Quote:
Lambang Kerajaan Mataram
Lambang Kasultanan Yogyakarta
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan Gerakan Anak Negeri Anti-Diskriminasi (Granad) melaporkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, ke Presiden RI Joko Widodo.
Laporan itu menuding pihak Keraton akan menghidupkan kembali aturan hukum Kolonial (Rijksblad) Tahun 1918 Nomor 16 tentang Sultanaat Ground, dan Nomor 18 tentang Pakualamanaat Ground.
Pihaknya juga menuding langkah itu adalah separatis atau pembangkangan pada Negara.Menurut Ketua Granad, Willie Sebastian, pemberlakuan aturan tersebut dianggap mengesampingkan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960.
Di sisi lain, Rijksblad sudah dihapus melalui Perda DIY nomor 3 tahun 1984.
“Pada intinya (UUPA 1960 dan Perda nomor 3 tahun 1984) mengamanatkan bahwa wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja dihapus dan beralih kepada Negara,” katanya, Selasa (15/9/2015).
Dengan dasar Rijksblad itulah, dianggap bahwa Keraton telah melakukan klaim sepihak, melakukan pendataan, dan pengukuran terhadap tanah-tanah Negara melalui kategori tanah Kasultanan atau Kadipaten dengan status tanah non Keprabon.
Di sisi lain, telah menggunakan Dana Keistimewaan (Danais) yang bersumber dari APBN, untuk melakukan proses sertifikasi menjadi Hak Milik Badan Hukum Warisan Budaya Kasultanan dan Kadipaten yang bersifat swasta.
“APBN dipergunakan untuk memperkaya badan hukum swasta berupa akumulasi aset tanah secara tidak sah,” katanya.
Selain itu, adanya Pergub DIY nomor 112 tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa bertentangan dengan UUPA 1960, UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan UUK DIY pasal 16.
Hal itu merupakan langkah pengambil alihan hak milik masyarakat atas tanah desa sebagai aset publik.
“Akibatnya desa kehilangan hak milik atas tanah desa dan seluruh tanah kas desa dikuasai serta dimiliki Kasultanan/Kadipaten,” tandasnya.
Granad juga melaporkan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto selaku Penghageng Panitikismo Keraton Yogyakarta.
Laporan tersebut atas adanya statemennya bahwa, "Tidak ada Tanah Negara di DIY".
Pihaknya juga melaporkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan (BPN) DIY Arie Yuriwin.
Karena dianggap sudah menerbitkan surat yang memberlakukan Rijksblad Kasultanan untuk dijadikan tanah Sultan Ground.
Adapun surat ke Presiden RI, telah dikirim melalui Pos dan ditembuskan ke sejumlah pihak, di antaranya wakil presiden, kepala staf kepresidenan, Menko Polhukam, Menko Maritim dan Sumber Daya, Menko Perekonomian, Mendagri, Menkumham, Menteri ATR/Kepala BPN dan lainnya.
Sementara itu, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X saat diminta tanggapan mengenai laporan tersebut belum bersedia memberikan komentar.
Ia memilih menunggu perkembangan dan respon pemerintah pusat atas surat itu.
“Ya nanti lihat saja, kan ada utusan dari Jakarta,” katanya saat ditemui usai menghadiri rapat paripurna dengan agenda pandangan umum Fraksi terhadap APBD Perubahan 2015, di Gedung DPRD DIY.
Mengenai tudingan bahwa Keraton akan menguasai tanah di DIY melalui proses inventarisasi hingga penyertifikatan lahan, Sultan yang juga Raja Keraton Yogyakarta itu hanya menegaskan bahwa tanah yang ada di DIY tidak ada tanah milik Negara.
“Neng Jogja ora ono tanah Negara, wong hasil paliyan Negari kok tanah Negara. Kayak tidak tahu sejarahnya saja,” katanya. (tribunjogja.com)
Sumber
Quote:
Kesultanan Merasa Terus Digerogoti
JAKARTA -- Kesultanan Jogjakarta merasa keputusan pemilihan gubernur lewat pemilihan hanya bagian dari upaya sistematis pemerintah pusat mengerdilkan pihaknya. Selain menggerogoti kewenangan mengatur masyarakat, aset keraton juga tak luput ikut dipangkas.
"Kami ini terus digerogoti, tidak tahu kenapa kok jadinya seperti ini," keluh Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo, saat ditemui di kediamannya, Ndalem Joyokusuman, komplek keraton Jogjakarta, Jumat (3/12). Menurut dia, hingga saat ini, sudah banyak tanah kesultanan yang beralih tangan.
Diantaranya, Istana Negara Gedung Agung Jogjakarta yang terletak hanya sekitar 300 meter dari Keraton. Menurut adik Sri Sultan Hamengkubuwono X (HB X) tersebut, tanah seluas 43.585 meter persegi di sana merupakan bagian dari tanah kesultanan. "Tapi, tanpa sepengetahuan dan pembicaraan dengan kami, ternyata tanah tersebut sudah disertifikatkan atas nama sekretariat negara," katanya.
Istana tersebut dibangun saat Hamengkubuwono I berkuasa. Dan, sempat dibangun ulang saat kesultanan dipegang Hamengkubuwono IX. Sebab, seiring berakhirnya pendudukan Jepang, banyak bagian gedungnya ikut dibawa pasukan Nippon waktu itu. "Kesultanan pula lah yang membangun ulang, yaitu HB IX," tambah Joyokusumo.
Tidak hanya Gedung Agung, tanah di bawah Benteng Vrederburg yang berada tepat di depannya ternyata juga sudah disertifikatkan atas nama sekretariat negara. "Saya sudah mempersoalkan hal-hal seperti ini lewat DPR, tapi tidak terlalu banyak ditanggapi," ungkap mantan anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar tersebut.
Joyokusumo juga kembali, nasib yang sama juga terjadi pada tanah kesultanan yang ditempati Universitas Gajah Mada (UGM), Jogjakarta. Tanah di sana sudah diatasnamakan kementrian pendidikan. "Masih ada di beberapa lokasi lain lagi, sepertinya ini semua memang ada upaya gembosi Jogja," imbuh pejabat keraton setara sekretaris negara tersebut.
Sebab, di sisi lain, ribuan hektar tanah kesultanan yang tersebar di beberapa wilayah dalam Provinsi DIJ, tetap belum bisa disertifikatkan sampa sekarang. Selama ini, izin mendirikan bangunan di atas tanah kesultanan hanya diproses oleh BPN dengan menggunakan surat kekancingan. "Belum ada sama sekali yang bisa disertifikatkan," keluh Joyokusumo.
Komitmen keistimewaan dalam hal agraria yang telah disepakati pemerintah dan DPR dalam RUU Keistimewan Jogjakarta, menurut dia, juga belum bisa menjadi jaminan masalah atas tanah kesultanan selama ini akan bisa tuntas. Sebab, UU tersebut masih memerlukan aturan-aturan turunan melalui peraturan pemerintah atau lainnya. "Diakui atau tidak, kesultanan Jogja itu sudah banyak berkorban bagi pemerintahan Indonesia sejak berdiri, tapi masih saja diperlakukan seperti ini," kata Joyokusumo, kembali.
Dia lantas mengungkapkan, bahwa jika seandainya Jogjakarta sudah ingin merdeka dan terpisah dari RI, sebenarnya sudah bisa dilakukan dari dulu. Pasca komitmen mendukung RI oleh HB IX sejak awal Indonesia menyatakan merdeka, peluang Jogja untuk berdiri sendiri masih terbuka.
Yaitu, saat pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), pada 1949, sebagai hasil perjanjian Meja Bundar Indonesia dan Belanda. Waktu itu, menurut Joyokusumo, Sri Sultan sempat ditawari 10 raja yang tersebar di beberapa wilayah nusantara untuk membentuk negara sendiri. "Dan, Sultan mau dijadikan raja diraja atas kerajaan-kerajaan yang ada," ungkapnya.
Tapi, saat itu, Sri Sultan HB IX menolaknya. Sultan menyatakan untuk tetap komitmen menjadi bagian dari pemerintah Indonesia. "Wallahualam bagaimana Indonesia sekarang, kalau Sultan saat itu menerima tawaran menjadi raja diraja tersebut," ujarnya.
Menurut Joyokusumo, seharusnya fakta-fakta tersebut seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dan DPR dalam memutuskan status keistimewaan DIJ. Termasuk, keistimewaan dalam hal pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Dia berharap, kebijakan yang disusun pemerintah pusat tidak sampai melukai perasaan masyarakat Jogja. "Jogja itu jangan disamakan dengan daerah istemewa atau khusus lainnya, keistimewaan kultur di Jogja berbeda dengan Aceh, Jakarta, atau daerah yang lain," tandasnya. (dyn)
Sumber
=================================================================================================================
Ga tahu sejarah nih orang