- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Aceh Masuki Masa Sulit


TS
ketek..basah
Aceh Masuki Masa Sulit
Quote:
BANDA ACEH - Kondisi ekonomi Aceh saat ini mengalami masa-masa sulit. Selain penyerapan APBA dan APBN yang masih rendah, pengeluaran konsumtif rumah tangga masyarakat Aceh pun makin tinggi, seiring dengan kian melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Bulan-bulan ini masyarakat Aceh menghadapi masa-masa yang berat. Potensi ekonomi Aceh yang dominan digerakkan oleh serapan APBA dan APBN realisasinya saat ini justru masih rendah. Ditambah lagi, pengeluaran besar yang terjadi di rumah tangga masyarakat yang tidak sebanding dengan pendapatan mereka,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Hermanto, menjawab Serambi, Jumat (4/9) pagi.
Hermanto dihubungi khusus untuk memberi gambaran tentang kondisi perekonomian masyarakat Aceh saat ini ketika terimbas kian lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sementara realisasi keuangan APBA dan APBN di provinsi ini masih di bawah 40%. Pada tahun anggaran berjalan tersisa hanya tiga bulan lagi.
Menurut Hermanto, Aceh juga masih banyak kehilangan momen strategis. Meski anggaran sudah ketok palu pada awal tahun, tapi realisasinya baru berjalan pada pengujung tahun.
“Ketika anggaran diketok palu pada Januari 2015, lelang seharusnya dilakukan sebelum itu. Namun, fenomena yang kita lihat sekarang lelang baru dilakukan setelah anggaran diketok. Di sinilah Aceh banyak kehilangan momentum,” ujarnya.
Saat ini pun, dari segi pengeluaran rumah tangga, kata Hermanto, masyarakat Aceh juga mempunyai beban yang sangat berat. Lihat saja saat ini biaya pendidikan saban tahun ajaran baru, naik. Kemudian ditambah lagi oleh biaya pesta atau resepsi yang membengkak akibat harga barang semua pada mahal, juga pengeluaran untuk ibadah haji.
Calon jamaah malah harus merogoh kocek lebih dalam lagi karena bepergian ke luar negeri di tengah kondisi naiknya harga dolar AS.
Agustus lalu, papar Hermanto, subkelompok pendidikan mengalami inflasi 6,32%. Kelompok ini pada Agustus 2015 memberikan sumbangan inflasi 0,1861% dengan biaya akademi atau perguruan tinggi memberi andil 0,1525% dan sekolah dasar sebesar 0,0412%.
Belum lagi, tumpuan masyarakat Aceh di sektor pertanian saat ini juga mengalami keterpurukan. Terutama produk-produk komoditas primer seperti kelapa sawit, kakao, dan kopi dari Aceh yang tidak tertampung di pasar dunia, karena pembatasan impor dari negara-negara tujuan ekspor Aceh. Hal ini mengakibatkan harga komoditas-komoditas unggulan Aceh ‘terjun bebas’.
“Negara-negara tujuan ekspor Aceh saat ini mengalami gejolak ekonomi global. Dampak dari kondisi perekonomian saat ini mengakibatkan mereka membatasi barang impornya. Padahal, sebagian besar negara-negara itu mengimpor komoditas unggulan Aceh untuk kebutuhan primer mereka,” ujar Hermanto.
Namun, tambah Hermanto, beruntungnya Aceh karena nilai ekspor Aceh yang minim tak berapa terpengaruh oleh gejolak ekonomi global.
Untuk menyikapi masa-masa sulit ini, kata Hermanto, potensi APBA dan APBN yang merupakan aset penggerak ekonomi Aceh seharusnya dipercepat pemerintah realisasinya, terutama diprioritaskan pada pembangunan insfrastruktur yang padat karya.
Perputaran lesu
Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Aceh, Zulfan Nukman mengatakan, ekonomi Aceh (dengan migas) pada triwulan II tahun 2015 dibandingkan pada periode sama pada tahun lalu mengalami kontraksi -1,72%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tanpa migas Aceh mengalami pertumbuhan 4,34%, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya maupun periode yang sama pada tahun sebelumnya yang masing-masing tumbuh sebesar 4,17% dan 4,25%.
Efek domino dari lesunya perekonomian Aceh saat ini bisa dilihat dari pedagang yang tak mampu mengembalikan pinjaman modal dari lembaga keuangan bank maupun nonbank. Namun, kata Zulfan, apa yang dialami Aceh saat ini juga dialami daerah-daerah lain sebagai dampak dari pelemahan ekonomi dunia. Tapi, karena Aceh penggerak perekonomiannya yang terbesar adalah dari potensi APBA dan APBN, sehingga dampak dari gejolak ekonomi dunia sangat sedikit.
Dengan kondisi seperti sekarang ini yang hanya mengandalkan APBA dan APBN sebagai penggerak ekonomi Aceh, menurut Zulfan, pemerintah seharusnya mendorong daya beli masyarakat Aceh dengan penyerapan APBA dengan optimal. “Sehingga dengan adanya proyek-proyek yang dananya bersumber dari APBA akan meningkatkan penghasilan masyarakat Aceh,” ujarnya.
Zulfan juga mengatakan, sebesar Rp 1,78 triliun uang Aceh masih mengalir ke luar, sehingga perputaran uang di Aceh pada tahun ini juga cenderung sedikit. “Hal ini terjadi karena seiring dengan neraca perdagangan antardaerah di Aceh yang masih menunjukan net impor, sehingga uang dari Aceh cenderung mengalir ke luar daerah,” tandasnya. (avi)
“Bulan-bulan ini masyarakat Aceh menghadapi masa-masa yang berat. Potensi ekonomi Aceh yang dominan digerakkan oleh serapan APBA dan APBN realisasinya saat ini justru masih rendah. Ditambah lagi, pengeluaran besar yang terjadi di rumah tangga masyarakat yang tidak sebanding dengan pendapatan mereka,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Hermanto, menjawab Serambi, Jumat (4/9) pagi.
Hermanto dihubungi khusus untuk memberi gambaran tentang kondisi perekonomian masyarakat Aceh saat ini ketika terimbas kian lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sementara realisasi keuangan APBA dan APBN di provinsi ini masih di bawah 40%. Pada tahun anggaran berjalan tersisa hanya tiga bulan lagi.
Menurut Hermanto, Aceh juga masih banyak kehilangan momen strategis. Meski anggaran sudah ketok palu pada awal tahun, tapi realisasinya baru berjalan pada pengujung tahun.
“Ketika anggaran diketok palu pada Januari 2015, lelang seharusnya dilakukan sebelum itu. Namun, fenomena yang kita lihat sekarang lelang baru dilakukan setelah anggaran diketok. Di sinilah Aceh banyak kehilangan momentum,” ujarnya.
Saat ini pun, dari segi pengeluaran rumah tangga, kata Hermanto, masyarakat Aceh juga mempunyai beban yang sangat berat. Lihat saja saat ini biaya pendidikan saban tahun ajaran baru, naik. Kemudian ditambah lagi oleh biaya pesta atau resepsi yang membengkak akibat harga barang semua pada mahal, juga pengeluaran untuk ibadah haji.
Calon jamaah malah harus merogoh kocek lebih dalam lagi karena bepergian ke luar negeri di tengah kondisi naiknya harga dolar AS.
Agustus lalu, papar Hermanto, subkelompok pendidikan mengalami inflasi 6,32%. Kelompok ini pada Agustus 2015 memberikan sumbangan inflasi 0,1861% dengan biaya akademi atau perguruan tinggi memberi andil 0,1525% dan sekolah dasar sebesar 0,0412%.
Belum lagi, tumpuan masyarakat Aceh di sektor pertanian saat ini juga mengalami keterpurukan. Terutama produk-produk komoditas primer seperti kelapa sawit, kakao, dan kopi dari Aceh yang tidak tertampung di pasar dunia, karena pembatasan impor dari negara-negara tujuan ekspor Aceh. Hal ini mengakibatkan harga komoditas-komoditas unggulan Aceh ‘terjun bebas’.
“Negara-negara tujuan ekspor Aceh saat ini mengalami gejolak ekonomi global. Dampak dari kondisi perekonomian saat ini mengakibatkan mereka membatasi barang impornya. Padahal, sebagian besar negara-negara itu mengimpor komoditas unggulan Aceh untuk kebutuhan primer mereka,” ujar Hermanto.
Namun, tambah Hermanto, beruntungnya Aceh karena nilai ekspor Aceh yang minim tak berapa terpengaruh oleh gejolak ekonomi global.
Untuk menyikapi masa-masa sulit ini, kata Hermanto, potensi APBA dan APBN yang merupakan aset penggerak ekonomi Aceh seharusnya dipercepat pemerintah realisasinya, terutama diprioritaskan pada pembangunan insfrastruktur yang padat karya.
Perputaran lesu
Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Aceh, Zulfan Nukman mengatakan, ekonomi Aceh (dengan migas) pada triwulan II tahun 2015 dibandingkan pada periode sama pada tahun lalu mengalami kontraksi -1,72%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tanpa migas Aceh mengalami pertumbuhan 4,34%, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya maupun periode yang sama pada tahun sebelumnya yang masing-masing tumbuh sebesar 4,17% dan 4,25%.
Efek domino dari lesunya perekonomian Aceh saat ini bisa dilihat dari pedagang yang tak mampu mengembalikan pinjaman modal dari lembaga keuangan bank maupun nonbank. Namun, kata Zulfan, apa yang dialami Aceh saat ini juga dialami daerah-daerah lain sebagai dampak dari pelemahan ekonomi dunia. Tapi, karena Aceh penggerak perekonomiannya yang terbesar adalah dari potensi APBA dan APBN, sehingga dampak dari gejolak ekonomi dunia sangat sedikit.
Dengan kondisi seperti sekarang ini yang hanya mengandalkan APBA dan APBN sebagai penggerak ekonomi Aceh, menurut Zulfan, pemerintah seharusnya mendorong daya beli masyarakat Aceh dengan penyerapan APBA dengan optimal. “Sehingga dengan adanya proyek-proyek yang dananya bersumber dari APBA akan meningkatkan penghasilan masyarakat Aceh,” ujarnya.
Zulfan juga mengatakan, sebesar Rp 1,78 triliun uang Aceh masih mengalir ke luar, sehingga perputaran uang di Aceh pada tahun ini juga cenderung sedikit. “Hal ini terjadi karena seiring dengan neraca perdagangan antardaerah di Aceh yang masih menunjukan net impor, sehingga uang dari Aceh cenderung mengalir ke luar daerah,” tandasnya. (avi)
sumur
0
1.5K
Kutip
7
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan