- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kabar dari Jerman & Yunani (3): Pengungsian di Negeri 'Dingin'


TS
act.id
Kabar dari Jerman & Yunani (3): Pengungsian di Negeri 'Dingin'

YUNANI - Ketua Tim SOS Syiria – ACT yang diterjunkan ke Jerman, Hastrini Nawir, setelah mengamati dinamika penanganan pengungsi Suriah di Jerman, memandang penanganan di Jerman relatif baik dibanding pengungsian di negara lainnya di Eropa. Fenomena gelombang pengungsian ke Yunani mendorongnya menuju negeri kelahiran filsuf Barat dan asal mitologi dunia, tepatnya ke pulau Lesvos. Berikut ini laporannya, ditulis di sela panjajakan wilayah distribusi bantuan kemanusiaan.
Pagi-pagi pada 6 Oktober 2015, kami: Saya, Kevin (relawan lokal), Yopi (warga Indonesia yang tinggal di Jerman) dan George (pengemudi), mendarat di bandara Mytilini, pulau Lesvos, Yunani. Dari Athena kami menggunakan pesawat kecil – mengingatkan saya penerbangan saat dari Medan ke Lhokseumawe, ke pulau Lesvos ini. Di sini hampir bisa dikatakan tidak ada transportasi umum. Para pengunjung biasanya menyewa kendaraan atau naik taksi. Dari bandara kami naik taksi menuju penginapan yang berjarak 10 kilometeran. Di perjalanan kami melewati pelabuhan Mytilini. Setiap hari kapal besar di pelabuhan mengantarkan ribuan pengungsi ke Athena untuk kemudian bisa melanjutkan perjalananya ke utara Eropa, negara tujuan umumnya Jerman dan Swedia.
Di perjalanan, saya saksikan rombongan pejalan kaki, cukup banyak, berarakan. Saya baru sadar beberapa saat, mereka para pengungsi Suriah yang berjalan kaki dari tempat mereka berlabuh ke kamp pengungsian. Mereka berjalan berkilo-kilometer, menurut informasi, mereka berjalan kadang sampai beberapa hari. Di kamp mereka menjalani proses registrasi untuk bisa dikirim ke Athena dengan kapal dari pelabuhan Mytiline. Sebenarnya ada beberapa bis yang disediakan untuk mengangkut para pengungsi dari pantai tempat mereka berlabuh menuju kamp pengungsian, tapi jumlah bis yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah pengungsi yang mencapai ribuan setiap harinya. Maka mereka memilih berjalan kaki ketimbang menunggu bis beberapa hari.
Kondisi para pengungsi yang berjalan kaki, menyedihkan. Mereka dengan sisa tenaganya perlahan menuju kamp untuk mendaftar. Kiri-kanan beberapa kali bersua warga setempat, akan tetapi para penduduk lokal dilarang membantu mereka. Siapa yang kepergok membantu pengungsi, mereka bisa ditangkap polisi. Di Mytilini ini, turis, penduduk setempat dan juga pengungsi, saling bertemu dan saling memandang tanpa ada interaksi. Bahkan, antar mereka, tidak tahu-menahu satu sama lain, bersibuk diri dengan urusannya. Pengungsian ini menjadi ironi di pulau Lesvos, pulau wisata yang banyak dikunjungi turis. Meski begitu, pulau ini juga menjadi ‘titik transit’ ribuan pengungsi Suriah. Menurut seorang pengemudi setempat, kebanyakan penduduk Lesvos tidak tahu bagaimana situasi pengungsi di dalam kamp. Bahkan driver lokal yang saya ajak berbincang tadi, baru pertama kalinya masuk ke kamp pengungsian.
Di Lesvos ada dua kamp: Moria dan Kara Tepe. Kara Tepe dihuni para pengungsi Suriah. Umumnya pengungsi Suriah yang ada di kamp Kara Tepa, orang kaya (membawa banyak uang), sedangkan pengungsi yang di Moria lebih memprihatinkan, tak ada uang (awalnya mereka membawa uang, disimpan dalam tas yang mereka simpan di perahu. Saat perahu mulai sesak, terpaksa sejumlah barang dikeluarkan, termasuk tas uang mereka ikut terbuang).
Seharian saya mengelilingi sepertiga pulau Lesvos, dengan mobil sewaan kami. Maklum, tak ada kendaraan umum di Lesvos selain mobil rental. Saya melalui titik-titik yang dilalui para pengungsi, mulai dari pinggiran pantai sampai ke meeting point di mana bis pengantar pengungsi diparkir. Sore, pengemudi yang saya sewa memperkenalkan saya dengan seorang relawan dokter berkebangsaan Belgia. Ia tergabung dalam MDM (Médecins du Monde), organisasi kemanusiaan internasional memberikan perawatan medis kepada masyarakat yang rentan terkena dampak perang, bencana alam, penyakit, kelaparan, kemiskinan atau pengecualian. Awalnya didirikan di Perancis tahun 1980, jaringan internasional Médecins du Monde (Dokter untuk Dunia) saat ini telah meluas ke 16 negara di Eropa, Asia dan Amerika. MDM di krisis pengungsi Suriah di Eropa ini, menyuplai kebutuhan farmasi.
Hari pertama di Lesvos, saya ditemani relawan dan pengemudi lokal, mengunjungi kamp Kara Tepe. Kami diizinkan masuk karena ditemani Kevin, dokter yang bergerak ke tiap-tiap kamp. “Dia bersama saya,” kata Kevin kepada petugas lokal penjaga migran. Di kamp ini saya mengunjungi tenda UNHCR, di tempat pengungsi menanti giliran registrasi. Tanpa tengok kiri-kanan, saya main motret saja. Tiba-tiba seorang pengungsi menegur keras, keberatan dipotret. “Hapus semua foto-foto Anda,” bentaknya dengan wajah merah-padam sembari tangannya bergerak hendak meraih handphone saya. Saya terkejut sejenak, lalu segera menguasai diri dan minta maaf. Untung ada George, pengemudi lokal yang menemani saya, sehingga insiden itu lekas berakhir.
Beruntung, sebelum kejadian itu saya sudah berkenalan secara formal dengan sejumlah pegiat kemanusiaan dari UNHCR, MDM, MSF (Médecins Sans Frontières, Dokter Lintas Batas), beberapa relawan dari Norwegia maupun sejumlah negara Eropa yang hadir secara personal (tidak atas nama lembaga). Di kamp yang dikelola UNHCR ini saya mendaftarkan ACT sebagai salah satu NGO yang terlibat dalam penanganan pengungsi di Mytilini, dan ACT siap terlibat dalam kerja penanganan pengungsi di Mylitini. (bersambung)
Sumber
0
1.8K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan