TEMPO.CO, Jakarta - Pada 21 tahun lalu, tepatnya 21 Juni 1994, pemerintah Orde Baru membredel Majalah Tempo gara-gara sepekan sebelumnya, media ini menerbitkan berita soal dugaan korupsi dalam pembelian 39 kapal perang eks-Jerman Timur. Tak suka dengan berita itu, Presiden Soeharto melalui anak buahnya, Menteri Penerangan Harmoko menerbitkan keputusan pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Tempo, dan dua media lainnya, Editor dan Detik.
Direktur Utama PT Tempo Inti Media saat ini, Bambang Harymurti masih ingat kejadian ini. Waktu itu, pria yang akrab disapa BHM ini menjadi Kepala Biro Tempo di Washington. "Pembredelan ini memicu penghentian hak kerja massal seluruh karyawan Tempo, Editor, dan Detik," ujarnya, Ahad, 21 Juni 2015.
Pada waktu itu, karyawan Tempo saja jumlahnya lebih dari 500 orang, belum dua media lainnya. "Jadi banyak orang yang langsung hilang pekerjaan gara-gara pembredelan ini."
Pemerintah Orde Baru, kata BHM, tak mau disalahkan menjadi penyebab PHK massal ini. "Makanya waktu itu ada upaya-upaya untuk membeli kami." Lima hari setelah pembredelan, Direksi Grafiti Pers (perusahaan penerbit Tempo) saat itu, Eric Samola, Harjoko Trisnadi, dan Mahtum Mastoem diundang bertemu Hashim Djojohadikusumo, adik Kolonel Prabowo Subiato yang merupakan menantu Presiden Soeharto. "Waktu itu Prabowo melalui Hashim menyatakan Tempo bisa terbit lagi, asalkan kepemilikannya dikuasai keluarga Soeharto."
Syarat-syarat yang ditawarkan Prabowo, kata BHM, antara lain Keluarga Cendana punya hak menentukan siapa saja orang-orang yang ada di redaksi. Kedua, jika Tempo akan menjual saham, opsi pertama pembeliannya ada pada anak-anak Soeharto. "Penawaran itu jelas ditolak, karena itu artinya mereka ingin mengontrol Tempo." Karena upaya ini gagal, akhirnya pemerintah Orde Baru menggunakan cara lain; membuat media baru untuk menampung para eks-Tempo.
"Harmoko kemudian mengumumkan, dia akan menerbitkan SIUPP buat media baru yang akan jadi tempat penampungan karyawan bekas Tempo, Detik, dan Editor." Media baru inilah yang kemudian lahir dengan nama Gatra. "Pemodalnya Bob Hasan, atas restu Presiden Soeharto."
Bob Hasan yang merupakan pengusaha kayu ini, kata BHM, menjanjikan para eks-Tempo mendapat gaji yang lebih besar daripada Tempo. "Gara-gara iming gaji itu, sebagian karyawan memilih bergabung dengan Gatra."
http://m.tempo.co/read/news/2015/06/...merintah-panik
___________________________
Quote:
21 Tahun Pembredelan Tempo: Pemberangusan Kebebasan Pers
TEMPO.CO, Jakarta - 21 Juni 1994 menjadi hari yang kelam buat seluruh awak Tempo, insan media, dan rakyat Indonesia. Hari itu, Kementerian Penerangan yang dipimpin Harmoko mengeluarkan surat keputusan pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Tempo. Dengan dicabutnya SIUPP, maka Tempo secara otomatis harus lenyap dari muka bumi (dibredel). Bukan cuma Tempo, dua media lainnya yakni Detik dan Editor juga mengalami nasib serupa.
Pembredelan ini disebabkan Tempo menerbitkan berita soal dugaan korupsi dalam pembelian 39 unit kapal perang eks-Jerman Timur yang diprakarsai Menteri Riset dan Teknologi pada waktu itu, B.J Habibie. Seperti ditulis Profesor George Washington University Janet Steele, dalam bukunya "Wars Within," kepanikan dan keriuhan langsung terjadi di Gedung Tempo yang saat itu beralamat di HR Rasuna Said, di samping kantor Kedutaan Australia.
Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad yang sedang berada di Bandara Soekarno-Hatta untuk terbang menuju Jawa Tengah langsung membatalkan perjalanannya dan kembali ke Gedung Tempo. Sementara itu, Pelaksana Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, Fikri Jufri menggelar konferensi pers dadakan. Di depan para reporter televise, Fikri berkata, "pembredelan ini adalah pelanggaran atas kebebasan pers." Ucapan dia disambut sorakan para karyawan.
Buat sebagian orang, seperti pendiri Sinar Harapan, Aristides Katopo, dan mantan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, Atmakusumah, pembredelan ini menyedihkan. Musababnya, "Indonesia kembali kehilangan salah satu sumber informasi independennya," tulis Janet di bukunya. Sinar Harapan sendiri dibredel pada 1986. Sedangkan Harian Indonesia Raya ditutup paksa oleh pemerintah pada 1974. Bahkan Atmakusumah sempat dilarang bekerja lain di media.
Namun di sisi lain, pencabutan SIUPP Tempo membangkitkan amarah para wartawan muda di masa itu. Keesokan harinya, gelombang protes bermunculan. Di Yogyakarta, mahasiswa melakukan aksi membungkus kantor biro Tempo di sana dengan kertas putih. Kepala biro Tempo di Yogyakarta Rustam F. Mandayun mengenang, gara-gara aksi para mahasiswa itu seluruh jendela di kantor tertutup rapat. "Hawa di dalam kantor menjadi sangat panas."
Sementara di Jakarta, ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march ke Kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Mereka mendesak Harmoko membatalkan pencabutan SIUPP Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya, karena pemerintah enggan menuruti permintaan pendemo. Pada 27 Juni 1994, terjadi kerusuhan saat polisi membubarkan paksa demonstran. Puluhan orang terluka dalam insiden tersebut.
Namun pemerintah tetap bergeming. Tindakan represif semakin gencar dilakukan. Bahkan para wartawan yang ikut memprotes pembredelan ini juga diancam tak diakui oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Waktu itu, wartawan di Indonesia memang wajib bergabung dalam satu-satunya organisasi profesi jurnalistik tersebut. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya organisasi profesi jurnalistik lainnya, Aliansi Jurnalis Independen.
http://m.tempo.co/read/news/2015/06/...kebebasan-pers
___________________________
Quote:
21 Tahun Pembredelan Tempo: Semua Aset Dijual, Kecuali...
TEMPO.CO, Jakarta - Gara-gara Menteri Penerangan di masa Orde Baru, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tiga media, Tempo, Detik, dan Editor, ribuan karyawan terpaksa kehilangan pekerjaan. Berbagai upaya, --seperti mencoba "membeli" Tempo, sampai membuat media baru bernama Gatra, dilakukan pemerintah supaya tak disalahkan menjadi penyebab PHK massal ini.
Direktur Utama PT Tempo Inti Media saat ini, Bambang Harymurti, mengenang masa-masa krisis paska pembredelan itu. "Kami tak mau Tempo dibeli pemerintah lewat Keluarga Cendana (keluarga Presiden Soeharto)," ujarnya, Ahad, 21 Juni 2015. "Kami memilih mati saja."
Tapi toh pilihan ini juga dilematis. Karena dengan keputusan itu, kata pria yang akrab dipanggil BHM ini, Tempo harus membayar gaji dan pesangon seluruh karyawan. Di buku Wars Within yang ditulis Profesor Komunikasi George Washington University, Janet Steele, disebutkan bahwa jumlah uang yang harus dikeluarkan Grafiti Pers --perusahaan penerbit Tempo, untuk 350 karyawan yang diputus hak kerjanya mencapai US$ 9000.
"Karena perusahaan bukan cuma membayar pesangon, tapi juga gaji untuk beberapa bulan dan bonus pada tahun tersebut." Meskipun pada masa itu Tempo sedang mengalami masa jaya dan punya banyak aset, seperti gedung megah di HR Rasuna Said (Kuningan), tapi keuangan perusahaan tak mampu membayar uang PHK itu. "Akhirnya satu per satu aset dijual, termasuk gedung di Kuningan, beberapa tanah, bahkan Grafiti Pers juga sempat mau dijual."
Tapi, BHM menambahkan, ada dua aset Tempo yang tak dijual dan dipertahankan. Yang pertama adalah Wisma Tempo Sirnagalih, di Megamendung, Puncak-Bogor, Jawa Barat, serta gedung ruko di Kebayoran Lama (Velbak). Wisma Tempo inilah yang kemudian menjadi saksi sejarah lahirnya organisasi profesi jurnalistik baru di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Kelahiran AJI juga salah satunya dipicu oleh pembredelan ketiga media pada 21 Juni 1994 silam itu.
Sementara itu, gedung ruko di Kebayoran Lama pada masa itu digunakan oleh Majalah Forum, yang juga diterbitkan Grafiti Pers. Kantor Velbak inilah yang pada tahun 2000-an digunakan oleh redaksi Koran Tempo. Redaksi Majalah Tempo yang akhirnya terbit kembali pada 1998 baru berkantor di Velbak pada pertengahan 2011-an. Sejak terbit kembali sampai akhirnya menyatu dengan redaksi Koran Tempo, redaksi majalah berkantor di Jalan Proklamasi 72.
Aset Tempo yang menemani perjalanan jatuh-bangun media inipun akhirnya harus dijual. Gedung kantor di Velbak harus ditinggalkan pada April 2015 lalu. Kini, di tahun ke-21 paska pembredelan Majalah Tempo, seluruh awak redaksi dan perusahaan akhirnya bisa menyatu di kantor baru, di Palmerah 8.
http://m.tempo.co/read/news/2015/06/...dijual-kecuali
JAS MERAH