- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSAN


TS
jaunwoles
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSAN
Buat Silvana Maccari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Anda abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
Melalui puisinya ini, aku melihat bahwa Sitor Situmorang telah memperlihatkan
bahwa pantun sebagai genre klasik sastra Nusantara belumlah kadaluwarsa.
Masalahnya apakah kita bisa atau tidak menggunakan potensinya untuk
pengungkapan kekinian.
Beberapa contoh di atas, aku sajikan untuk kemudian melihat puisi Kathirina di
bawah ini, terutama dari segi puitisitas:
BERAPA BANYAK LAGI.
Aku benci peperangan!
Aku sudah tidak tahan melihat darah bertumpahan
Tubuh jatuh bergelimpangan angkara peluru kejam
Aku sudah puas melihat kemusnahan
Aku benci kekejaman ini!
Aku sudah tidak tega lagi
Melihat anak- anak muda keperbatasan
Kekasih-kekasih hatiku ini
Harus di hantar ke barisan hadapan
Bertarung hidup bergadai nyawa
Antara pulang sebagai pahlawan tanpa nyawa
Atau pulang bersama duka dan penderitaan.
Aku benci peperangan ini!
Berapa banyak lagi harus terkorban
Berapa banyak lagi airmata harus mengalir
Berapa banyak lagi jiwa jiwa harus terus menderita
Kosovo! Afghanistan! Iraq!
Pasti peperangan akan terus berkembang
Apakah demokrasi harus diperolehi dari peperangan!
Aku benci peperangan!
Aku simpati pada mereka yang mengiringi perpisahan
Melihat kekasih hati mereka berangkat ke perbatasan
Kekasih hati yang bersumpah untuk berbakti
Biar berputih tulang
Jangan pulang berputih mata
Harus berjuang hingga ke akhir nyawa
Demi negaranya yang dikasihi.
Namun kekasih-kekasih hati ini
Bukan mati memperjuangkan hak negara sendiri
Tetapi harus gugur di tanah orang
Mempertahankan sesuatu yang tidak pasti
Satu visi yang samar!
Berapa banyak lagi yang harus gugur
Seperti mereka- mereka ini?
Kekasih- kekasih hati
Yang perlu melihat sinar mentari terus bercahaya
Memberi keceriaan dalam bahagia mereka
Berapa banyak yang harus pergi lagi
Bergadai nyawa
Antara pulang sebagai pahlawan yang terkorban
Atau pulang bersama duka berjuta penderitaan.
Aku benci peperangan!
Aku benci pada ketamakan kuasa!
Aku benci pada mereka yang membuatkan kekasih- kekasih hatiku terkorban!
Aku benci pada mereka yang membuat ibu bapa kehilangan anak
Anak kehilangan ibu bapa!
Isteri kehilangan suami!
Atau mungkin suami kehilangan isteri
Yang harus tumpas di tanahair orang!
Aku benci pada keegoan kuasa besar!
Yang tidak memperdulikan hak- hak kekasih- kekasih hatiku!
Kathirina Susanna
Kota Kinibalu, November 2005
Sumber: <watan_sabah@xxxxxxxxxxxxxxx>; <mata-bambu@xxxxxxxxxxxxxxx>; "kemsas"
<kemsas@xxxxxxxxxxxxxxx>, 25 novembre 2005 .
Dibandingkan dengan contoh-contoh di atas, dilihat dari segi puitisitas dengan
unsur-unsurnya yang kusebutkan di atas, barangkali Kathirina masih jauh
tertinggal. Aku tidak tahu, apakah Kathirina dalam puisi-puisinya sudah cermat
mempertimbangkan soal-soal seperti irama, persamaan bunyi, perbandingan,
pilihan dan jumlah kata serta plastisitas ungkapan. Barangkali memang ya. Tapi
seberapa jauh? Seberapa sadar? Seberapa berhitung?
Membaca puisi Kathirina di atas yang jelas nampak adalah ide perdamaian dan
anti perang pada penyair. Hal lain yang juga menonjol adalah keberanian
Kathirina menggunakan kata-kata baru seperti ,"visi", "demokrasi" atau
"keegoan". Penggunaan kata-kata asing begini kupahami sebagai keberanian
penyair untuk keluar dari patokan-patokan seperti yang yang diberikan oleh
"licensia poetica" kepada penyair yang jika dikembangkan bisa memberikan
peluang kepada penyair dalam turut mengembangkan bahasa. Hanya saja, berangkat
dari ide saja, kukira tidak memadai untuk menjadikan suatu tulisan sebagai
puisi. Barangkali ketika menulisnya Kathirina sudah tidak bisa menahan
emosinya lagi sehingga kebenciannya pada perang dimuntahkannya begitu saja
tanpa tersaring dan kurang sempat mempertimbangkan unsur-unsur puitisitas yang
kiranya ditagih oleh puisi sebagai puisi sehingga tidak jatuh ke gaya prosaik
atau slogan. Bisa terjadi seorang penyair menulis sebuah puisi hanya empat lima
baris, tapi
perengungan dan pengendapannya berlangsung tahunan karena ia tidak mau
menulis sembarang tulis ide yang mengusik benaknya. Ia biarkan ide itu menyatu
dengan hatinya dahulu, sehingga ia sampai pada ketika tanpa duga, mampu
menuangkannya secara spontan. Masalah puisi selain soal pikiran juga dan sangat
memerlukan hati. Kesempatan beginilah yang kusebut sebagai proses kesempatan
lahirnya puisi.
Barangkali puisi Taufiq Ismail di bawah ini bisa dijadikan acuan dalam menulis
soal politik menggunakan sarana puisi, sekaligus menjelaskan lebih lanjut
apa-bagaimana yang kumaksudkan :
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
"Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi."
1966
Puisi ini ditulis oleh Taufiq melukiskan keadaan Indonesia pada tahun 1966,
yang tentu saja sesuai dengan pemahaman dan tafsirannya. Ia kuangkat bukan
untuk memperdebatkan soal isi dan tafsiran Taufiq mengenai Tragedi Nasional
September '65 tapi dari segi cara mengangkat masalah politik dalam puisi.
Untuk mengakhiri tulisan ini, aku merasa tertarik pada pertanyaan Ena Nakiah,
seorang pengajar di sebuah universitas Jawa Timur, yang setelah membaca serie
tulisan ini Serie 12, mengajukan pertanyaan cerdik:
"Saya tertarik dengan tulisan puisi untuk "pengungkapan diri" Babe Kusni. Saya
juga mempelajari tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis. Banyak yang
tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus di
bungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di
tanah air Indonesia. Pertanyaan saya untuk Babe, Bagaimana memulai agar rakyat
bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?"
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Anda abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
Melalui puisinya ini, aku melihat bahwa Sitor Situmorang telah memperlihatkan
bahwa pantun sebagai genre klasik sastra Nusantara belumlah kadaluwarsa.
Masalahnya apakah kita bisa atau tidak menggunakan potensinya untuk
pengungkapan kekinian.
Beberapa contoh di atas, aku sajikan untuk kemudian melihat puisi Kathirina di
bawah ini, terutama dari segi puitisitas:
BERAPA BANYAK LAGI.
Aku benci peperangan!
Aku sudah tidak tahan melihat darah bertumpahan
Tubuh jatuh bergelimpangan angkara peluru kejam
Aku sudah puas melihat kemusnahan
Aku benci kekejaman ini!
Aku sudah tidak tega lagi
Melihat anak- anak muda keperbatasan
Kekasih-kekasih hatiku ini
Harus di hantar ke barisan hadapan
Bertarung hidup bergadai nyawa
Antara pulang sebagai pahlawan tanpa nyawa
Atau pulang bersama duka dan penderitaan.
Aku benci peperangan ini!
Berapa banyak lagi harus terkorban
Berapa banyak lagi airmata harus mengalir
Berapa banyak lagi jiwa jiwa harus terus menderita
Kosovo! Afghanistan! Iraq!
Pasti peperangan akan terus berkembang
Apakah demokrasi harus diperolehi dari peperangan!
Aku benci peperangan!
Aku simpati pada mereka yang mengiringi perpisahan
Melihat kekasih hati mereka berangkat ke perbatasan
Kekasih hati yang bersumpah untuk berbakti
Biar berputih tulang
Jangan pulang berputih mata
Harus berjuang hingga ke akhir nyawa
Demi negaranya yang dikasihi.
Namun kekasih-kekasih hati ini
Bukan mati memperjuangkan hak negara sendiri
Tetapi harus gugur di tanah orang
Mempertahankan sesuatu yang tidak pasti
Satu visi yang samar!
Berapa banyak lagi yang harus gugur
Seperti mereka- mereka ini?
Kekasih- kekasih hati
Yang perlu melihat sinar mentari terus bercahaya
Memberi keceriaan dalam bahagia mereka
Berapa banyak yang harus pergi lagi
Bergadai nyawa
Antara pulang sebagai pahlawan yang terkorban
Atau pulang bersama duka berjuta penderitaan.
Aku benci peperangan!
Aku benci pada ketamakan kuasa!
Aku benci pada mereka yang membuatkan kekasih- kekasih hatiku terkorban!
Aku benci pada mereka yang membuat ibu bapa kehilangan anak
Anak kehilangan ibu bapa!
Isteri kehilangan suami!
Atau mungkin suami kehilangan isteri
Yang harus tumpas di tanahair orang!
Aku benci pada keegoan kuasa besar!
Yang tidak memperdulikan hak- hak kekasih- kekasih hatiku!
Kathirina Susanna
Kota Kinibalu, November 2005
Sumber: <watan_sabah@xxxxxxxxxxxxxxx>; <mata-bambu@xxxxxxxxxxxxxxx>; "kemsas"
<kemsas@xxxxxxxxxxxxxxx>, 25 novembre 2005 .
Dibandingkan dengan contoh-contoh di atas, dilihat dari segi puitisitas dengan
unsur-unsurnya yang kusebutkan di atas, barangkali Kathirina masih jauh
tertinggal. Aku tidak tahu, apakah Kathirina dalam puisi-puisinya sudah cermat
mempertimbangkan soal-soal seperti irama, persamaan bunyi, perbandingan,
pilihan dan jumlah kata serta plastisitas ungkapan. Barangkali memang ya. Tapi
seberapa jauh? Seberapa sadar? Seberapa berhitung?
Membaca puisi Kathirina di atas yang jelas nampak adalah ide perdamaian dan
anti perang pada penyair. Hal lain yang juga menonjol adalah keberanian
Kathirina menggunakan kata-kata baru seperti ,"visi", "demokrasi" atau
"keegoan". Penggunaan kata-kata asing begini kupahami sebagai keberanian
penyair untuk keluar dari patokan-patokan seperti yang yang diberikan oleh
"licensia poetica" kepada penyair yang jika dikembangkan bisa memberikan
peluang kepada penyair dalam turut mengembangkan bahasa. Hanya saja, berangkat
dari ide saja, kukira tidak memadai untuk menjadikan suatu tulisan sebagai
puisi. Barangkali ketika menulisnya Kathirina sudah tidak bisa menahan
emosinya lagi sehingga kebenciannya pada perang dimuntahkannya begitu saja
tanpa tersaring dan kurang sempat mempertimbangkan unsur-unsur puitisitas yang
kiranya ditagih oleh puisi sebagai puisi sehingga tidak jatuh ke gaya prosaik
atau slogan. Bisa terjadi seorang penyair menulis sebuah puisi hanya empat lima
baris, tapi
perengungan dan pengendapannya berlangsung tahunan karena ia tidak mau
menulis sembarang tulis ide yang mengusik benaknya. Ia biarkan ide itu menyatu
dengan hatinya dahulu, sehingga ia sampai pada ketika tanpa duga, mampu
menuangkannya secara spontan. Masalah puisi selain soal pikiran juga dan sangat
memerlukan hati. Kesempatan beginilah yang kusebut sebagai proses kesempatan
lahirnya puisi.
Barangkali puisi Taufiq Ismail di bawah ini bisa dijadikan acuan dalam menulis
soal politik menggunakan sarana puisi, sekaligus menjelaskan lebih lanjut
apa-bagaimana yang kumaksudkan :
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
"Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi."
1966
Puisi ini ditulis oleh Taufiq melukiskan keadaan Indonesia pada tahun 1966,
yang tentu saja sesuai dengan pemahaman dan tafsirannya. Ia kuangkat bukan
untuk memperdebatkan soal isi dan tafsiran Taufiq mengenai Tragedi Nasional
September '65 tapi dari segi cara mengangkat masalah politik dalam puisi.
Untuk mengakhiri tulisan ini, aku merasa tertarik pada pertanyaan Ena Nakiah,
seorang pengajar di sebuah universitas Jawa Timur, yang setelah membaca serie
tulisan ini Serie 12, mengajukan pertanyaan cerdik:
"Saya tertarik dengan tulisan puisi untuk "pengungkapan diri" Babe Kusni. Saya
juga mempelajari tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis. Banyak yang
tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus di
bungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di
tanah air Indonesia. Pertanyaan saya untuk Babe, Bagaimana memulai agar rakyat
bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?"
0
1.3K
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan