JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Setara Institute, dan Imparsial kembali mempertanyakan keberadaan Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang berisi rekomendasi pemberhentian Prabowo Subianto dari ABRI, pada 1998. Hari ini, Jumat (27/3/2015), sidang ketiga gugatan yang diajukan para pegiat hak asasi manusia terhadap Panglima TNI berkaitan surat DKP tersebut digelar di Komisi Pusat Informasi (KIP).
Dalam sidang dengan agenda mendengar keterangan saksi atau ahli dari pemohon ini, pihak pemohon batal menghadirkan saksi atau ahli.
"Rencananya kami akan menghadirkan saksi, atau ahli. Namun, karena mengalami beberapa kesulitan, akhirnya saksi tidak dapat hadir," ujar Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Fery Kusuma, saat menjelaskan kepada Ketua Majelis Hakim Yhannu setyawan, dalam sidang KIP.
Fery mengatakan, surat pemecatan terhadap Prabowo tersebut dibutuhkan oleh para pegiat HAM yang selama ini melakukan pendampingan hukum bagi korban penghilangan paksa, yang terjadi pada masa awal reformasi.
Menurut Fery, surat DKP tersebut adalah dokumen yang mampu memberikan informasi mengenai keterlibatan perwira TNI dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. Khususnya, kata Fery, yang diduga dilakukan Prabowo Subianto, yang saat itu menjadi Komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
"Dari surat tersebut bisa diketahui dalam kasus apa saja Prabowo terlibat. Karena, diduga tidak hanya kasus indisipliner saja yang dilakukan Prabowo, tetapi ada kasus-kasus lain, seperti yang terjadi di Aceh, dan tempat-tempat lain," kata Fery.
Sumur