Beberapa bulan lalu, Google+ dipecah menjadi dua layanan bernama Photos dan Streams. Langkah itu bisa diartikan sebagai keputusan Google untuk “melempar handuk” lantaran jejaring sosialnya tersebut kalah bersaing melawan para raksasa semacam Facebook, Twitter, dan LinkedIn.
Ada apa di balik kegagalan Google+? Menurut keterangan sumber-sumber internal Google yang dapat dibaca pada di kompas tekno, Kamis (30/4/2015), hal ini diakibatkan oleh beberapa sebab.
Spoiler for ke-1:
Salah satu sebab yang disebutkan adalah Google+ lebih dirancang untuk mengurangi beban Google ketimbang memudahkan penggunanya untuk saling terhubung. Dengan Google+, Google tak perlu mengelola banyak profil pengguna untuk berbagai layanan dan produk yang disediakan karena seorang pengguna cukup melakukan login ke Google+ untuk bisa mengakses aneka layanan perusahaan tersebut. Namun sayangnya, pengalaman social networking yang disajikan tidak sesederhana jejaring sosial lain.
Spoiler for ke-2:
Para pengguna Google+ harus berpikir siapa saja yang mesti ditambahkan ke masing-masing circle. Cara ini lebih rumit ketimbang hanya menambah seseorang sebagai teman seperti pada Facebook atau menambah orang lain dalam jaringan seperti pada LinkedIn.
Spoiler for ke-3:
Alasan lain berkaitan dengan transformasi pola penggunaan ke arah gadget mobile yang tak diantisipasi dengan cepat dan tepat oleh Google.
Spoiler for ke-4:
Facebook juga terlambat masuk ke mobile, tetapi jejaring sosial itu belakangan mampu mengatasi ketertinggalan, lalu kemudian malah menjadikan pengguna mobile sebagai sumber pemasukan utama. Sebaliknya, Google+ terlalu berfokus pada foto resolusi tinggi yang bagus buat pengguna desktop, tetapi lamban dibuka di perangkat mobile.
Spoiler for ke-5:
Sumber internal Google juga menambahkan faktor lain, termasuk mundurnya pimpinan Google+, Vic Gundotra, tahun lalu yang menyebabkan kekosongan di pucuk kepemimpinan.
Terima kasih buat agan2 yang sudah berkunjung. sumber