Kaskus

News

mat_indonAvatar border
TS
mat_indon
Belajar Otodidak, Para Pemuda Desa Ini Kerap Juarai Lomba Desain Tingkat Dunia
SUMBER

Jumat, 9 Januari 2015 | 18:18 WIB

Belajar Otodidak, Para Pemuda Desa Ini Kerap Juarai Lomba Desain Tingkat Dunia
Muhammad Abdul Bar (tiga dari kiri) bersama beberapa anggota Komunitas Rewo-Rewo.

MAGELANG, KOMPAS.com - Secara umum tidak ada yang berbeda dengan Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dengan desa pada umumnya. Sebuah desa yang terbilang cukup terpencil dari pusat kota Magelang. Letaknya justru lebih dekat dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.

Tetapi siapa sangka, dari desa ini lahir ratusan desainer muda yang karya-karyanya sudah diakui dunia internasional. Sebagian besar pemuda di desa ini bahkan sudah menjadikan profesi desainer logo sebagai mata pencaharian utama.

Tidak heran jika desa ini kemudian disebut Kampung Desain Grafis atau Kampung Pengrajin Logo. Mereka tergabung dalam komunitas yang disebut Komunitas Rewo-rewo.

Ya, setiap hari mereka membuat logo atau ikon sesuai permintaan perusahaan-perusahaan besar dari berbagai belahan dunia. Logo-logo tersebut lalu dikirim lewat online dan dikompetisikan dengan logo-logo lain yang juga dikirim oleh peserta di seluruh dunia.

“Jika menang kompetisi itu bisa dapat hadiah puluhan sampai ratusan dolar,“ kata Yunan Hamami (36), warga setempat, Jumat (9/1/2015).

Mamik, panggilan akrab Yunan Hamami, mengatakan Komunitas Rewo-rewo berdiri sejak tiga tahun lalu. Komunitas yang mewadahi warga yang sebagian besar berusia muda untuk menyalurkan bakat mereka dalam dunia seni kreatif mendesain logo.

Otodidak

Dahulu, kata Mamik, anggota komunitas ini masih hanya terdiri beberapa orang saja. Seiring perjalanan waktu, jumlah anggota semakin bertambah mencapai 250 orang. Semuanya warga Desa Kaliabu.

“Salah satu penggagas komunitas ini Muhammad Abdul Bar, dulu dia supir bus malam, tetapi banting stir menjadi desainer logo, beliau lalu mengajak saudara-saudara dan para tetangga untuk belajar desain sekaligus mencari uang dari hasil desain itu sendiri,“ ungkapnya.

Mamik sendiri awalnya tidak terlalu tertarik dengan desain, karena ia sudah menjadi guru di SMP Negeri 2 Kajoran Kabupaten Magelang dengan status pegawai negeri sipil (PNS). Namun melihat adik dan para tetangga yang sukses menjadi desainer logo, dia pun tertarik dan menekuni desain meski masih menjadi pekerjaan sambilan.

Mamik mengatakan, tidak semua anggota Komunitas Rewo-rewo mengeyam pendidikan tinggi apalagi sekolah khusus desain. Sebagian besar mereka adalah lulusan SMP dan SMA. Mereka belajar desain secara otodidak. Masing-masing anggota tidak segan saling berbagai ilmu.

“Kami belajar otodidak, teman-teman yang sudah mahir juga tidak pelit ilmu, mereka mengajari kami bagaimana mendesain logo menggunakan software Corel Draw dan Adobe Photoshop,“ ujar Mamik.

Setelah bisa, lanjut Mamik, mereka lantas mencari informasi berbagai lomba desain dari seluruh dunia melalui internet. Menurut Mamik, ada banyak situs web yang khusus menyediakan informasi kompetisi membuat logo perusahaan tertentu. Kebanyakan situs web itu berdomain di negara-negara Eropa dan Australia.

“Setiap menit pasti ada informasi lomba desain logo dari seluruh dunia, kami ikuti saja lomba-lomba itu. Modal kami cuma Google Translate karena kami tidak bisa bahasa Inggris untuk memahami petunjuk lomba,“ kata Mamik terkekeh.

Sering menang

Menurut Mamik, hampir semua anggota anggota Komunitas Rewo-rewo pernah memenangi lomba desain logo itu. Tidak hanya sekali tetapi berkali-kali. Hadiahnya rata-rata puluhan sampai ratusan dolar. Tidak heran jika kemudian banyak warga yang beralih profesi menekuni dunia desain logo.

Menurut Mamik, ada anggota yang semula penjual bakso, petani, buruh, pedagang pakaian, hingga pengangguran.

“Jika beruntung, banyak teman kami yang menang hingga empat kali dalam seminggu, setiap kontes rata-rata berhadiah sekitar Rp 20 Juta. Banyak diantara kami yang sudah bisa beli motor, mobil, bangun rumah sampai menghajikan orang tua dari hasil menang kontes itu,“ ungkap Mamik lagi.

Meski sering ikut kontes bersama, setiap warga atau anggota komunitas rewo-rewo disebut tidak pernah saling iri. Mereka malah saling mendukung dan berkompetisi secara sehat. Tidak jarang hadiah yang diterima disisakan lalu dikumpulkan untuk membantu warga Desa Kaliabu lainnya yang tengah kesulitan ekonomi atau terkena musibah.

“Rasa kekeluargaan kami sangat erat, kami saling membantu dan mendukung. Dari profesi ini pula kami bisa mengubah image Desa Kaliabu yang dulu terkenal dengan kampung preman sekarang jadi kampung desain yang membanggakan,“ sambung Mamik.

Mamik menceritakan, sangking seringnya warga Desa Kaliabu mengikuti berbagai kontes logo, salah seorang direktur situs web dari Eropa datang ke desa tersebut. Menurut Mamik, sang direktur penasaran bagaimana bisa warga yang notabene tinggal di perkampungan bisa sering memenangi kontes desain logo level internasional.

Belum lama ini, kata Mamik, Dirjen Kementerian Perekonomian Kreatif sempat menyambangi Desa Kaliabu. Pada kesempatan tersebut warga menyampaikan beberapa kendala yang dihadapi yakni keterbatasan jaringan internet di Desa Kaliabu. Bagi warga, internet menjadi salah satu komponen penting alam keberlangsungan profesi pengrajin logo.

“Bersyukur, awal tahun ini dipasang kabel internet bantuan dari salah satu provider, sehingga mempermudah kami berkarya. Hampir setiap rumah di Desa kami pasti memiliki perangkat komputer atau laptop yang terkoneksi internet,“ ucap Mamik bahagia.

Mata pencaharian

Salah satu warga Desa Kaliabu, Hasan (25), mengaku senang bisa belajar desain logo tanpa harus sekolah tinggi. Berkat semangat dan keuletannya sejak satu tahun terakhir, Hasan sudah mampu memenangi hingga 15 kali kompetisi desain logo dari seluruh dunia.

“Alhamdulillah, dari hasil menang itu bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari meskipun (pendapatan) tidak tentu seperti karyawan perusahaan pada umumnya,“ ungkap Hasan yang sebelumnya adalah pedagang bakso di Kota Magelang itu.

Hasan mengatakan, dia dan juga beberapa anggota pernah dikontrak oleh sebuah perusahaan di Eropa untuk membuat desain logo. Nilai kontrak bisa mencapai 90 dolar AS per jam untuk satu buah logo. Saat ini, Hasan tengah mengikuti kontes desain logo yang diselenggarakan oleh perusahaan di Jerman dengan hadiah 2.000 dolar AS.

“Semoga menang,“ ucap Hasan.
Penulis : Kontributor Magelang, Ika Fitriana
Editor : Caroline Damanik

***********************

Kisah Mantan Sopir Bus Penggagas Kampung Desain yang Mendunia


Sabtu, 10 Januari 2015 | 13:28 WIB

MAGELANG, KOMPAS.com - Warga Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terutama pemuda, kini banyak berprofesi sebagai desainer logo perusahaan. Hasil karya mereka kerap menjuarai berbagai kontes logo di seluruh dunia. Profesi unik ini telah dapat mengubah taraf ekonomi serta martabat desa itu yang dahulu terkenal sebagai desa dengan angka kriminal tinggi.

Muhammad Abdul Bar (44 tahun) menjadi salah seorang penggagas kampung desain itu. Abdul sendiri semula hanya seorang sopir bus malam jurusan Magelang - Jakarta. Namun ia telah banting stir jadi desainer logo. Hasil karyanya telah dikirim ke berbagai kompetisi desain logo perusahaan di seluruh dunia.

Abdul menceritakan, keahliannya mendesain didapat dari salah seorang kawan sekitar tiga tahun lalu. Sang kawan itulah yang telah "mencuci otaknya" tentang bagaimana mengubah nasib menjadi lebih baik dari seorang supir bus menjadi desainer atau pengrajin logo.

"Saya diajari dari nol bagaimana menggambar sebuah logo menggunakan komputer. Lambat laun saya bisa. Lalu saya diajari juga bagaimana hasil karya logo itu bisa menghasilkan uang, salah satunya dengan mengikuti berbagai kontes desain logo," ujar Abdul kepada Kompas.com di kediamannya, Jumat (9/1/2015).

Bapak dua putra itu lalu terus mengasah kemampuannya menggambar logo sembari tetap menjalankan pekerjaannya sebagai sopir bus malam. Hingga suatu ketika, saat dirinya sedang dalam perjalanan dari Magelang ke Jakarta, sang istri menghubunginya untuk memberitahu bahwa ia memenangi sebuah kontes logo perusahaan otomotif di Australia.

"Saat itu juga saya memutuskan untuk pulang, sedangkan bus biar kernet saya yang melanjutkan perjalanan ke Jakarta," kisah Abdul.

Dari kontes itu, Abdul mendapat hadiah 400 dolar AS atau sekitar Rp 4 juta. Nominal yang cukup besar bagi Abdul karena selama bekerja sebagai sopir, pendapatannya tidak sampai angka jutaan. Abdul mengatakan, diri malah kerap tombok karena harus menanggung musibah kecelakaan yang sering menimpa dirinya.

"Hampir setiap tahun saya kecelakaan, dan kerap juga mengakibatkan orang meninggal dunia. Dari situ saya kemudian bertekad untuk tidak lagi menjadi sopir dan memilih jadi pengrajin logo," kata suami dari Umroh Mahfudhoh (32) itu.

Sudah tidak terhitung berapa kali Abdul memenangi kontes mendesain logo perusahaan di seluruh dunia, seperti Eropa, Asia, Australia hingga Timur Tengah. Informasi berbagai kontes itu ia peroleh dari internet. Hadiah memenangi berbagai kontes itu, kata Abdul, bervariasi mulai puluhan hingga ratusan dolar AS. Dari hadiah itu, Abdul bisa membangun rumah, membeli kendaraan dan tentu saja menafkahi keluarganya.

Saat ini pekerjaan Abdul hanya mendesain logo.

Abdul dan dua orang temannya yang telah terjun ke dunia desain juga mengajak saudara serta tetangganya untuk menggeluti bidang yang sama. Sebab, Abdul cukup prihatin dengan kondisi lingkungan desa Kalibu yang terkenal dengan premanisme.

Dulu, hampir semua pemuda desa itu tidak memiliki pekerjaan tetap. Kebanyakan mereka hanya nongkrong, pesta miras, memalak, berkelahi dan sebagainya. "Pelan-pelan kami ajak pemuda desa ini untuk berubah ke arah yang lebih baik. Mereka kami traktir makan, hingga mereka bertanya dari mana uang yang kami dapat. Lalu kami jawab bahwa uang ini kami dapat dari menang kontes desain logo. Nah dari situ mereka tertarik dan mau bergabung dengan kami," kisah Abdul.

Seiring perjalan waktu, banyak pemuda yang ingin bergabung dan belajar menggambar desain. Lalu Abdul membentuk Komunitas Rewo-rewo. Nama itu dipilih karena semua anggota memiliki latarbelakang beragam, dari pengangguran, tukang bakso, pedagang pakaian, sopir, guru. Anggotanya kini mencapai 250 orang, semua warga desa Kaliabu, yang kebanyakan hanya lulusan SMP dan SMA.

Kini, desa Kaliabu tidak lagi dikenal sebagai desa yang mengerikan tetapi berubah menjadi desa membanggakan berkat karya-karya logo mereka yang sudah dikenal dunia. Hampir semua anggota komunitas itu pernah memenangi kontes desain logo yang diselenggarakan oleh perusahaan- perusahaan di berbagai negara. Abdul menyebutkan, jika dikalkulasi, seluruh pendapatan warga dari memenangi kontes logo bisa mencapai Rp 8 miliar dalam kurun tiga tahun terakhir. Tidak heran jika banyak warga yang beralih profesi menjadi desainer logo.

Dalam waktu dekat, desa ini juga akan menjadi desa percontohan dalam hal pengembangan ekonomi kreatif dan teknologi informasi di Jawa Tengah.

Kendati demikian, Abdul tidak menampik jika ada berbagai kendala yang dihadapi dalam menjalani profesi itu, seperti akses internet yang belum maksimal, lalu beberapa warga yang belum bisa menghargai konsep karya orang lain.

Abdul dan teman-temannya kini ingin terus memompa semangat berkarya dan berkompetisi secara sehat antar warga atau anggota komunitas. Ia juga sudah mulai mendorong anggota untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, baik pendidikan yang berkonsentrasi pada desain ataupun tidak. "Kami akan terus bekerja di bidang ini, selama kami masih punya semangat berkarya," kata Abdul.

Penulis : Kontributor Magelang, Ika Fitriana
Editor : Egidius Patnistik

****************
Luar biasa! Hanya bermodal tekad dan kemauan belajar, seorang mantan sopir bus berhasil mengangkat derajat kehidupan keluarga dan masyarakat di desanya.emoticon-I Love Indonesia

Salah satu website kontes logo yang ane tahu: http://99designs.com
0
7.5K
24
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan