- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Lee Kuan Yew, Antara Sukarno dan Soeharto


TS
AchmadBoyan
Lee Kuan Yew, Antara Sukarno dan Soeharto

Spoiler for :
Liputan6.com, Jakarta - Jakarta, Agustus 1960. Cuaca tak menentu hari itu, hujan tiba-tiba mengguyur di tengah cuaca terik. Lee Kuan Yew yang baru tiba langsung menuju Hotel Des Indes di kawasan Molenvliet, sekarang Jalan Gajah Mada. Itu adalah hotel terbaik yang ada di Ibukota, dianggap setara dengan Hotel Raffles di Singapura.
Namun, kondisi hotel yang konon mewah itu bikin Lee kecewa berat. Langit-langit kamar yang ditempati rombongannya bocor. Baskom, ember ditaruh di sana dan di sini, untuk menampung cucuran air.
Pengalaman Lee ke Indonesia untuk kali pertama setelah terpilih sebagai Perdana Menteri Singapura diwarnai perasaan dongkol.
Kekecewaan Lee berlanjut saat pertemuan resmi dengan Presiden Sukarno. Keringat mengucur di dahi orang nomor satu di pemerintahan Singapura itu. Siang itu sangat panas, sementara di Istana Negara, kipas angin pun tak ada, apalagi penyejuk ruangan atau AC. Lee yang mengenakan pakaian resmi, lengkap dengan jas dan dasi gerah bukan main, tak habis pikir dengan kondisi itu.Kok bisa?
Pengalaman menginap di kamar hotel yang bocor dan bertamu ke Istana yang tanpa pendingin ruangan itu dituliskan dengan bersahaja oleh Lee dalam memoarnya From Third World To First: The Singapore Story yang terbit pada tahun 2000.
Namun, kesan tak mengenakkan itu justru membuat Lee terus memperhatikan negara tetangga, Indonesia beserta para pemimpinnya. Bung Karno, misalnya, dinilai lebih mementingkan kebesaran suatu negara, baik jumlah penduduk maupun wilayah, dalam konteks hubungannya dengan negara-negara sekawasan.
Bung Karno juga dinilainya angkuh dan Lee mengaku kurang nyaman dengan sikap Presiden pertama RI itu, yang menempatkan diri sebagai seorang kakak yang selalu menasihati adiknya. Namun, dia tak memungkiri kalau Bung Karno memiliki karisma yang kuat.

Bahkan, kekaguman itu tak berkurang ketika Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura usai negara itu memperoleh kemerdekaan pada 9 Agustus 1965 dari Federasi Malaysia. Ketika peristiwa G30S terjadi, Lee tetap menganggap kejadian itu tak akan berdampak buruk bagi Bung Karno.
Bahkan, ketika Surat Perintah 11 Maret 1966 dikeluarkan, dia masih belum yakin bahwa Sang Proklamator itu telah tersingkir karena karisma Bung Karno yang demikian besar. Baru setelah sidang MPR 1967, ketika Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden, Lee percaya bahwa Bung Karno memang telah selesai.
Sejak itu, dia mulai memperhatikan sikap politik sang pengganti: Soeharto. Dari sudut pandang Lee, Pak Harto dinilai telah memerankan diri sebagai sangat hati-hati, lamban, namun secara bertahap mengurangi kekuasaan Bung Karno -- sampai akhirnya semua orang menyadari bahwa kekuasaan sesungguhnya telah beralih kepada penguasa Orde Baru itu.
Seiring berjalannya waktu, kedua pemimpin itu menjadi sahabat. Hubungan yang akur diawali keputusan Soeharto pada Juni 1966 selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera untuk menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura. Sejumlah kerja sama di antara kedua negara kemudian mulai terjalin.

Namun, kerikil tajam kembali muncul pada Oktober 1968 saat Singapura mengeksekusi mati, dengan cara menggantung 2 prajurit Korps Komando Operasi (KKO) -- sebutan untuk pasukan Marinir pada zaman Presiden Sukarno. Usman dan Harun, begitu mereka dikenal, adalah pelaku pengeboman di Mac Donald House yang digunakan sebagai kantor Hong Kong and Shanghai Bank pada 10 Maret 1965.
Soeharto secara terbuka meminta Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman kepada dua anggota KKO tersebut. Namun ditolak. Keduanya lalu dieksekusi gantung pada 17 Oktober 1968.
Penolakan Singapura tersebut memicu kemarahan di Indonesia. Kepulangan jenazah kedua personel KKO itu ke Tanah Air disambut secara besar-besaran. Ketegangan hubungan antara Indonesia dan Singapura mencapai klimaks. Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta, diserbu dan dirusak massa yang membawa bambu runcing.
Konflik kemudian memang mereda, namun komunikasi antara Pak Harto dan Lee tetap tersumbat. Hanya terjalin lewat sarana telekomunikasi atau dengan berkirim pesan kepada para pejabat yang saling berkunjung.
Pertemuan pertama Lee dan Pak Harto tidak terjadi di Jakarta atau Singapura, melainkan di Lusaka, ibukota Zambia. Ketika itu keduanya hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara non-Blok, September 1970. Saat itu, Lee menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto.
Selama 30 menit, keduanya membahas sejumlah topik tentang kondisi kawasan Asia Tenggara, khususnya Kamboja dan Vietnam yang baru saja ditinggalkan pasukan Amerika Serikat. Kesan Lee, Pak Harto adalah seorang pendengar yang baik dan pertemuan itu dinilainya sangat bermanfaat.
Namun, tetap saja sulit membangun komunikasi yang lebih intensif di antara keduanya karena belum ada kontak langsung dan resmi oleh pimpinan negara bertetangga ini. Karena itu, ketika muncul keinginan dari Lee untuk berkunjung ke Jakarta, pintu bagi terciptanya sebuah hubungan yang lebih baik sudah terbuka.
Tapi, Lee Khoon Choy selaku Duta Besar Singapura di Jakarta melaporkan, ada hambatan serius untuk niat baik tersebut, yaitu peristiwa digantungnya anggota marinir Indonesia di Singapura.
Sejumlah solusi pun dirundingkan, sehingga muncul gagasan dari Pak Harto, Lee diminta meletakkan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan Kalibata, ia juga menabur bunga pada makam 2 marinir Indonesia di sana. Tak diduga, Lee ternyata setuju.
Tiba di Jakarta pada 25 Mei 1973, Lee memperoleh penghormatan khusus layaknya pemimpin pemerintahan sebuah negara, dengan 19 tembakan meriam. Lee pun menepati janji dengan menaburkan bunga di makam Usman dan Harun. Ini berarti halaman baru hubungan kedua negara telah dibuka kembali.
Soeharto secara terbuka meminta Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman kepada dua anggota KKO tersebut. Namun ditolak. Keduanya lalu dieksekusi gantung pada 17 Oktober 1968.
Penolakan Singapura tersebut memicu kemarahan di Indonesia. Kepulangan jenazah kedua personel KKO itu ke Tanah Air disambut secara besar-besaran. Ketegangan hubungan antara Indonesia dan Singapura mencapai klimaks. Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta, diserbu dan dirusak massa yang membawa bambu runcing.
Konflik kemudian memang mereda, namun komunikasi antara Pak Harto dan Lee tetap tersumbat. Hanya terjalin lewat sarana telekomunikasi atau dengan berkirim pesan kepada para pejabat yang saling berkunjung.
Pertemuan pertama Lee dan Pak Harto tidak terjadi di Jakarta atau Singapura, melainkan di Lusaka, ibukota Zambia. Ketika itu keduanya hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara non-Blok, September 1970. Saat itu, Lee menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto.
Selama 30 menit, keduanya membahas sejumlah topik tentang kondisi kawasan Asia Tenggara, khususnya Kamboja dan Vietnam yang baru saja ditinggalkan pasukan Amerika Serikat. Kesan Lee, Pak Harto adalah seorang pendengar yang baik dan pertemuan itu dinilainya sangat bermanfaat.
Namun, tetap saja sulit membangun komunikasi yang lebih intensif di antara keduanya karena belum ada kontak langsung dan resmi oleh pimpinan negara bertetangga ini. Karena itu, ketika muncul keinginan dari Lee untuk berkunjung ke Jakarta, pintu bagi terciptanya sebuah hubungan yang lebih baik sudah terbuka.
Tapi, Lee Khoon Choy selaku Duta Besar Singapura di Jakarta melaporkan, ada hambatan serius untuk niat baik tersebut, yaitu peristiwa digantungnya anggota marinir Indonesia di Singapura.
Sejumlah solusi pun dirundingkan, sehingga muncul gagasan dari Pak Harto, Lee diminta meletakkan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan Kalibata, ia juga menabur bunga pada makam 2 marinir Indonesia di sana. Tak diduga, Lee ternyata setuju.
Tiba di Jakarta pada 25 Mei 1973, Lee memperoleh penghormatan khusus layaknya pemimpin pemerintahan sebuah negara, dengan 19 tembakan meriam. Lee pun menepati janji dengan menaburkan bunga di makam Usman dan Harun. Ini berarti halaman baru hubungan kedua negara telah dibuka kembali.

Sejak saat itu pula lahir tradisi baru dalam hubungan kedua pemimpin ini, yaitu pembicaraan 4 mata yang tanpa dihadiri oleh pembantu atau menteri kedua belah pihak.
Setahun kemudian, pada Agustus 1974, giliran Pak Harto berkunjung ke Singapura. Di bandara, Pak Harto disambut 21 dentuman meriam dan barisan kehormatan Angkatan Bersenjata Singapura. Selain melakukan pertukaran dokumen mengenai batas-batas teritorial laut antara kedua negara, 2 pemimpin juga meneruskan tradisi pertemuan 4 mata.
Setelah itu, berbagai pertemuan terus berlangsung. Hubungan Pak Harto dan Lee juga makin hangat karena keduanya saling mendukung. Seperti dalam kasus Timor Timur yang kemudian sampai dibawa ke PBB, Singapura pun memilih abstain saat pemungutan suara. Setahun sekali, Lee bertemu Pak Harto dan selalu diadakan pertemuan 4 mata.
Lee menggambarkan Pak Harto sebagai orang yang tenang, sopan, dan teliti. Pak Harto juga dinilai sebagai orang yang sangat memegang kata-katanya. Pak Harto di mata Lee sangat konsisten.
Sebuah kejutan dibuat Lee untuk Pak Harto tepat 20 tahun setelah pertemuan pertama mereka di Lusaka, Zambia. Ketika bertemu dengan Pak Harto dan Ibu Tien di Tokyo, Jepang, saat menghadiri penobatan Kaisar Akihito pada November 1990, Lee menyatakan rencananya untuk mengundurkan diri sebagai PM Singapura.
Menurut Lee, Ibu Tien sempat tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan lantaran dirinya masih sehat untuk terus memimpin Singapura. Namun, Lee punya alasan sendiri.
"Singapura belum pernah mengalami pergantian Perdana Menteri. Akan lebih baik bagi saya, kalau berhenti di saat yang baik, di saat saya dapat memilih pengganti," jelas Lee.
Dan benar, beberapa hari kemudian Lee mengundurkan diri sebagai PM Singapura dan diangkat menjadi Menteri Senior. Namun, hubungan Lee dengan Pak Harto tak turut berakhir.
Setahun kemudian, pada Agustus 1974, giliran Pak Harto berkunjung ke Singapura. Di bandara, Pak Harto disambut 21 dentuman meriam dan barisan kehormatan Angkatan Bersenjata Singapura. Selain melakukan pertukaran dokumen mengenai batas-batas teritorial laut antara kedua negara, 2 pemimpin juga meneruskan tradisi pertemuan 4 mata.
Setelah itu, berbagai pertemuan terus berlangsung. Hubungan Pak Harto dan Lee juga makin hangat karena keduanya saling mendukung. Seperti dalam kasus Timor Timur yang kemudian sampai dibawa ke PBB, Singapura pun memilih abstain saat pemungutan suara. Setahun sekali, Lee bertemu Pak Harto dan selalu diadakan pertemuan 4 mata.
Lee menggambarkan Pak Harto sebagai orang yang tenang, sopan, dan teliti. Pak Harto juga dinilai sebagai orang yang sangat memegang kata-katanya. Pak Harto di mata Lee sangat konsisten.
Sebuah kejutan dibuat Lee untuk Pak Harto tepat 20 tahun setelah pertemuan pertama mereka di Lusaka, Zambia. Ketika bertemu dengan Pak Harto dan Ibu Tien di Tokyo, Jepang, saat menghadiri penobatan Kaisar Akihito pada November 1990, Lee menyatakan rencananya untuk mengundurkan diri sebagai PM Singapura.
Menurut Lee, Ibu Tien sempat tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan lantaran dirinya masih sehat untuk terus memimpin Singapura. Namun, Lee punya alasan sendiri.
"Singapura belum pernah mengalami pergantian Perdana Menteri. Akan lebih baik bagi saya, kalau berhenti di saat yang baik, di saat saya dapat memilih pengganti," jelas Lee.
Dan benar, beberapa hari kemudian Lee mengundurkan diri sebagai PM Singapura dan diangkat menjadi Menteri Senior. Namun, hubungan Lee dengan Pak Harto tak turut berakhir.
Spoiler for SUMBER:
Diubah oleh AchmadBoyan 07-04-2015 15:39
0
2.2K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan