- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[GAGASAN PUAN MANA?} Revolusi Mental Hanya pada Penumpang "Commuterline"


TS
cingeling
[GAGASAN PUAN MANA?} Revolusi Mental Hanya pada Penumpang "Commuterline"
BEFORE

AFTER

Adin (25), seorang karyawan swasta di Jakarta, kerap mengeluh dan uring-uringan sendiri tatkala pergi berangkat kerja pada hari Sabtu. Sebagai seorang komuter yang bekerja pulang pergi Bogor-Jakarta selama enam hari, dia menemui banyak perbedaan ketika naik commuterline pada hari biasa dengan naik kereta pada akhir pekan.
“Kalau Senin sampai Jumat, yang naik commuterline itu mayoritas pekerja dan notabene sudah paham gimana adab naik commuterline yang baik dan benar. Kalo hari Sabtu gini, kebanyakan yang naik commuterline itu rombongan orang-orang yang jarang naik kereta, egoisnya masih pada tinggi banget,” kata Adin yang terlihat tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya.
Adin membandingkan perbedaan tingkah laku penumpang itu ke dalam beberapa studi kasus. Misalnya, ketika menunggu penumpang commuterline datang. Penumpang-penumpang yang notabene pekerja dan juga pengguna jasa commuterline rutin tahu harus menempatkan diri dengan tidak berdiri tepat pintu commuterline. Mereka berdiri tepat di samping kanan dan kiri pintu yang otomatis mempersilakan penumpang yang ada di dalam kereta untuk turun terlebih dulu.
Berbeda dengan penumpang commuterline pada akhir pekan. Begitu Commuterline datang dan berhenti di stasiun, para penumpang akhir pekan itu langsung pasang ancang-ancang dengan berdiri tepat di depan pintu-pintu kereta.
Para penumpang itu seakan tak sadar bahwa bakal ada laju deras penumpang lain yang akan turun dari tiap-tiap kereta. Alhasil, aksi tarik dorong pun tak terelakkan lagi. Tak jarang, aksi kriminalitas semacam pencopetan pun terjadi dalam kerumunan itu.
Lain halnya dengan Laudya (24), seorang karyawati swasta yang juga pengguna rutin commuterline. Laudya tampak begitu kesal dengan orang yang makan dan minum di kereta.
“Bukan karena kita jadi kepingin ikut makan, tapi justru aroma makanannya itu yang mengganggu penumpang-penumpang di sekitarnya," kata dia.
Laudya mengaku pernah tak segan-segan menegur bapak-bapak yang bau makanannya benar-benar mengganggu indra penciumannya.
Masalah-masalah lain terkait adab dan kebiasaan penumpang yang pun masih banyak ragamnya. Permasalahan klasik pengguna commuterline terkait peruntukkan kursi prioritas, misalnya. Adin lagi-lagi membuat perbandingan untuk studi kasus tersebut. Pada hari-hari kerja, kursi prioritas cenderung tidak diduduki orang-orang yang bukan berhaknya selain ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas. Bapak-bapak, anak muda, sampai wanita dewasa yang tidak merasa berhak kebanyakan memilih berdiri dibanding duduk di kursi prioritas itu.
Kebanyakan penumpang pada akhir pekan tidak berlaku demikian. Mereka seakan menunggu teguran dari WALKA (Pengawal/Petugas keamanan di kereta) atau penumpang yang ada di sekitar situ terlebih dulu agar penumpang yang tak berhak itu memberikan kursinya untuk penumpang prioritas. Hal itu menandakan bahwa peraturan tertulis yang terpampang di dinding kereta tidak benar-benar diperhatikan.
Barang bawaan selama menaiki Commuterline juga masih menjadi hal yang kurang diperhatikan oleh para penumpang. Padahal, PT KAI telah menetapkan batas maksimum volume barang yang bisa dibawa, yakni 40 cm x 30 cm x 100 cm.
Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan ketika melakukan liputan ini, tak hanya membawa barang bawaan dalam volume yang cukup besar, penumpang Commuterline juga terkadang tidak memanfaatkan sarana menaruh barang bawaan yang disediakan tepat di atas tempat duduk penumpang. Mereka menaruh barang bawaannya tersebut di lantai kereta. Barang-barang tersebut tak jarang menghalangi laju penumpang yang lalu lalang.
Namun, dilema terjadi di lain sisi. Kebanyakan dari penumpang yang membawa barang-barang besar tersebut adalah para pedagang yang membawa barang dagangannya untuk kemudian dijajakan.
Suratman (35), seorang pedagang pakaian asal Bogor yang biasa membeli barang grosiran di Tanah Abang mengatakan bahwa commuterline adalah sarana transportasi murah meriah untuk ia melakukan aktivitas ekonominya saban pekan.
“Pedagang kecil kayak saya gini enggak punya transportasi sendiri, nah KRL kayak gini menolong banget,” begitu kata Suratman dengan polosnya.
http://megapolitan.kompas.com/read/2...campaign=Kknwp
GAGASAN SEMU UNTUK MENDAPAT POSISI

