- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sekilas Review Kurikulum 2013


TS
Mikusan
Sekilas Review Kurikulum 2013
Quote:

Quote:



Prelude
Hai gan
. Perkenalkan, saya adalah seorang anak SMA di salah satu SMA di Indonesia. Pada detik ini saya berada di kelas 12 dan sudah merasakan yang namanya kurikulum 2013 (selanjutnya disebut K13) selama hampir dua setengah tahun. Yap, benar gan, 2,5 tahun, Itu berarti sudah sejak kelas 10 yang namanya K13 jadi makanan sehari hari.
Sekedar catatan, saya belum pernah membuat kurikulum, saya juga bukan anak pintar di kelas. Hasil UTS kemarin kalau bukan mengenaskan mungkin lebih cocok dibilang menyedihkan. Tapi saya rasa entah pernah bikin kurikulum atau tidak, entah anak pintar atau bukan, tetap berhak untuk memberikan pendapatnya. Tidak perlu membuat restauran kan untuk mengatakan makanan kurang enak, tidak perlu juga ber IQ 200 untuk mengatakan kalau minumannya terlalu manis.
Tapi meski begitu, saya juga tidak mengklaim bahwa yang saya tulis di sini adalah kebenaran
Semuanya tergantung pada konteks yang dibicarakan

Sekedar catatan, saya belum pernah membuat kurikulum, saya juga bukan anak pintar di kelas. Hasil UTS kemarin kalau bukan mengenaskan mungkin lebih cocok dibilang menyedihkan. Tapi saya rasa entah pernah bikin kurikulum atau tidak, entah anak pintar atau bukan, tetap berhak untuk memberikan pendapatnya. Tidak perlu membuat restauran kan untuk mengatakan makanan kurang enak, tidak perlu juga ber IQ 200 untuk mengatakan kalau minumannya terlalu manis.
Tapi meski begitu, saya juga tidak mengklaim bahwa yang saya tulis di sini adalah kebenaran
Semuanya tergantung pada konteks yang dibicarakan

Quote:
Intro
Selama menjalani K13 ini saya sudah merasakan susah senangnya, manis pahitnya, paham dan bingungnya tentang kurikulum "baru" kita ini. Mungkin sudah sering kalian dengar komplain dari berbagai kalangan, mulai dari murid hingga guru. Entah melalui media sosial ataupun dari real life. Topik K13 ini memang pernah menjadi hangat sekitar 2 tahun lalu, dI saat beberapa sekolah di tunjuk untuk mengaplikasikan K13. Saya di sini berusaha membuka topik ini kembali, sebagai review dan umpan balik setelah berpacaran dengan K13. Beberapa saya anggap sebagai perkembangan, ada pula yang bikin saya garuk kepala. Penasaran? Tanpa panjang lebar lagi, silahkan membaca sekilas review yang saya buat
Quote:
Quote:
Quote:
Lintas Minat
Quote:
Spoiler for K13:
Hal terbaik yang bisa didapatkan dari K13 adalah pelajaran lintas minat. Lintas minat adalah pelajaran yang bisa kalian pilih. Pelajaran ini adalah pelajaran yang berasal dari jurusan yang berbeda dengan jurusan agan. Misal agan anak IPA, berarti agan bisa memilih pelajaran anak IPS maupun anak bahasa. Kenapa ini bisa dibilang hal terbaik? karena dengan ini bahkan anak IPS pun bisa menjadi dokter kalau mau. Anak bahasa pun bisa mempelajari ekonomi kalau memang mereka tertarik.
Ini adalah perubahan yang baik. Akan tetapi menurut saya bisa menjadi lebih baik lagi. Bagaimana caranya? dengan menghapus kotak kotak yang telah dibuat. Yap menghapus jurusan IPA/IPS/bahasa. Terkesan radikal? Apa dasarnya hingga saya berani menyarankan hal seperti ini? Tentu saja berdasar pengalaman diri saya sendiri. Kalau agan pergi ke kelas dan tanya pelajaran apa yang paling sulit atau gak suka, pasti banyak suara yang agan dapatkan. Anehnya kalau agan ke kelas IPA, mungkin akan mendengar kata "fisika" yang cukup keras. Aneh ya kan? Kenapa mereka tidak menyukai pelajaran dari jurusannya sendiri?
Hal ini terjadi karena satu hal. Mereka memilih jurusan tersebut bukan karena pelajaran itu. Lalu kenapa tetap mereka pilih? Mungkin karena orang tua. Yang ini tidak akan di bahas. Yang kedua karena mereka hanya tertarik pada beberapa pelajaran di jurusan itu. Contoh diatas, banyak anak IPA tidak suka fisika, ini bisa dikarenakan mereka memilih IPA akibat ketertarikan terhadap kimia dan biologi. Akan tetapi mereka terpaksa mengambil fisika karena penggolongan IPA/IPS/bahasa
Ini bukanlah hal yang adil. Apalagi kalau kita mempertimbangkan manfaat dari pelajaran itu.
Faktanya banyak pelajaran yang akan dilupakan. Mau bukti?
coba tanyakan pertanyaan berikut ini ke guru fisika SMA
"apa itu Anomie?"
"apa itu sosialisasi tidak sempurna?"
"Tindak kriminalitas dibagi menjadi 5. Apa saja dan jelaskan?"
dan tanyakan ini kepada guru sosiologi SMA
"Apa itu anabolisme?"
"Apa itu reaksi terang dan gelap?"
Saya yakin banyak yang tidak tahu. Jangankan guru beda jurusan, kalau agan tanya guru biologi tentang apa cara menghitung amplitudo gelombang berjalan , kemungkinan besar dia tidak tau. Bahkan mungkin beberapa dari agan yang baru lulus atau masih kuliah juga tidak tahu jawabannya tanpa tanya ke search engine. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, satu karena di kuliah/tempat kerja agan tidak mempelajari hal seperti itu, dua karena agan tidak suka sehingga ingin meninggalkannya, dan ketiga karena pergabungan keduanya.
inilah akar permasalahannya. Guru hanya memegang satu mata pelajaran. Orang kerja hanya mahir satu atau beberapa bidang
Sementara murid harus mempelajari bidang yang luas dan hampir tidak berhubungan. Hal ini sangat berat, apalagi kalau kita tidak suka atau tidak memiliki cita cita untuk mendalami pelajar tersebut.
Guru dulu juga ngalami itu kok. Situ aja yang kebanyakan ngeluh
ini kalimat yang sering saya baca. Dan menurut saya pernyataan di atas tidak relevan. Hanya karena guru pernah jadi murid, yang dulunya wajib mengasai semua mata pelajaran, suka atau tidak. Bukan berarti murid masa kini juga harus mengalami hal yang sama. Justru kita harus mengakhiri tradisi ini, yang membebankan murid dan mubazir ini.
Lalu bagaimana?
solusi yang terlintas dipikiran saya adalah, bebaskan murid dalam memilih pelajaran. Mungkin sebagian pelajaran akan dilupakan, tapi paling tidak biarkan kami mempelajari apa yang kami suka. Tentu saja tetap ada pelajaran wajib yang harus murid pilih, seperti matematika, sejarah, penjas orkes, dll. Tetapi untuk pelajaran seperti fisika, matematika (peminatan), sosiologi, geografi, sastra inggris, bahasa asing, dll saya rasa harus diserahkan kembali pada murid
Tapi bagaimana sistemnya?
sistemnya akan seperti moving class. Banyak manfaat yang bisa didapatkan, mulai dari bertambahnya relasi. Selain itu agan bakal ada di kelas yang semua muridnya memilih pelajaran tersebut dengan sepenuh hati, ini menciptakan lingkungan belajar yang bagus. Selain itu ini akan menjadi media untuk mempersiapkan diri di bangku kuliah.
Saya tahu sistem ini akan sulit untk diterapkan. Apalagi sistem yang ada sekarang sudah ada sejak lama. Semakin lama sebuah kebiasaan, maka akan semakin mengakar. Tapi kalau direncakan dengan matang suatu saat dapat tercapai. Di dunia yang berubah terus menerus ini, kita juga terpaksa mencari perubahan yang lebih baik. Bila tidak kita tidak akan punya snowball chance untuk berkompetisi dengan negara lain.
Ini adalah perubahan yang baik. Akan tetapi menurut saya bisa menjadi lebih baik lagi. Bagaimana caranya? dengan menghapus kotak kotak yang telah dibuat. Yap menghapus jurusan IPA/IPS/bahasa. Terkesan radikal? Apa dasarnya hingga saya berani menyarankan hal seperti ini? Tentu saja berdasar pengalaman diri saya sendiri. Kalau agan pergi ke kelas dan tanya pelajaran apa yang paling sulit atau gak suka, pasti banyak suara yang agan dapatkan. Anehnya kalau agan ke kelas IPA, mungkin akan mendengar kata "fisika" yang cukup keras. Aneh ya kan? Kenapa mereka tidak menyukai pelajaran dari jurusannya sendiri?
Hal ini terjadi karena satu hal. Mereka memilih jurusan tersebut bukan karena pelajaran itu. Lalu kenapa tetap mereka pilih? Mungkin karena orang tua. Yang ini tidak akan di bahas. Yang kedua karena mereka hanya tertarik pada beberapa pelajaran di jurusan itu. Contoh diatas, banyak anak IPA tidak suka fisika, ini bisa dikarenakan mereka memilih IPA akibat ketertarikan terhadap kimia dan biologi. Akan tetapi mereka terpaksa mengambil fisika karena penggolongan IPA/IPS/bahasa
Ini bukanlah hal yang adil. Apalagi kalau kita mempertimbangkan manfaat dari pelajaran itu.
Faktanya banyak pelajaran yang akan dilupakan. Mau bukti?
coba tanyakan pertanyaan berikut ini ke guru fisika SMA
"apa itu Anomie?"
"apa itu sosialisasi tidak sempurna?"
"Tindak kriminalitas dibagi menjadi 5. Apa saja dan jelaskan?"
dan tanyakan ini kepada guru sosiologi SMA
"Apa itu anabolisme?"
"Apa itu reaksi terang dan gelap?"
Saya yakin banyak yang tidak tahu. Jangankan guru beda jurusan, kalau agan tanya guru biologi tentang apa cara menghitung amplitudo gelombang berjalan , kemungkinan besar dia tidak tau. Bahkan mungkin beberapa dari agan yang baru lulus atau masih kuliah juga tidak tahu jawabannya tanpa tanya ke search engine. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, satu karena di kuliah/tempat kerja agan tidak mempelajari hal seperti itu, dua karena agan tidak suka sehingga ingin meninggalkannya, dan ketiga karena pergabungan keduanya.
inilah akar permasalahannya. Guru hanya memegang satu mata pelajaran. Orang kerja hanya mahir satu atau beberapa bidang
Sementara murid harus mempelajari bidang yang luas dan hampir tidak berhubungan. Hal ini sangat berat, apalagi kalau kita tidak suka atau tidak memiliki cita cita untuk mendalami pelajar tersebut.
Guru dulu juga ngalami itu kok. Situ aja yang kebanyakan ngeluh
ini kalimat yang sering saya baca. Dan menurut saya pernyataan di atas tidak relevan. Hanya karena guru pernah jadi murid, yang dulunya wajib mengasai semua mata pelajaran, suka atau tidak. Bukan berarti murid masa kini juga harus mengalami hal yang sama. Justru kita harus mengakhiri tradisi ini, yang membebankan murid dan mubazir ini.
Lalu bagaimana?
solusi yang terlintas dipikiran saya adalah, bebaskan murid dalam memilih pelajaran. Mungkin sebagian pelajaran akan dilupakan, tapi paling tidak biarkan kami mempelajari apa yang kami suka. Tentu saja tetap ada pelajaran wajib yang harus murid pilih, seperti matematika, sejarah, penjas orkes, dll. Tetapi untuk pelajaran seperti fisika, matematika (peminatan), sosiologi, geografi, sastra inggris, bahasa asing, dll saya rasa harus diserahkan kembali pada murid
Tapi bagaimana sistemnya?
sistemnya akan seperti moving class. Banyak manfaat yang bisa didapatkan, mulai dari bertambahnya relasi. Selain itu agan bakal ada di kelas yang semua muridnya memilih pelajaran tersebut dengan sepenuh hati, ini menciptakan lingkungan belajar yang bagus. Selain itu ini akan menjadi media untuk mempersiapkan diri di bangku kuliah.
Saya tahu sistem ini akan sulit untk diterapkan. Apalagi sistem yang ada sekarang sudah ada sejak lama. Semakin lama sebuah kebiasaan, maka akan semakin mengakar. Tapi kalau direncakan dengan matang suatu saat dapat tercapai. Di dunia yang berubah terus menerus ini, kita juga terpaksa mencari perubahan yang lebih baik. Bila tidak kita tidak akan punya snowball chance untuk berkompetisi dengan negara lain.

Quote:
Quote:
Nol Koma Tiga Tiga
Spoiler for K13:
Nol koma tiga tiga. Ini adalah hal aneh yang ada di K13. Apa itu nol koma tiga tiga? Nol koma tiga tiga adalah interval nilai yang akan tertulis di raport. Bila agan melihat raport dari anak K13, mungkin agan hanya akan melihat ini : 2.67, 3.00, 3.33, 3.67, dsb. Nilai ini benar benar kaku. Bagaimana nilai ulangan dan tugas yang berkisar 0-100 itu bisa menjadi 0-4?
Dalam K13 diterapkan konversi. Sebagai contoh nilai 85-90 akan di konversi menjadi 3.33. Anehnya, Dalam K13 ada yang namanya predikat, predikat ini berupa A, B+, B, C dll. Sehingga bila agan mendapat nilai 90, maka di raport nilai agan akan tertulis 3.33 dan predikat agan pasti B+. Terkesan redundant? Iya memang benar. Saya juga masih bingung untuk apa diterapkan sistem seperti ini. Ada beberapa masalah yang muncul dengan penilaian baru K13, bahkan beberapa guru pun juga ada yang komplain. Beberapa masalah yang saya lihat adalah:
Di mana semangat belajar?
Bila X memiliki nilai 90 dan dan Y memiliki nilai 85 maka mereka sama sama mendapat nilai 3.33 dan predikat B+.Hal ini tentu saja merugikan bagi anak anak yang sudah bersusah payah belajar dan les semalaman. Bila diteruskan dapat menjadi pembunuh motivasi belajar. "Alah di raport nilainya sama aja kok". Perkataan tersebut sudah lumayan sering saya dengar. Tanpa disadari, saya juga pernah mengatakannya. Ini sangat sangat berbahaya.
Untuk apa mendapat nilai 90 bila akhirnya disamakan dengan nilai 85?
Kenapa saya harus berusaha keras bila dengan usaha yang sedikit bisa mendapat nilai yang sama dengan 90?
bila mindset ini tertanam di benak murid, maka akan mematikan semangat belajar mereka.
Intropeksi diri?
Beberapa dari kita mungkin sering melihat nilai nilai terdahulu saat menerima raport. Lalu dibandingkan dengan nilai yang didapatkan sekarang. Dengan cara ini, seseorang bisa intropeksi dan mengukur kemampuannya. Melihat apakah dia melakukan perkembangan atau justru penurunan yang harus diperbaiki. Sayangnya dengan sistem baru kita ini tidak dapat dilakukan lagi. Karena bila pada semester lalu agan mendapat 85, dan semester ini 90, maka nilainya adalah sama 3.33.
Lagi lagi ini diperparah bila seorang anak memiliki nilai yang relative sama. Misalkan ia memiliki nilai sejarah 89, matematika 86, b.indonesia 90. Maka semuanya akan dipukul rata menjadi nilai 3.33. Dia tidak akan tau mana pelajaran yang dia unggul dan kurang unggul.
Solusi
Beberapa dari pembaca di sini saya yakin sudah tau solusi untuk masalah ini. Caranya hanyalah tinggal menghilangkan rentang nol koma tiga tiga. Nilai konversi harus menggunakan rumus Nilai per 100 di kali 4. Sehingga kita akan menemukan nilai 3.45, 3.86, 3.21, 3.14, dll. Akan tetapi untuk predikat, kita tetap gunakan rentang, misal untuk nilai 3.20 hingga 3.40 mendapat nilai B+ dan seterusnya.
Dalam K13 diterapkan konversi. Sebagai contoh nilai 85-90 akan di konversi menjadi 3.33. Anehnya, Dalam K13 ada yang namanya predikat, predikat ini berupa A, B+, B, C dll. Sehingga bila agan mendapat nilai 90, maka di raport nilai agan akan tertulis 3.33 dan predikat agan pasti B+. Terkesan redundant? Iya memang benar. Saya juga masih bingung untuk apa diterapkan sistem seperti ini. Ada beberapa masalah yang muncul dengan penilaian baru K13, bahkan beberapa guru pun juga ada yang komplain. Beberapa masalah yang saya lihat adalah:
Di mana semangat belajar?
Bila X memiliki nilai 90 dan dan Y memiliki nilai 85 maka mereka sama sama mendapat nilai 3.33 dan predikat B+.Hal ini tentu saja merugikan bagi anak anak yang sudah bersusah payah belajar dan les semalaman. Bila diteruskan dapat menjadi pembunuh motivasi belajar. "Alah di raport nilainya sama aja kok". Perkataan tersebut sudah lumayan sering saya dengar. Tanpa disadari, saya juga pernah mengatakannya. Ini sangat sangat berbahaya.
Untuk apa mendapat nilai 90 bila akhirnya disamakan dengan nilai 85?
Kenapa saya harus berusaha keras bila dengan usaha yang sedikit bisa mendapat nilai yang sama dengan 90?
bila mindset ini tertanam di benak murid, maka akan mematikan semangat belajar mereka.
Intropeksi diri?
Beberapa dari kita mungkin sering melihat nilai nilai terdahulu saat menerima raport. Lalu dibandingkan dengan nilai yang didapatkan sekarang. Dengan cara ini, seseorang bisa intropeksi dan mengukur kemampuannya. Melihat apakah dia melakukan perkembangan atau justru penurunan yang harus diperbaiki. Sayangnya dengan sistem baru kita ini tidak dapat dilakukan lagi. Karena bila pada semester lalu agan mendapat 85, dan semester ini 90, maka nilainya adalah sama 3.33.
Lagi lagi ini diperparah bila seorang anak memiliki nilai yang relative sama. Misalkan ia memiliki nilai sejarah 89, matematika 86, b.indonesia 90. Maka semuanya akan dipukul rata menjadi nilai 3.33. Dia tidak akan tau mana pelajaran yang dia unggul dan kurang unggul.
Solusi
Beberapa dari pembaca di sini saya yakin sudah tau solusi untuk masalah ini. Caranya hanyalah tinggal menghilangkan rentang nol koma tiga tiga. Nilai konversi harus menggunakan rumus Nilai per 100 di kali 4. Sehingga kita akan menemukan nilai 3.45, 3.86, 3.21, 3.14, dll. Akan tetapi untuk predikat, kita tetap gunakan rentang, misal untuk nilai 3.20 hingga 3.40 mendapat nilai B+ dan seterusnya.

Quote:
Quote:
Pelajaran KWU
Spoiler for K13:
ini juga adalah sebuah perubahan yang baik yang ada di K13. Indonesia memerlukan banyak entrepreneur. Jiwa kewirausahaan perlu ditanamkan. Untuk yang tidak tau bagaimana gambaran pelajaran KWU di sekolah. DI sini ini kami diajarkan untuk membuat dan menjual barang barang. Biasanya yang dibuat adalah makanan dan minuman, lalu pada saat pelajaran KWU atau saat istirahat kami berjualan keliling sekolah. Selain itu juga ditugaskan untuk membuat laporan keungan, mulai dari harga bahan, hasil penjualan, dan untung yang didapatkan.
Meski saya belum mempunyai cita cita untuk menjadi pedagang. Tapi saya setuju dengan ditambahkannya pelajaran ini dalam kurikulum. Tidak banyak yang bisa ditulis di sini, karena memang ini adalah perubahan yang sangat baik
Meski saya belum mempunyai cita cita untuk menjadi pedagang. Tapi saya setuju dengan ditambahkannya pelajaran ini dalam kurikulum. Tidak banyak yang bisa ditulis di sini, karena memang ini adalah perubahan yang sangat baik

Quote:
Quote:
Character Building
Spoiler for K13:
Hal yang paling mencolok dari K13 mungkin adalah Character Building. Pada saat kelas X dan X! saya menerima buku pinjaman yang isinya aneh. Buku itu dari pemerintah dan di dalamnya banyak terdapat kalimat "dengan sungguh sungguh", "cermati dengan teliti", "bersyukurlah kepada", dll. Jadi memang dari buku buku tersebut sudah di sugesti agar para siswa membentuk karakter sesuai dengan yang diinginkan. Nah di sini lah hal mulai membingungkan.
Googling
Pada K13, murid diharuskan untuk aktif. Mulai dari aktif berbicara, berdiskusi, dan mencari materi, Nah pencarian materi ini biasanya guru tekankan untuk melakukan searching lewat paman google atau search engine lainnya. Di tambah lagi, buku buku yang kami terima sedikit memiliki materi. Niatnya agar murid mau mencari ke sumber sumber lain.
Akan tetapi kondisi ini yang malah membuat buku tersebut tidak terpakai. Murid jadi malas membacanya, bahkan banyak anak di sekolah saya yang tidak membawa buku tersebut karena memang tidak dipakai oleh guru dan tidak memberikan materi yang cukup. Jadi "character building" yang ditanamkan dalam buku buku itu tidak ada manfaatnya. Alhasil buku buku itu hanya menjadi hiasan di rumah untuk dikembalikan di akhir semester 2.
solusi mudahnya adalah menyeimbangkan jumlah materi dan character building yang tertanam.
Kecurangan
Kecurangan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di K13, akan tetapi juga di kurikulum lain. Bukan salah kurikulumnya kalau saya bilang, akan tetapi lebih pada komponen komponen yang menjalankannya. Saya akan tetap bahas tentang kecurangan ini karena memang ini adalah sebuah hal penting dalam pendidikan.
Agan pernah nyontek?
Kalau boleh saya tebak >90% dari agan pernah nyontek meski hanya sekali saja. Kenapa terjadi contek mencontek? Faktor utamanya adalah rasa takut. Takut nilai jelek, takut dimarahi guru, takut dimarahi orang tua. Faktor pendorongnya yang lebih beragam.
"Nyontek gak ya?"
"Semua orang pada nyontek"
"Kalau gak nyontek bakal dapet nilai jelek nih"
"Apa yang gw dapet dari berbuat jujur?"
"Dimarahin ortu? dimarahi guru?"
"Untuk apa jujur kalau gak dihargai"
"Nyontek aja deh"
Monolog diatas sudah menjelaskan kenapa nyontek itu marak. Dipengaruhi oleh lingkungan, dikekang oleh kondisi. Sebenarnya guru bisa menimalisir keadaan seperti ini. Hanya dengan berjalan mengelilingi kelas, itu sudah cukup untuk membuat murid was was dan menekan jumlah kesempatan untuk mencontek. Sebenarnya hanya dengan duduk dibelakang saja juga sudah bisa mengurangi jumlah percontekan. Mengawasi dari belakang berarti para murid tidak tau apakah guru sedang melihat ke arah dia atau tidak. Membuat percontekan lebih berisiko. Satu hal lagi yang lebih ekstrem adalah merobek kertas ujian anak yang terbukti mencontek, biasanya hanya dengan satu kali melakukan itu para murid lain sudah tidak berani nyontek lagi.
Beberapa guru di sekolah saya sudah melakukan hal hal diatas. Bisa dibilang menjadi guru paling dibenci saat menjaga ujian. Tapi mereka perlu diberikan acungan jempol sebanyak banyaknya. Mereka adalah aktivis kejujuran yang sesungguhnya. Saya yakin di luar sana juga banyak guru seperti itu. Dan saya salut. Para guru lain harus mencontoh tindakan mereka.
saya tau yang salah adalah muridnya. Tapi berharap agar murid tobat dengan sendiri itu dapat dikatakan harapan palsu kalau bukan delusional. Justru bila tidak bertindak maka murid lain akan ikut ikutan mencontek. Guru dan ortu harus berperan aktif dalam mencegah percontekan ini. Ortu juga bisa memulainya dengan mengajari caranya untuk belajar, bukan hanya menuntut hasil belajarnya.
saya pernah nyontek, saya akui. Mungkin beberapa dari kalian ada yang bilang bahwa saya itu hypocrite. Dan saya tidak peduli. Kalau menunggu menjadi orang yang sempurna maka saya akan menunggu selamanya hanya untuk menulis artikel ini
Googling
Pada K13, murid diharuskan untuk aktif. Mulai dari aktif berbicara, berdiskusi, dan mencari materi, Nah pencarian materi ini biasanya guru tekankan untuk melakukan searching lewat paman google atau search engine lainnya. Di tambah lagi, buku buku yang kami terima sedikit memiliki materi. Niatnya agar murid mau mencari ke sumber sumber lain.
Akan tetapi kondisi ini yang malah membuat buku tersebut tidak terpakai. Murid jadi malas membacanya, bahkan banyak anak di sekolah saya yang tidak membawa buku tersebut karena memang tidak dipakai oleh guru dan tidak memberikan materi yang cukup. Jadi "character building" yang ditanamkan dalam buku buku itu tidak ada manfaatnya. Alhasil buku buku itu hanya menjadi hiasan di rumah untuk dikembalikan di akhir semester 2.
solusi mudahnya adalah menyeimbangkan jumlah materi dan character building yang tertanam.
Kecurangan
Kecurangan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di K13, akan tetapi juga di kurikulum lain. Bukan salah kurikulumnya kalau saya bilang, akan tetapi lebih pada komponen komponen yang menjalankannya. Saya akan tetap bahas tentang kecurangan ini karena memang ini adalah sebuah hal penting dalam pendidikan.
Agan pernah nyontek?
Kalau boleh saya tebak >90% dari agan pernah nyontek meski hanya sekali saja. Kenapa terjadi contek mencontek? Faktor utamanya adalah rasa takut. Takut nilai jelek, takut dimarahi guru, takut dimarahi orang tua. Faktor pendorongnya yang lebih beragam.
"Nyontek gak ya?"
"Semua orang pada nyontek"
"Kalau gak nyontek bakal dapet nilai jelek nih"
"Apa yang gw dapet dari berbuat jujur?"
"Dimarahin ortu? dimarahi guru?"
"Untuk apa jujur kalau gak dihargai"
"Nyontek aja deh"
Monolog diatas sudah menjelaskan kenapa nyontek itu marak. Dipengaruhi oleh lingkungan, dikekang oleh kondisi. Sebenarnya guru bisa menimalisir keadaan seperti ini. Hanya dengan berjalan mengelilingi kelas, itu sudah cukup untuk membuat murid was was dan menekan jumlah kesempatan untuk mencontek. Sebenarnya hanya dengan duduk dibelakang saja juga sudah bisa mengurangi jumlah percontekan. Mengawasi dari belakang berarti para murid tidak tau apakah guru sedang melihat ke arah dia atau tidak. Membuat percontekan lebih berisiko. Satu hal lagi yang lebih ekstrem adalah merobek kertas ujian anak yang terbukti mencontek, biasanya hanya dengan satu kali melakukan itu para murid lain sudah tidak berani nyontek lagi.
Beberapa guru di sekolah saya sudah melakukan hal hal diatas. Bisa dibilang menjadi guru paling dibenci saat menjaga ujian. Tapi mereka perlu diberikan acungan jempol sebanyak banyaknya. Mereka adalah aktivis kejujuran yang sesungguhnya. Saya yakin di luar sana juga banyak guru seperti itu. Dan saya salut. Para guru lain harus mencontoh tindakan mereka.
saya tau yang salah adalah muridnya. Tapi berharap agar murid tobat dengan sendiri itu dapat dikatakan harapan palsu kalau bukan delusional. Justru bila tidak bertindak maka murid lain akan ikut ikutan mencontek. Guru dan ortu harus berperan aktif dalam mencegah percontekan ini. Ortu juga bisa memulainya dengan mengajari caranya untuk belajar, bukan hanya menuntut hasil belajarnya.
saya pernah nyontek, saya akui. Mungkin beberapa dari kalian ada yang bilang bahwa saya itu hypocrite. Dan saya tidak peduli. Kalau menunggu menjadi orang yang sempurna maka saya akan menunggu selamanya hanya untuk menulis artikel ini

Quote:
Quote:
Perbandingan Dengan Kurikulum Luar Negeri
Spoiler for K13:
pernah dengar kata ICAS? ICAS adalah sebuah tes, bekerja sama dengan universitas di luar negeri sana. Saya sudah mendapat tesnya sebanyak dua kali. Dan yang kedua ini belum lama saya selesaikan.Saya mau menceritakan pengalaman dan omongan omongan yang terdengar saat itu. Kita mulai dari dari ujian ICAS pertama. DI ambil saat masih SMP.
Secara keseluruhan, soalnya gampang gampang. Teman teman banyak yang bilang "Soalnya sih gampang, cuma bahasa inggrisnya aja yang sulit". Wah keren ya, murid murid aja bilang soal dari luar negeri itu gampang. Mungkin sebenarnya orang Indonesia itu pintar pintar. Andaikata bahasa inggris itu bahasa kedua dan bukan bahasa asing, mungkin semua anak dapat nilai bagus bagus.
ICAS pertama
Saya gak begitu ingat soalnya. Cuma beberapa yang masih terkenang adalah menghitung luas daun. Luas daun ini kalau tidak salah tidak diajarkan di SMP. Lalu bagaimana mengerjakannya? Saya sendiri membanding luas daun dengan luas persegi. Setelah dipandang pandang kira kira luas daun itu 3/7 dari luas persegi. Jadi saya gunakan rumus 3/7 kali luas persegi. Tidak ketemu jawabannya, tapi setelah saya dibulatkan ketemu. Nah selesai ujian ada yang tanya tentang soal itu ke guru, ternyata luas daun itu 4/7 luas persegi. Rumus saya hampir benar, tapi jawabannya sudah benar. Rasanya benar benar lega sekali, meski menggunakan cara yang terkesan nyeleneh tapi ternyata hampir benar.
Soal kedua yang masih terbayang adalah soal bahasa inggris. Ada soal di suruh membuat cerita. Pertama disediakan sebuah cerita tentang anak yang takut di rumah karena mendengar sebuah suara. Ternyata suara itu berasal dari jangkrik. Nah soalnya adalah disuruh membuat cerita bagaimana jangkrik tersebut bisa sampai di dalam rumah.
ini adalah soal paling berkesan! Seumur hidup saya ulangan bahasa inggris belum pernah disuruh membuat cerita. Baru kali ini dan ini membakar semangat untuk mengerjakan. Cerita yang saya buat sangat absurd, mulai dari si jangkrik kehilangan temannya, mencari ke rel kereta, hingga tersesat di rumah sang anak. Yang ini kelihatannya tidak usah di bahas haha.
ICAS kedua
Brutal! Itu yang bisa saya sampaikan. Ada 50 (atau 40 lupa) soal yang harus dikerjakan dan semuanya harus mikir keras. Saya cuma bisa mengerjakan 25 soal sebelum bel waktu berakhir. Anak anak lainpun juga curhat bagaimana sulitnya soal soal tersebut. Menurut pribadi, sebenarnya soalnya dapat dikerjakan. Hanya saja kalau diperkirakan saya butuh waktu 6 jam atau 8 jam. Itu hanya untuk berfikir saja
Ini dikarenakan pola soalnya berbeda dengan soal di sekolah. DI sekolah biasanya soalnya adalah soal instan, asalkan hafal cara pengerjaannya di buku saat ujian tinggal ganti angka saja. Nah begitu ketemu soal nyeleneh seperti icas, contoh yang saya ingat : seorang anak naik eskalator, bila ia berlari naik sejauh 5 anak tangga maka dia akan sampai di atas setelah 72 detik. Bila ia berlari sejauh 7 anak tangga ia akan sampai di atas setelah 68 detik. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk ke atas bila ia tidak berlari?
ini kan sebenarnya soal gampang. Kita tinggal mencari selisih waktunya, kemudian mencari lari per anak tangga itu mempercepat waktu berapa detik. Nah hasilnya kemudian di kali 5 dan ditambahkan 72. Tapi karena jarang menemui soal seperti itu, maka saya dan teman teman lainnya kebingungan dan perlu waktu lebih untuk berfikir. Nah apakah ini salah metode pembelajarannya atau kurikulumnya? Kenapa saat SMP terbilang mudah, tapi saat SMA kesulitan?
Entah yang mana itu tergantung interpretasi saja. Karena saya sendiri belum tau bagaimana kurikulum di luar negeri, jadi tidak bisa banyak bicara. Selain itu, ini adalah akhir dari review saya. Silahkan membaca outro, atau silahkan membaca artikel lain. Jangan lupa rate 5nya bila agan merasa artikel ini bermanfaat
Secara keseluruhan, soalnya gampang gampang. Teman teman banyak yang bilang "Soalnya sih gampang, cuma bahasa inggrisnya aja yang sulit". Wah keren ya, murid murid aja bilang soal dari luar negeri itu gampang. Mungkin sebenarnya orang Indonesia itu pintar pintar. Andaikata bahasa inggris itu bahasa kedua dan bukan bahasa asing, mungkin semua anak dapat nilai bagus bagus.
ICAS pertama
Saya gak begitu ingat soalnya. Cuma beberapa yang masih terkenang adalah menghitung luas daun. Luas daun ini kalau tidak salah tidak diajarkan di SMP. Lalu bagaimana mengerjakannya? Saya sendiri membanding luas daun dengan luas persegi. Setelah dipandang pandang kira kira luas daun itu 3/7 dari luas persegi. Jadi saya gunakan rumus 3/7 kali luas persegi. Tidak ketemu jawabannya, tapi setelah saya dibulatkan ketemu. Nah selesai ujian ada yang tanya tentang soal itu ke guru, ternyata luas daun itu 4/7 luas persegi. Rumus saya hampir benar, tapi jawabannya sudah benar. Rasanya benar benar lega sekali, meski menggunakan cara yang terkesan nyeleneh tapi ternyata hampir benar.
Soal kedua yang masih terbayang adalah soal bahasa inggris. Ada soal di suruh membuat cerita. Pertama disediakan sebuah cerita tentang anak yang takut di rumah karena mendengar sebuah suara. Ternyata suara itu berasal dari jangkrik. Nah soalnya adalah disuruh membuat cerita bagaimana jangkrik tersebut bisa sampai di dalam rumah.
ini adalah soal paling berkesan! Seumur hidup saya ulangan bahasa inggris belum pernah disuruh membuat cerita. Baru kali ini dan ini membakar semangat untuk mengerjakan. Cerita yang saya buat sangat absurd, mulai dari si jangkrik kehilangan temannya, mencari ke rel kereta, hingga tersesat di rumah sang anak. Yang ini kelihatannya tidak usah di bahas haha.
ICAS kedua
Brutal! Itu yang bisa saya sampaikan. Ada 50 (atau 40 lupa) soal yang harus dikerjakan dan semuanya harus mikir keras. Saya cuma bisa mengerjakan 25 soal sebelum bel waktu berakhir. Anak anak lainpun juga curhat bagaimana sulitnya soal soal tersebut. Menurut pribadi, sebenarnya soalnya dapat dikerjakan. Hanya saja kalau diperkirakan saya butuh waktu 6 jam atau 8 jam. Itu hanya untuk berfikir saja
Ini dikarenakan pola soalnya berbeda dengan soal di sekolah. DI sekolah biasanya soalnya adalah soal instan, asalkan hafal cara pengerjaannya di buku saat ujian tinggal ganti angka saja. Nah begitu ketemu soal nyeleneh seperti icas, contoh yang saya ingat : seorang anak naik eskalator, bila ia berlari naik sejauh 5 anak tangga maka dia akan sampai di atas setelah 72 detik. Bila ia berlari sejauh 7 anak tangga ia akan sampai di atas setelah 68 detik. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk ke atas bila ia tidak berlari?
ini kan sebenarnya soal gampang. Kita tinggal mencari selisih waktunya, kemudian mencari lari per anak tangga itu mempercepat waktu berapa detik. Nah hasilnya kemudian di kali 5 dan ditambahkan 72. Tapi karena jarang menemui soal seperti itu, maka saya dan teman teman lainnya kebingungan dan perlu waktu lebih untuk berfikir. Nah apakah ini salah metode pembelajarannya atau kurikulumnya? Kenapa saat SMP terbilang mudah, tapi saat SMA kesulitan?
Entah yang mana itu tergantung interpretasi saja. Karena saya sendiri belum tau bagaimana kurikulum di luar negeri, jadi tidak bisa banyak bicara. Selain itu, ini adalah akhir dari review saya. Silahkan membaca outro, atau silahkan membaca artikel lain. Jangan lupa rate 5nya bila agan merasa artikel ini bermanfaat


Quote:
Outro
Secara keseluruhan K13 adalah sebuah langkah baik dalam mengubah pendidikan Indonesia. Akan tetapi masih ada yang harus dibenahi dan masih ada pula bisa dikembangkan. Mungkin agan agan sekalian sudah bosan gonta ganti kurikulum setiap sekian tahun. Saya tidak memaksa agar ide ide di atas agar di implementasikan. Itu hanya sekedar saran dan pendapat setelah cukup lama bergelut dengan kurikulum ini.
kesimpulannya K13 diatas kertas sudah lebih baik dari kurikulum sebelumnya

#Note: semua gambar bukanlah milik saya selaku TS
Diubah oleh Mikusan 19-10-2015 05:52
0
5.3K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan