- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Surat dari Nepal (15): Pasien Membludak, Mabuk Darat pun Lenyap


TS
act.id
Surat dari Nepal (15): Pasien Membludak, Mabuk Darat pun Lenyap

KATHMANDU – Perjalanan menuju Distrik Sindhuli, satu distrik yang berada 50 kilometer arah tenggara Kathmandu, terasa jauh berbeda dengan perjalanan kami sebelumnya. Dari Kathmandu kami melewati Bhaktapur kemudian masuk ke Dhulikel Bazaar, semacam kota kecamatan di Indonesia. Di Nepal, setiap setiap satu kota kecil yang menjadi perlintasan menuju ke beberapa desa di sekitarnya kerap disebut sebagai “Bazaar”. Karena di situ banyak terdapat toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan dan pedagang kaki lima, maka disebut bazaar (pasar).
Selepas Dhulikel semula kami kira kondisi jalan akan sama dengan jalur ketika kami menuju Bhumlu dan Chhaps di Sindhupalchok. Ekstrim menanjak, berdebu dan full off-road. Ternyata tidak, Dhulikel ke Sindhuli menggunakan jalur highway, kata Naseer Hasan relawan dari Nepali Tibetan Youth Moslems (NTYM), ini jalan raya yang baru saja jadi. Terbukti memang, aspal jalan yang menuju ke perbatasan Cina ini lebih mulus dibanding highway dari Kathmandu menuju kawasan barat Nepal.
Pemandangannya pun lebih hijau, mobil kami meliuk-liuk di jalan yang menempel di lereng dan menembus perbukitan diikuti aliran Sungai Sinkhosi . Hampir tidak ada jalur lurus lebih dari seratus meter di sini. Ketika menanjak dan memasuki lembah diantara dua bukit besar, jalurnya persis ular menjalar. Sebentar meliuk ke kiri, kemudian meliuk ke kanan.
Meski bukan jalur offroad dan aspal jalannya relatif halus, dua anggota tim medis ACTion Team for Nepal tampak kurang menikmati perjalanan. Berkebalikan dengan suasana saat kami pergi ke Dusun Bhumlu dan Chhaps. Paramedis Krisdiyanto dan dr. Faris El-Haq banyak terdiam. Faris lebih sering meletakkan kepalanya di kedua paha, sementara Kris menyandarkan kepalanya di sisi jendela. “Ini aneh, jalurnya nggak ekstrim tapi badan malah nggak enak begini,” tutur Kris.
Usai bergoyang meliuk hampir dua jam, kami berhenti di satu lokasi di pinggir jalan, semacam rest-area. Ada satu dua toko dan pohon beringin besar di situ. Teman-teman dari NTYM memberitahu bahwa tempat ini menjadi lokasi layanan kesehatan pertama tim. “Kita buka lapak di sini ya. Tempat ini masuk kedalam wilayah Desa Jhaghajuli, penduduknya banyak tinggal di atas perbukitan sana dan di lembah sebelah situ. Jadi kita lakukan semua di sini,” ujar Hamid menunjuk perbukitan di sisi kanan jalan dan lembah di sisi kiri. Hamid (45) adalah sesepuh NTYM yang selalu menjadi kontak kami untuk berkoordinasi setiap kali melakukan aksi bersama. Seperti aksi sebelumnya, NTYM hari itu (Sabtu, 9/5) akan membagikan sembako.
Kedatangan kami rupanya sudah ditunggu. Beberapa warga yang kebanyakan perempuan di atas usia sebaya sudah duduk di sekitar. Begitu tiba di lokasi pertama aksi hari itu, dr. Faris dan Kris mendadak segar kembali. Keduanya tak lagi terlihat seperti saat di dalam mobil. “Ya..alhamdulillah..sekarang sudah lebih enak,” tutur dokter muda ini. Lapak praktek pun segera dibuka, Kris sibuk dengan ‘apotik’-nya sedangkan dr. Faris dan dr. Fakhrur sudah mengambil tempatnya masing-masing. Dalam kondisi layanan mobile seperti ini, ‘ruang praktek’ seringkali dibuka di bawah pohon rindang, teras rumah yang masih utuh atau satu spot diantara tenda pengungsi. Tidak lebih dari dua jam kami melakukan layanan di Jhaghajuli. Dari daftar pasien yang tercatat, di Jhaghajuli tim melayani 71 pasien.
Berbarengan dengan rampungnya pembagian sembako oleh sahabat-sahabat dari NTYM, layanan kesehatan juga berkemas untuk bergeser ke Desa Ramtar. Lokasinya hanya sekira 2 km dari Jaghajhuli. Seperti di Jaghajhuli, layanan kesehatan dan pembagian sembako juga digelar tepat di tepi jalan raya. Hanya saja kali ini tempatnya lebih luas. Area terbuka dengan beberapa pohon-pohon besar ini rupanya menjadi terminal bus untuk warga sekitar. Terlihat dengan adanya rambu bergambar bus tertancap tepat di pinggir jalan.
Di sini , calon pasien yang menunggu lebih banyak daripada di Jaghajhuli. Golongan usianya juga lebih beragam. Ada orang-orang tua, paruh baya, anak muda, remaja sampai anak-anak. Menariknya, sebagian perempuannya mengenakan pakaian triadisional khas Nepal.
“Assalamu’alaikum Pak Cik,” tiba-tiba terdengar sapa dari arah belakang saya berdiri. Kaget tentu saja. Bukan karena mendengar suaranya, tapi isi dari sapaan itu. Segera saya tolehkan kepala, di belakang saya berdiri sosok anak muda berkulit gelap menyunggingkan senyum. “Are you moslem?” sapa saya seraya menyodorkan tangan mengajaknya berjabat tangan. “Tak, saya Hindu. Saya boleh cakap melayu karena bekerja di Malausia sudah 5 tahun. Saya lihat awak dari Indonesia,” jawabnya masih tersenyum sambil menunjuk bendera Merah Putih yang menempel di rompi saya.
Obrolan selanjutnya pun berlangsung lancar. Nama anak muda ini Rajan Sewa, usianya 31 tahun. Sudah menikah dan memiliki dua putra. Hari itu ia khusus turun bukit bersama ayah dan anak sulungnya untuk memeriksakan kesehatan mereka. Tak lama kemudian bergabung pula abang Rajan, yang juga pernah bekerja di Malaysia. Jadilah obrolan di siang hari itu seperti obrolan di negeri sendiri. “Saya mau periksa punggung saya, ada nyeri. Punggung ini pernah tertimpa runtuhan rumah sewaktu membereskan puing rumah,” kata Rajan. Sementara ayah dan anaknya menderita gatal-gatal di beberapa anggota tubuhnya.
Selewat pukul 2 siang waktu Nepal, pasien semakin banyak mendaftar dan mengambil antrian di dua kursi tunggu milik dr. Faris dan dr. Fakhrur. “Mereka datang dari sekitar sana dan sana, kalau desa saya di sana,” Rajan menjelaskan asal para warga, menunjuk dua bukit di atas terminal bus yang jadi lokasi layanan. Bukan hanya bukit yang terdekat, Rajan juga mengarahkan telunjuknya ke beberapa bukit dibalik bukit.
Tak kalah dengan dua dokter dari ACT, Krisdiyanto, paramedis yang bertugas menjaga meja obat juga tak kalah sibuknya. Pasien-pasien yang sudah selesai diperiksa mengerubungi mejanya. Lelah melayani dengan berdiri, ia duduk. Lelah duduk, ia kembali berdiri. Nyaris dua jam praktek dibuka, dr.Fakhrur bertanya pada saya soal keberadaan Kris di meja obat. “Mas Kris kemana? Teman dari Tibetan bilang katanya dia semaput?,” tanya Fakhrur sambil menuliskan resep pasien.
Saya mencari tahu. Salah seorang sahabat dari NTYM memberitahu saya, Kris sedang tergolek di dalam sebuah mobil. Saya hampiri mobil yang dimaksud, ya Kris sedang mengistirahatkan tubuhnya. Saya tengok meja obatnya, di sana ternyata sudah ada beberapa tetua pembina NTYM melayani warga yang ingin mendapatkan obat.
Kris yang mulanya bugar dari mabuk darat karena bersemangat melayani pasien yang antusias, tak kuasa melawan permintaan tubuhnya yang meminta diistirahatkan hari itu. Dan ternyata tim kesehatan ACTion Team for Nepal di Sindhuli kali ini total melayani 281 pasien hanya dalam setengah hari. Di Jaghajhuli melayani 71 orang, sementara di Ramtar ada 220 orang yang memeriksakan kesehatannya. Pantas saja. (bambang triyono)
Foto: Suasana layanan kesehatan di Desa Ramtar / Yusnirsyah Sirin
Aksi Cepat Tanggap
0
987
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan