- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mahfud Md.: Kewenangan yang Diberikan kepada DPR Terlalu Luas


TS
ketek..basah
Mahfud Md.: Kewenangan yang Diberikan kepada DPR Terlalu Luas
Quote:
TEMPO.CO, Padang - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md, menilai kewenangan yang diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat terlalu luas. Di antaranya, menyeleksi dan memilih pimpinan lembaga negara.
“Ikut menentukan pimpinan lembaga negara, padahal kolutif," kata Mahfud setelah menjadi pembicara dalam “Konferensi Nasional Hukum Tata Negara” yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas di Padang, Sabtu, 12 September 2015.
Menurut Mahfud, kewenangan yang terlampau luas membuat DPR keluar dari pakem konstitusi. Tugas pokok dan fungsi DPR terbatas melakukan pengawasan, legislasi, dan penganggaran.
Mahfud mengatakan terlalu besarnya kewenangan DPR tak terlepas dari kekeliruan saat melakukan reformasi. Saat itu tujuannya menggeser pendulum politik dari presiden ke DPR agar mampu mengimbangi dominasi pemerintah. Namun ada yang dilupakan.
Mahfud menjelaskan peran yang terlalu besar yang diberikan kepada DPR akan berbahaya. Apalagi jika tidak ada yang mampu mengawalnya. Yang muncul bukan lagi sistem pemerintahan yang demokratis, melainkan oligarki.
"Saat reformasi digulirkan, termasuk dalam bidang konstitusi, ada yang dilupakan dan kurang disadari, yakni potensi pelanggaran yang tidak saja eksekutif, melainkan juga oleh legislatif dan yudikatif," ujar Mahfud.
Peran DPR yang terlampau besar, termasuk pengangkatan pimpinan lembaga negara, mengisyaratkan politik hukum yang kurang mendukung pencapaian tujuan negara. Fungsi hukum untuk mengawal upaya pencapaian tujuan negara terhambat banyaknya intervensi politik.
"Ini mengganggu munculnya pemerintahan yang bersih, berwibawa, akuntabel, dan efektif dalam melaksanakan tugas-tugasnya," ucap Mahfud.
Mahfud mengatakan, dalam politik hukum, ada tiga cara menata kembali lembaga negara. Pertama, reamendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui reamendemen UUD 1945, tugas pokok dan fungsi DPR dikembalikan menjadi hanya melakukan pengawasan, legislasi, dan penganggaran. “DPR tak usah ikut campur masalah teknis pemerintahan," tutur Mahfud.
Namun, diakui Mahfud, tidak mudah melakukan reamendemen UUD 1954. Selain membutuhkan waktu cukup lama, partai politik juga tidak berminat melakukannya karena sudah diuntungkan isi UUD 1945 yang ada saat ini.
Itu sebabnya Mahfud menyarankan cara kedua, yakni mengubah berbagai ketentuan perundang-undangan yang memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada DPR. “Itu tidak rumit karena bisa diselesaikan dalam waktu setahun,” katanya.
Bila kedua cara itu tidak bisa dilakukan, cara ketiga adalah judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
Semua cara itu, kata Mahfud, bertujuan mengembalikan kewenangan presiden menyeleksi dan memilih pemimpin lembaga negara. Presiden hanya memberitahukannya kepada DPR sebagai konfirmasi. Dengan begitu, tidak akan muncul pemimpin lembaga negara yang secara obyektif sulit dipertanggungjawabkan.
“Ikut menentukan pimpinan lembaga negara, padahal kolutif," kata Mahfud setelah menjadi pembicara dalam “Konferensi Nasional Hukum Tata Negara” yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas di Padang, Sabtu, 12 September 2015.
Menurut Mahfud, kewenangan yang terlampau luas membuat DPR keluar dari pakem konstitusi. Tugas pokok dan fungsi DPR terbatas melakukan pengawasan, legislasi, dan penganggaran.
Mahfud mengatakan terlalu besarnya kewenangan DPR tak terlepas dari kekeliruan saat melakukan reformasi. Saat itu tujuannya menggeser pendulum politik dari presiden ke DPR agar mampu mengimbangi dominasi pemerintah. Namun ada yang dilupakan.
Mahfud menjelaskan peran yang terlalu besar yang diberikan kepada DPR akan berbahaya. Apalagi jika tidak ada yang mampu mengawalnya. Yang muncul bukan lagi sistem pemerintahan yang demokratis, melainkan oligarki.
"Saat reformasi digulirkan, termasuk dalam bidang konstitusi, ada yang dilupakan dan kurang disadari, yakni potensi pelanggaran yang tidak saja eksekutif, melainkan juga oleh legislatif dan yudikatif," ujar Mahfud.
Peran DPR yang terlampau besar, termasuk pengangkatan pimpinan lembaga negara, mengisyaratkan politik hukum yang kurang mendukung pencapaian tujuan negara. Fungsi hukum untuk mengawal upaya pencapaian tujuan negara terhambat banyaknya intervensi politik.
"Ini mengganggu munculnya pemerintahan yang bersih, berwibawa, akuntabel, dan efektif dalam melaksanakan tugas-tugasnya," ucap Mahfud.
Mahfud mengatakan, dalam politik hukum, ada tiga cara menata kembali lembaga negara. Pertama, reamendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui reamendemen UUD 1945, tugas pokok dan fungsi DPR dikembalikan menjadi hanya melakukan pengawasan, legislasi, dan penganggaran. “DPR tak usah ikut campur masalah teknis pemerintahan," tutur Mahfud.
Namun, diakui Mahfud, tidak mudah melakukan reamendemen UUD 1954. Selain membutuhkan waktu cukup lama, partai politik juga tidak berminat melakukannya karena sudah diuntungkan isi UUD 1945 yang ada saat ini.
Itu sebabnya Mahfud menyarankan cara kedua, yakni mengubah berbagai ketentuan perundang-undangan yang memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada DPR. “Itu tidak rumit karena bisa diselesaikan dalam waktu setahun,” katanya.
Bila kedua cara itu tidak bisa dilakukan, cara ketiga adalah judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
Semua cara itu, kata Mahfud, bertujuan mengembalikan kewenangan presiden menyeleksi dan memilih pemimpin lembaga negara. Presiden hanya memberitahukannya kepada DPR sebagai konfirmasi. Dengan begitu, tidak akan muncul pemimpin lembaga negara yang secara obyektif sulit dipertanggungjawabkan.
sumur
0
740
Kutip
4
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan