Hampir semua pelajar dan mahasiswa se Indonesia mahfum bahwa Boedi Oetomo (BO) adalah Organisasi yang berorientasi kebangkitan bangsa yang tercatat dalam sejarah yang menjadi inisiatorlahirnya organisasi2 lain. BO didirikan tahun 1908 di Jakarta oleh Dr. Soetomo namun mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta bulan Oktober 1908. Tapi sadarkah kita bahwa beberapa tahun sebelum BO berdiri, ternyata sudah ada sebuah Organisasi Besar yang duluan muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap "cengkraman" bangsa Asing di Indonesia (yaitu Kolonialisme Belanda dan para elit Cina). Yah, Organisasi ini bernama Sarekat Dagang Islam.



Sarekat Dagang Islam (disingkat SDI) didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi di Solo. Maka, melihat tahun berdirinya, gak perlu pendidikan tinggi untuk menyimpulkan bahwa SDI-lah perhimpunan manusia yang terorganisir pertama kali di Nusantara, pada awalnya Organisasi yang dibentuk oleh Haji Samanhudi ini adalah perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang menentang pengaruh dominan pedagang asing untuk menguasai ekonomi rakyat pada masa itu.





Artinya, berbeda dengan Boedi Oetomo (BO) yang awalnya ditujukan hanya bagi priyayi Jawa dan Madura dan para bangsawan kalangan keraton, Syarekat Dagang Islam bergerak atas motivasi persatuan pedagang Islam dan masyarakat Islam yang tertindas oleh para penguasa Belanda dan elit Cina waktu itu. Jadi SDI tiada memandang strata sosial dalam merekrut anggota atau simpatisannya. Persatuan ini (kemudian) diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup dan daya saing mereka dengan Kapitalisme 2 bangsa pendatang tersebut.


Namun, demi meningkatkan skala perjuangan dan untuk lebih terkesan umum ke segala bidang, tahun 1912 HOS Tjokroaminoto, salah seorang aktivis besar SDI, menyarankan untuk digantinya SDI (Sarekat Dagang Islam) menjadi SI (Sarekat Islam). Usul ini disetujui oleh para pembesar organisasi. Kemudian, eksistensi Sarekat Islam menjadi begitu populer karena SI menyentuh segala lapisan masyarakat Islam dan mereka non-Islam yang menjadi simpatisan mereka.




Keadaan semacam itu rupanya turut menyebabkan Boedi Oetomo agak terdesak ke belakang karena dalam menggerakkan skala besar Boedi Oetomo memang belum berpengalaman (maklum diisi oleh kalangan pemuda yang masih mahasiswa ; mayoritas mahasiswa STOVIA). Walhasil pada masa itu, kepemimpinan perjuangan orang Nusantara diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij (organisasi yg dibentuk oleh pribumi dan warga keturunan indo-Belanda tahun 1912).



SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan dalam bentuk organisasi Skala Lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dengan begini, SI makin menarik perhatian rakyat dan kemudian memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.


Pada perkembangannya : Sarekat Islam meletakan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu :
1. Asas Islam sebagai dasar perjuangan organisasi
2. Asas Kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi,dan
3. Asas Sosial Ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan





Dengan keadaan ini, sudah pasti keberadaan SDI ditakuti Belanda. Mereka khawatir jika gerakan semacam ini kian "menyehatkan" pribumi diberbagai segi. Dalam buku HOS Tjokroaminoto- "Hidup dan Perjuangannya", tertulis keinginan pemerintahan Belanda yang ingin menggembosi pergerakan Islam pada SI sebagai berikut :
"Karena jikalau rakyat Indonesia menjadi politik bewust, menjadi sadar terhadap hak-hak politiknya, niscaya bahaya besar akanmenimpa penjajah, akan dapat mereka rebut kembali hak-haknya yang luhur itu.Terutama bagi Agama Islam dan kaum Muslimin tersebut senjata-senjata yang khusus ditangan penjajah. Belanda menginsafi bahaya seperti yang ditimbulkan oleh Tengku Tjik di Tiro, oleh Imam Bonjol, oleh Diponegoro dan lain-lainpemimpin Islam. Perjuangan mereka itu melawan penjajahan, bukan hanyadidasarkan oleh semangat kemerdekaan tanah air, terutama adalah didorong oleh kepercayaan keagamaan, yaitu kepercayaan hendak menyirnakan golongan yang dzalim.

Belanda tidak ingin melihat terulangnya riwayat Tengku Tjhik di Tiro, Imam Bonjol, dan Dipenogoro itu. Mereka berupaya supaya rakyat Nusantara jangan sampai menjadi Islam bewust. Disumbat hendaknya segala macam jalan dan saluran yang menjadi sebab rakyat sadar kepada ajaran-ajaran agamanya (Islam).


Boleh orang memeluk agama Islam. Tetapi cara memeluknya itu hanyalah sebatas kepercayaan dalam hatinya seseorang belaka,sebagai alat untuk menyembah Tuhannya di dalam mesjid dan surau. Janganlah Islam dijadikan alat dalam hidup perjuangannya seseorang, apalagi sebagai dasar perjuangan untuk menentang kolonial."