AFTER

Adin (25), seorang karyawan swasta di Jakarta, kerap mengeluh dan uring-uringan sendiri tatkala pergi berangkat kerja pada hari Sabtu. Sebagai seorang komuter yang bekerja pulang pergi Bogor-Jakarta selama enam hari, dia menemui banyak perbedaan ketika naik commuterline pada hari biasa dengan naik kereta pada akhir pekan.
“Kalau Senin sampai Jumat, yang naik commuterline itu mayoritas pekerja dan notabene sudah paham gimana adab naik commuterline yang baik dan benar. Kalo hari Sabtu gini, kebanyakan yang naik commuterline itu rombongan orang-orang yang jarang naik kereta, egoisnya masih pada tinggi banget,” kata Adin yang terlihat tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya.
Adin membandingkan perbedaan tingkah laku penumpang itu ke dalam beberapa studi kasus. Misalnya, ketika menunggu penumpang commuterline datang. Penumpang-penumpang yang notabene pekerja dan juga pengguna jasa commuterline rutin tahu harus menempatkan diri dengan tidak berdiri tepat pintu commuterline. Mereka berdiri tepat di samping kanan dan kiri pintu yang otomatis mempersilakan penumpang yang ada di dalam kereta untuk turun terlebih dulu.
Berbeda dengan penumpang commuterline pada akhir pekan. Begitu Commuterline datang dan berhenti di stasiun, para penumpang akhir pekan itu langsung pasang ancang-ancang dengan berdiri tepat di depan pintu-pintu kereta.
Para penumpang itu seakan tak sadar bahwa bakal ada laju deras penumpang lain yang akan turun dari tiap-tiap kereta. Alhasil, aksi tarik dorong pun tak terelakkan lagi. Tak jarang, aksi kriminalitas semacam pencopetan pun terjadi dalam kerumunan itu.
Lain halnya dengan Laudya (24), seorang karyawati swasta yang juga pengguna rutin commuterline. Laudya tampak begitu kesal dengan orang yang makan dan minum di kereta.
“Bukan karena kita jadi kepingin ikut makan, tapi justru aroma makanannya itu yang mengganggu penumpang-penumpang di sekitarnya," kata dia.
Laudya mengaku pernah tak segan-segan menegur bapak-bapak yang bau makanannya benar-benar mengganggu indra penciumannya.
Masalah-masalah lain terkait adab dan kebiasaan penumpang yang pun masih banyak ragamnya. Permasalahan klasik pengguna commuterline terkait peruntukkan kursi prioritas, misalnya. Adin lagi-lagi membuat perbandingan untuk studi kasus tersebut. Pada hari-hari kerja, kursi prioritas cenderung tidak diduduki orang-orang yang bukan berhaknya selain ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas. Bapak-bapak, anak muda, sampai wanita dewasa yang tidak merasa berhak kebanyakan memilih berdiri dibanding duduk di kursi prioritas itu.
Kebanyakan penumpang pada akhir pekan tidak berlaku demikian. Mereka seakan menunggu teguran dari WALKA (Pengawal/Petugas keamanan di kereta) atau penumpang yang ada di sekitar situ terlebih dulu agar penumpang yang tak berhak itu memberikan kursinya untuk penumpang prioritas. Hal itu menandakan bahwa peraturan tertulis yang terpampang di dinding kereta tidak benar-benar diperhatikan.
Barang bawaan selama menaiki Commuterline juga masih menjadi hal yang kurang diperhatikan oleh para penumpang. Padahal, PT KAI telah menetapkan batas maksimum volume barang yang bisa dibawa, yakni 40 cm x 30 cm x 100 cm.
Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan ketika melakukan liputan ini, tak hanya membawa barang bawaan dalam volume yang cukup besar, penumpang Commuterline juga terkadang tidak memanfaatkan sarana menaruh barang bawaan yang disediakan tepat di atas tempat duduk penumpang. Mereka menaruh barang bawaannya tersebut di lantai kereta. Barang-barang tersebut tak jarang menghalangi laju penumpang yang lalu lalang.
Namun, dilema terjadi di lain sisi. Kebanyakan dari penumpang yang membawa barang-barang besar tersebut adalah para pedagang yang membawa barang dagangannya untuk kemudian dijajakan.
Suratman (35), seorang pedagang pakaian asal Bogor yang biasa membeli barang grosiran di Tanah Abang mengatakan bahwa commuterline adalah sarana transportasi murah meriah untuk ia melakukan aktivitas ekonominya saban pekan.
“Pedagang kecil kayak saya gini enggak punya transportasi sendiri, nah KRL kayak gini menolong banget,” begitu kata Suratman dengan polosnya.
http://megapolitan.kompas.com/read/2...campaign=Kknwp
GAGASAN SEMU UNTUK MENDAPAT POSISI

Diubah oleh cingeling 09-09-2015 02:42
0
1.8K
17


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan