Kaskus

Entertainment

act.idAvatar border
TS
act.id
Surat dari Kathmandu, Nepal: Belajar Sabar di Negeri Atap Dunia
Surat dari Kathmandu, Nepal: Belajar Sabar di Negeri Atap Dunia

Syuhelmaidi Syukur, Wahyu Novyan dan Bambang Triyono , ACTion Team for Nepal, unit respon kemanusiaan yang dikirim ACT membantu korban gempa di Nepal, Selasa (28/4/2015) sore tiba di bandara Kathmandu, Nepal. Berikut ini catatan Bambang Triyono, akan kami sajikan berseri melaporkan pergerakan tim di Nepal.


‎Kami tak pernah menyangka akan ditugaskan ke sebuah negeri impian, tepatnya impian para pendaki: Nepal. Pesona Nepal dengan pegunungan Himalayanya, juga ibukotanya yang eksotis: Kathmandu, serasa akrab di bibir dan menari di sudut batin petualanganku. Tapi ini bukan mimpi, bukan hal yang diharapkan. Saya ke Nepal bersebab negeri itu dihentak gempa bertubi dimulai dengan 7,9 SR. Ribuan jiwa tewas, ribuan lainnya luka bersama yang selamat, menjadi pengungsi di negeri sendiri.

Sebelumnya, pada Minggu, 26 April, diskusi santer di grup Blackberry Messenger manajemen, ACT harus segera kirim tim ke Nepal. Dua nama disebut: Manager Disaster Management Institute of Indonesia - lembaga konsultan-riset dan pelatihan kesiapsiagaan bencana yang diinisiasi ACT, Wahyu Novyan, dan saya, siap-siap ke Nepal. Kami berdua segera berkomunikasi, sore hingga malam, dibantu diskusi sangat intens kawan-kawan dari Global Partnership Network (GPN) - ACT yang membuka sejumlah akses relawan dan mitra dari Nepal, termasuk relasi NGO India, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di India dan China.

Senin siang, rapat manajemen memutuskan, ketua ACTion Team for Nepal, Syuhelmaidi Syukur, satu dari dua Senior Vice President ACT. Jadilah kami bertiga, Selasa dinihari bertolak ke Kathmandu. Kami bersyukur, ketika menimbang sejumlah penerbangan untuk menemukan mana paling efisien dan ekonomis, terdengar kabar, bandara internasional di Kathmandu yang tadinya tertutup, sudah bisa menerima pendaratan. Karena itu kisah memperoleh tiket termurah dan perjalanan relatif lebih cepat dibanding pilihan lainnya.

Selasa pagi kami terbang, sore pukul 17.30 waktu Kathmandu, kami sudah tiba di Bandara Internasional Tribhuvan setelah berputar-putar selama hampir satu jam di udara, di atas pegunungan yang mengelilingi lembah Nepal. Tiba di bandara, kembali kesabaran kami diuji. Paket perlengkapan lapangan yang kami siapkan, tidak ditemukan di antara semua barang bagasi. Kami ‎berjam-jam berusaha mencarinya di 'layanan barang hilang'.

Tiga jam menanti, kami terus berdoa berharap barang-barang perlengkapan aksi, bisa ditemukan. ‎Selama itu, kami berjaga bergantian. Salah satu dari kami mencari simcard lokal untuk memudahkan berkomunikasi dengan Tanah Air. Laris manis, simcard lokalnya. Tamu-tamu asing Nepal, membludak dan semua perlu pengganti simcard hape mereka.

Hari ini, hari kami tiba di Kathmandu, menjadi hari paling sibuk untuk Bandara Tribhuvan. Pesawat-pesawat kargo pembawa bantuan dari dunia internasional hari ini datang silih berganti. Hari itu kami lihat ada bantuan dari China, Israel, India, Pakistan, juga Amerika Serikat.

Keriuhan itu belum termasuk sejumlah organisasi kemanusiaaan yang mengutus satu-dua orang wakilnya bahkan ada yang mengirim personil 5-10 orang. Beberapa NGO asing yang hadir, saya pastikan asalnya dengan mencermati simbol organisasi yang terlibat. Mitra kami nampak terjun di Nepal, antara lain: Helping Hands, SAR Malaysia, termasuk lembaga nonpemerintah dari Perancis, Mexico, Italia, juga Tim Khusus Rubil dari Amerika Serikat.

Suasana Bandara Tribhuvan, ternyata tidak cuma sibuk tapi cenderung menimbulkan kekacauan kecil akibat tidak bagusnya penanganan bagasi oleh otoritas bandara. Banyak orang yang harus menunggu berjam-jam untuk menunggu bagasinya muncul.

Kian larut, kian banyak wakil oganisasi kemanusiaan internasional tiba bersusulan, termasuk ke Kathmandu. Para jurnalis internasional juga mulai berdatangan.

Hari senin (28/4) menjadi hari pertama Bandara Kathmandu dibuka sejak gempa terjadi. Tampaknya otoritas bandara Kathmandu kurang siap. (foto: Bandara Tribuvan, Nepal, sehari pascagempa, vivanews)

ACTNews, KUALA LUMPUR - Belum lagi Tim Global Action for Nepal ACT menginjakkan kaki ke Kota Kathmandu, di Terminal Keberangkatan Q14 Bandara KLIA2, Tim sudah jumpa dengan ratusan warga Nepal, Selasa siang (28/4).

Mereka adalah para pekerja asal Negeri Atap Dunia yang mengadu nasib di Malayasia. Kecuali jumlahnya yang cukup menarik perhatian di ruang tunggu keberangkatan, air muka mereka juga cukup mengundang tanya. Secara gestur mereka tampak tenang, namun bila diperhatikan dengan seksama, sorot mata mereka terlihat kosong.

Dugaan kami kemudian terjawab, saat dari bibir Adhikar Keshab (34) yang kami sapa, meluncur deras cerita tentang diri dan keluarganya d Nepal. Adhikar, yang tinggal d sebuah distrik di luar Kathmandu dengan perjalanan darat selama 2 jam, menuturkan dirinya harus pulang demi menemui seluruh anggota keluarganya yang hingga Selasa tak ia ketahui nasibnya.

"Saya meminta cuti dari perusahaan, saya ingin tahu bagaimana kondisi ibu , istri, anak dan saudara-saudara saya. Banyak informasi dari kawan yang bilang ini-itu tentang desa saya, tapi saya hanya ingin pulang," tutur Adhikar, yang bekerja sebagai sekuriti d Kuala Lumpur.

Adhikar hanya berharap seluruh anggota keluarganya berada dalam kondisi selamat. "Ini coba, sudah tiga hari ini panggilan telpon seluler tak bisa tembus ke sana," Adhikar menyorongkan ponselnya pada telinga kami. Ya, memang hanya terdengar penjelasan koneksi tidak bisa tersambung dari suara otomatik operator wanita.

Sedikit beda dengan Adhikar yang terlihat 'menegar-negarkan diri', Shresta Ajaya (24) justru sebaliknya. Sejak kami berbincang dengan Adhikar, kegundahan yang tampak pada dirinya terlihat jelas. Lebih banyak diam, menerawang dan seperti tidak ingin ikut dalam obrolan.

"Tak tahu lah, saya sedang bingung. Saya kuatir betul dengan dengan keadaan keluarga saya. Saya dengar kabar, desa saya hancur. Rumah kami juga hancur. Lebih dari lima puluh persen kondisi Kathmandu saja hancur," kata Shresta yang juga bekerja sebagai sekuriti di perusahaan yang sama dengan Adhikar.

Shresta dan kawan satu desanya, Rai Sabin (26), yang lebih pendiam, tinggal di desa berjarak dua kilometer dari Kathmandu. Satu-satunya keinginan keduanya adalah segera sampai ke desanya.

"Kebetulan kontrak (kerja) saya sudah finish, saya ingin pulang saja. Cukuplah saya di desa saja, tak ingin lagi bekerja keluar Nepal. Kasihan keluarga," ujar Shresta dengan tatapan mata muram.

Yang agak terlihat sedikit ekstrim bersikap dibanding Adhikar dan dua temannya, adalah Ajaayh. Lelaki yang bekerja di pabrik plastik ini justru terlihat 'happy' saja. Saat disapa, ia sedang mengunduh sebuah film dari ponsel pintarnya berkat koneksi nirkabel internet gratis d terminal bandara.

"Keluarga semua aman, sehat. Rumah juga masih ada...tak terlalu kuatir lah," katanya sambil senyum-senyum ketika ditanya apakah ia dapat kabar tentang keluarganya. Ajaayh mengaku tinggal di Kathmandu.

Usai menyapa Ajaayh, Adhikar kemudian berbisik lirih kepada kami, bahwa sesungguhnya semua orang Nepal yang ada di terminal siang itu, tak ada yang tahu bagaimana nasib keluarga mereka di kampung halaman.

Adhikar, Shresta, Rai dan Ajaayh adalah bagian dari pemuda-pemuda Nepal yang mencari peruntungan di Malaysia. Di negeri itu, mereka bekerja sebagai buruh di pabrik plastik, pabrik jus buah, makanan sampai sektor perhotelan dan jasa keamanan. Semua, berada dalam perasaan harap cemas. Ingin segera terbang, dan pulang.
Surat dari Kathmandu, Nepal: Belajar Sabar di Negeri Atap Dunia

Tim beruntung bisa 'menemani' penerbangan mereka dari Kuala Lumpur hingga tiba di Kathmandu Selasa sore. Begitu keluar bandara, mereka segera berhamburan keluar Bandara menyongsong keluarganya masing-masing. (bambang triyono)
Surat dari Kathmandu, Nepal: Belajar Sabar di Negeri Atap Dunia

Ayo Berdonasi

Express Donation
0
1.8K
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan