari sekitar 1,7 juta hektare areal kebakaran, terindikasi berada di 413 entitas perusahaan. Dari 413 entitas, 34 lokasi telah diverifikasi yang kemudian diklasifikasi dan diklarifikasi oleh 61 tim Satgas Khusus Pengawasan Kebakaran Hutan dan Lahan. Saat ini ada 27 entitas yang sudah dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP) untuk kemudian dijatuhi sanksi administrasi.
Sanksi administrasi yang baru terjadi di era Pemerintahan Joko Widodo ini tidak bisa dianggap enteng, karena dapat berujung pada pencabutan izin perusahaan bersangkutan.
Senin lalu, Kementerian LHK kembali mengumumkan sanksi administrasi, kali ini menyangkut 10 perusahaan perkebunan dan perusahaan hutan di Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan. Empat di antaranya berupa sanksi pembekuan izin, dua berwujud pencabutan izin.
Sebelumnya, 22 September lalu, Kementerian LHK membekukan tiga izin perusahaan perkebunan dan mencabut satu izin perusahaan hutan.
"Sanksi administratif ini seumur-umur pemerintahan belum pernah ada, dan ini baru pertama kali," ucap Siti Nurbaya penuh semangat.
Selain proses administrasi, juga dilakukan proses pidana oleh penyidik pegawai negeri sipil Kementerian LHK. Menurut Siti Nurbaya, saat ini 26 kasus dalam proses penyelidikan, masing-masing menyangkut 18 korporasi dan delapan perorongan. "Kelihatannya dua (kasus) sudah naik ke penyidikan. Dua itu di Kalteng (Kalimantan Tengah), punya Singapura," katanya.
Para pelaku pembakaran hutan juga bisa dijerat secara perdata. Contohnya, PT Bumi Mekar Hijau digugat Rp 7 triliun terkait kasus pembakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan tahun 2014.
Persidangannya masih berlangsung di Pengadilan Negeri Palembang. Adapun gugatan terhadap PT Kalista Alam dalam kasus pembakaran hutan dan lahan di Aceh pada 2009-2012 dimenangi pemerintah. Dalam putusan kasasinya Agustus lalu, Mahkamah Agung menghukum perusahaan sawit itu membayar denda Rp 336 milyar.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian LHK, Rasio Rido Sani, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membeda-bedakan perlakuan hukum terhadap perusahaan yang membakar hutan dan lahan. "Kita tidak melihat (perusahaan pelaku pembakaran) dari negara mana dan grup mana, akan kami proses. Tidak penting asing maupun tidak," ucap Rasio.
Dengan sikap tegas pemerintah yang tidak pandang bulu dalam menjatuhkan sanksi ini, baik administrasi, pidana dan perdata, Siti Nurbaya berharap, menimbulkan efek jera bagi perusahaan mana pun, termasuk perusahaan asing yang ikut-ikutan menyumbang asap pekat di negeri ini.
Taufik Alwie, Andhika Dinata, Hidayat Adiningrat, Joni Aswira Putra, Jogi Sirait (Jambi), dan Noverta Salyadi (Palembang)
http://www.gatra.com/fokus-berita-1/...n-penebar-asap
Diubah oleh namima 24-10-2015 14:35
0
4.2K
Kutip
47
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan