- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sepetak Menolak Eksploitasi Wisata Curug Lalay di Medalsari
TS
gazzza
Sepetak Menolak Eksploitasi Wisata Curug Lalay di Medalsari
Quote:
KARAWANG, KarawangNews.com – Serikat Petani Karawang (Sepetak) dengan tegas menolak Curug Lalay atau Ciomas di Desa Medalsari, Kecamatan Pangkalan dijadikan obyek wisata. Hal itu diungkapkan dalam forum terbuka bersama Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Purwakarta dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Karawang, (31/3/2015) di Sekretariat LMDH Dusun Tipar Kolot, Desa Medalsari.
Pada forum ini sempat bersitegang antara Sepetak, LMDH dan KPH Perhutani, ketiganya berargumen soal regulasi peraturan bersama 4 menteri, tentang Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T).
Paparan KPH Perhutani dan LMDH semula didengar seksama para petani setempat, warga Desa Medalsari akan sejahtera, jika Curug Lalay atau Ciomas bisa dimanfaatkan menjadi obyek wisata. Kemudian Sepetak menyanggah pernyataan tersebut, sehingga terjadi diskusi interaktif dan debatebel.
Anggota Sepetak, Solihin memberikan sanggahan atas pemaparan Kasie KPH Purwakarta dan Koordinator LMDH yang juga Ketua LSM Lodaya Karawang, Nace Permana. Solihin dengan datar menyatakan, pihaknya dan Sepetak sebagai representasi petani tidak menginginkan dibukanya obyek wisata alam Curug Lalay yang berlokasi di kawasan hutan Medalsari.
Menurutnya, paparkan KPH Perhutani dan LMDH sangat tidak obyektif, justru cerita manisnya hanya mengilusi para petani dengan kredo kesejahteraan, tetapi tidak memiliki landasan matrialnya.
Lebih lanjut Solihin menguraikan tentang perjuangan para petani Sepetak yang saat ini mendapat sedikit dukungan dari regulasi peraturan bersama 4 menteri tentang IP4T. Kata Solihin, seharusnya Perhutani tunduk atas peraturan yang berlaku.
Pernyataan Solihin itu langsung disambut oleh Nace Permana, secara eksplosif Nace mendebat sanggahan Solihin.
“Saya sudah berdiskusi dengan Cellica (Plt. Bupati Karawang, red) dan para pakar hukum mengenai kedudukan hirarki hukum peraturan bersama 4 menteri,” imbuhnya.
Peraturan bersama 4 menteri tersebut, kata Nace, kedudukannya lebih rendah dibanding UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) kehutanan negara. Bahkan peraturan bersama 4 menteri ini sedang dalam upaya Judicial Review (JR).
“LMDH dalam hal ini berada di tengah, tidak berpihak kepada Perhutani atau kepada petani,” kata Nace.
Menyanggah justifikasi Nace, anggota Sepetak lainnya, Mustofa Bisry menyampaikan, tataran empiris mengenai dampak negatif dari pembukaan obyek wisata di kawasan hutan dan konflik tanah antara petani dengan perhutani yang masih berlangsung di sana.
Kata dia, kalau ajakan Perhutani dan LMDH ini hanya upaya moderasi dan upaya menghambat lajunya proses penataan tanah atau struktur agraria dalam kerangka ‘land reform’ yang saat ini turut didorong oleh 4 kementerian sebagaimana termaktub dalam IP4T, maka ini bertentangan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara Indonesia. Dia menganggap, Perhutani tetap misteri petaka hutan.
Di tengah pemaparannya, Mustofa disambar secara reaksioner oleh Nace yang terus menyajikan argumentasi hipokritnya. Forum diskusi terasa semakin hangat dan tegang ketika Sekjen Sepetak, Engkos Koswara angkat bicara dengan intonasi yang cukup keras.
“Kubur dalam-dalam mimpi indah tentang kesejahteraan rakyat yang akan lahir dari pembangunan sektor pariwisata, serta lempar jauh-jauh ekspektasi peningkatan derajat hidup masyarakat sekitar hutan Desa Medalsari yang akan digantungkan pada rencana pembukaan obyek wisata alam Curug Lalay,” tandasnya.
Engkos terlihat kesal dengan pemaparan dari Kasie KPH Purwakarta dan Koordinator LMDH Kabupaten Karawang Nace Permana yang mengilusi petani yang hadir di forum tersebut.
Di sela-sela penyajian argumentasinya, Engkos melempar pertanyaan pada hadirin diskusi mengenai pilihan setuju atau tidaknya dibuka obyek wisata curug lalay. Secara serentak mayoritas yang hadir meneriakan tidak setuju.
“Itulah kenyataan obyektif,” tandas Engkos.
Lebih lanjut Engkos menyampaikan, pendapat kajian ilmiah terkait pembangunan sektor wisata di dalam kawasan hutan sudah cukup massif pada dua dasa warsa lalu dan kesimpulan umumnya adalah memberi ‘out put’ 20 persen dampak positif dan 80 persen berarti berdampak buruk.
Pada forum ini, Engkos menelanjangi Perhutani atas berbagai aspek sepak terjangnya yang selalu melakukan pencaplokan tanah petani. Kata dia, di sejumlah tempat kejahatan Perhutani berupa kriminalisasi, seperti yang dialami oleh Suhendi petani Medalsari yang harus merasakan kepahitan di balik jeruji besi.
“Masih segar dalam ingatan kita sekitar dua pekan lalu media dihebohkan oleh kebiadaban Perhutani yang memenjarakan seorang nenek bernama Asyani asal Situbondo, terkait kedudukan hukum IP4T,” jelasnya.
Engkos memberikan penjelasan pada Nace, IP4T merujuk pada UUD 1945 Pasal 33, maka IP4T sangat legitimated. Jangan memandang sempit IP4T pada dimensi hukum formal, tetapi lebih pada dimensi sosial, HAM, kelestarian ekologi dan pengetahuan komunal.
Setelah Engkos mementahkan semua argumentasi simplistis yang disodorkan Nace dan Perhutani, seorang pengurus sepetak lainnya, Odang Rodiana, menginstruksikan pada petani yang hadir untuk ‘walk out’, karena menilai forum ini menyesatkan. Odang menanggap pernyataan Nace ngawur soal Judicial Review atau Uji Materi di Mahkamah Konstitusi.
“Saya tidak habis pikir masa calon bupati mengatakan peraturan bersama menteri mau diuji materi. Mekanisme hukum di republik ini tidak ada yang mengatur seperti itu, yang bisa diuji materi hanya undang-undang, bukan peraturan bersama, gimana sih,” celoteh Odang, sambil bubar bersama petani lainnya.
Di akhir pertemuan yang diinisiasi oleh LMDH Karawang dan Perhutani tersebut, masyarakat Desa Medalsari dengan tegas menolak dan siap melakukan perlawanan dengan cara apapun jika Perhutani dan LMDH tetap memaksakan kehendak membuka objek wisata curug di Medalsari. (*)
Pada forum ini sempat bersitegang antara Sepetak, LMDH dan KPH Perhutani, ketiganya berargumen soal regulasi peraturan bersama 4 menteri, tentang Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T).
Paparan KPH Perhutani dan LMDH semula didengar seksama para petani setempat, warga Desa Medalsari akan sejahtera, jika Curug Lalay atau Ciomas bisa dimanfaatkan menjadi obyek wisata. Kemudian Sepetak menyanggah pernyataan tersebut, sehingga terjadi diskusi interaktif dan debatebel.
Anggota Sepetak, Solihin memberikan sanggahan atas pemaparan Kasie KPH Purwakarta dan Koordinator LMDH yang juga Ketua LSM Lodaya Karawang, Nace Permana. Solihin dengan datar menyatakan, pihaknya dan Sepetak sebagai representasi petani tidak menginginkan dibukanya obyek wisata alam Curug Lalay yang berlokasi di kawasan hutan Medalsari.
Menurutnya, paparkan KPH Perhutani dan LMDH sangat tidak obyektif, justru cerita manisnya hanya mengilusi para petani dengan kredo kesejahteraan, tetapi tidak memiliki landasan matrialnya.
Lebih lanjut Solihin menguraikan tentang perjuangan para petani Sepetak yang saat ini mendapat sedikit dukungan dari regulasi peraturan bersama 4 menteri tentang IP4T. Kata Solihin, seharusnya Perhutani tunduk atas peraturan yang berlaku.
Pernyataan Solihin itu langsung disambut oleh Nace Permana, secara eksplosif Nace mendebat sanggahan Solihin.
“Saya sudah berdiskusi dengan Cellica (Plt. Bupati Karawang, red) dan para pakar hukum mengenai kedudukan hirarki hukum peraturan bersama 4 menteri,” imbuhnya.
Peraturan bersama 4 menteri tersebut, kata Nace, kedudukannya lebih rendah dibanding UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) kehutanan negara. Bahkan peraturan bersama 4 menteri ini sedang dalam upaya Judicial Review (JR).
“LMDH dalam hal ini berada di tengah, tidak berpihak kepada Perhutani atau kepada petani,” kata Nace.
Menyanggah justifikasi Nace, anggota Sepetak lainnya, Mustofa Bisry menyampaikan, tataran empiris mengenai dampak negatif dari pembukaan obyek wisata di kawasan hutan dan konflik tanah antara petani dengan perhutani yang masih berlangsung di sana.
Kata dia, kalau ajakan Perhutani dan LMDH ini hanya upaya moderasi dan upaya menghambat lajunya proses penataan tanah atau struktur agraria dalam kerangka ‘land reform’ yang saat ini turut didorong oleh 4 kementerian sebagaimana termaktub dalam IP4T, maka ini bertentangan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara Indonesia. Dia menganggap, Perhutani tetap misteri petaka hutan.
Di tengah pemaparannya, Mustofa disambar secara reaksioner oleh Nace yang terus menyajikan argumentasi hipokritnya. Forum diskusi terasa semakin hangat dan tegang ketika Sekjen Sepetak, Engkos Koswara angkat bicara dengan intonasi yang cukup keras.
“Kubur dalam-dalam mimpi indah tentang kesejahteraan rakyat yang akan lahir dari pembangunan sektor pariwisata, serta lempar jauh-jauh ekspektasi peningkatan derajat hidup masyarakat sekitar hutan Desa Medalsari yang akan digantungkan pada rencana pembukaan obyek wisata alam Curug Lalay,” tandasnya.
Engkos terlihat kesal dengan pemaparan dari Kasie KPH Purwakarta dan Koordinator LMDH Kabupaten Karawang Nace Permana yang mengilusi petani yang hadir di forum tersebut.
Di sela-sela penyajian argumentasinya, Engkos melempar pertanyaan pada hadirin diskusi mengenai pilihan setuju atau tidaknya dibuka obyek wisata curug lalay. Secara serentak mayoritas yang hadir meneriakan tidak setuju.
“Itulah kenyataan obyektif,” tandas Engkos.
Lebih lanjut Engkos menyampaikan, pendapat kajian ilmiah terkait pembangunan sektor wisata di dalam kawasan hutan sudah cukup massif pada dua dasa warsa lalu dan kesimpulan umumnya adalah memberi ‘out put’ 20 persen dampak positif dan 80 persen berarti berdampak buruk.
Pada forum ini, Engkos menelanjangi Perhutani atas berbagai aspek sepak terjangnya yang selalu melakukan pencaplokan tanah petani. Kata dia, di sejumlah tempat kejahatan Perhutani berupa kriminalisasi, seperti yang dialami oleh Suhendi petani Medalsari yang harus merasakan kepahitan di balik jeruji besi.
“Masih segar dalam ingatan kita sekitar dua pekan lalu media dihebohkan oleh kebiadaban Perhutani yang memenjarakan seorang nenek bernama Asyani asal Situbondo, terkait kedudukan hukum IP4T,” jelasnya.
Engkos memberikan penjelasan pada Nace, IP4T merujuk pada UUD 1945 Pasal 33, maka IP4T sangat legitimated. Jangan memandang sempit IP4T pada dimensi hukum formal, tetapi lebih pada dimensi sosial, HAM, kelestarian ekologi dan pengetahuan komunal.
Setelah Engkos mementahkan semua argumentasi simplistis yang disodorkan Nace dan Perhutani, seorang pengurus sepetak lainnya, Odang Rodiana, menginstruksikan pada petani yang hadir untuk ‘walk out’, karena menilai forum ini menyesatkan. Odang menanggap pernyataan Nace ngawur soal Judicial Review atau Uji Materi di Mahkamah Konstitusi.
“Saya tidak habis pikir masa calon bupati mengatakan peraturan bersama menteri mau diuji materi. Mekanisme hukum di republik ini tidak ada yang mengatur seperti itu, yang bisa diuji materi hanya undang-undang, bukan peraturan bersama, gimana sih,” celoteh Odang, sambil bubar bersama petani lainnya.
Di akhir pertemuan yang diinisiasi oleh LMDH Karawang dan Perhutani tersebut, masyarakat Desa Medalsari dengan tegas menolak dan siap melakukan perlawanan dengan cara apapun jika Perhutani dan LMDH tetap memaksakan kehendak membuka objek wisata curug di Medalsari. (*)
Sumber : TKP!!!
Quote:
Padahal 1 Mei ane pengen kesini, denger berita nya begini yaa ane tapi engga enak hati aja. Soalnya warga disana udah menolak tempat tersebut dijadikan tempat wisata
Polling
0 suara
Ente setuju engga dibuka untuk jadi tempat wisata?
0
1.5K
Kutip
13
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan