Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

astrophelAvatar border
TS
astrophel
[FREE] Perlukah Mengklasifikasi Kembali E Pepet dan E Taling dalam Alfabet Indonesia?
Masyarakat dunia mengenal bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang menganut prinsip konsistensi dengan sistem tulisan dan pengucapan yang seragam, sebagai contoh kata “padi” yang tetap dibaca /padi/. Bandingkan dengan bahasa Inggris pada kata “down” yang dibaca /daun/ atau bahasa Perancis pada kata “agneaux” yang dibaca /anyo/.

Prinsip konsistensi menjadikan bahasa Indonesia selalu masuk dalam 5 bahasa yang paling mudah dipelajari menurut beberapa survei ilmiah linguistik. Dalam sebuah artikel yang pernah kubaca, kesulitan terbesar masyarakat dunia dalam memahami bahasa Indonesia terletak pada dua hal, yakni afiks (imbuhan) dan fonologi (pengucapan).

Hasil ini cukup mengejutkan sebab dimensi fonologi biasanya menjadi kendala minor seseorang dalam mempelajari sebuah bahasa. Sebagai perbandingan orang-orang akan berkutat di grammar saat mendalami bahasa Inggris. Begitu pun orang-orang yang repot menghafal gender (der, das, die) saat mendalami bahasa Jerman. Atau mereka yang pusing mencirikan ribuan morfem pinyin ketika mendalami bahasa Mandarin.

Lalu fonologi? Jelas urusan belakang. Mayoritas para pembelajar bahasa mulai mengkaji fonologi saat berada di tingkat mahir, contohnya pada bahasa Inggris yang akhirnya mampu membedakan mana dialek Cockney, Scottish, White Texan, Creole, atau Singlish yang terkenal disturbing bagi para native speakers. emoticon-Hammer (S)

Kemungkinan saking mudahnya mendalami bahasa Indonesia para pembelajar bahasa tidak menemukan kendala berarti selain afiks, sehingga mereka langsung masuk pada kajian fonologi. Hal wajar mengingat bahasa Indonesia tidak mengenal gender, kasus, keterangan waktu, atau aspek terstruktur lainnya. Dalam hal ini pembahasan fonologi terkonsentrasi pada klasifikasi fonem “e” yang menjadi esensi perdebatan. Seperti yang kita ketahui bersama, alfabet Indonesia hanya memiliki satu grafem “e” untuk merujuk dua fonem “e” yang bertolak belakang: e pepet dan e taling.

Contoh kata e pepet: kental, jenis, benar, focus /fowkes/, supply /seplai/, about /ebaut/, dll.
Contoh kata e taling: preman, lempar, becak, can, trap, dress, dll.

Sebenarnya klasifikasi ini pernah digunakan kolonial Hindia Belanda pada sistem ejaan Van Ophuijsen. Terdapat dua grafem berbeda untuk masing-masing fonem “e”: E pepet dengan huruf e biasa [e] dan e taling dengan huruf e berdiakritik [é]. Jadi penulisannya akan menjadi seperti ini: merdéka, seléra, temperaméntal, dll.

Namun, klasifikasi ini dihapuskan pasca-kemerdekaan seiring digantikannya ejaan Van Ophuijsen dengan ejaan Soewandi (Republik) yang menyatukan dua fonem “e” ke dalam satu grafem = [e]. Alasan pengubahan pun terbilang oportunis: rakyat Indonesia mampu membedakan sendiri e pepet dan e taling, terlepas yang sebenarnya adalah hendak menghilangkan segala hal yang berbau Belanda.

Di samping itu, bahasa Indonesia mempunyai banyak kata homonim, seperti apel-apél, mental-méntal, seri-séri, teras-téras, dll. Contoh kalimat:

Ia memakan apel setelah apél pagi.
Méntal prajurit itu langsung mental ketika musuh datang.
FIFA mengeluarkan séri teknologi terbaru pada pertandingan yang berakhir seri 2-2.
Pejabat teras sedang duduk di téras.

Jadi menurut kalian perlukah mengklasifikasi kembali e pepet dan e taling dalam alfabet Indonesia? Anyway bagaimana cara mengeja nama-nama di bawah ini?

Bérwin atau Berwin?
Makavélli atau Makavelli?
Kéményan, Kémenyan, Keményan, atau Kemenyan?

__________emoticon-Ngacir
Diubah oleh astrophel 01-10-2015 12:26
0
45.8K
99
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan