- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tukang Ojek yang Ternyata Seorang Wartawan


TS
dudole.com
Tukang Ojek yang Ternyata Seorang Wartawan
Sore hari sepulang kuliah, seperti biasa saya buru-buru pulang karena harus mengajar. Biasanya saya akan menghabiskan lima menit singkat dalam perjalanan untuk mengobrol bersama Bang Jun, tukang ojek langganan saya. Tapi karena hari itu kondisi saya sangat mumet, saya memilih duduk diam di motor sambil berpikir. Sepertinya Bang Jun merasakan perbedaan ekspresi saya, ia kemudian bertanya hari ini kenapa diam. Saya bilang kalau sedang pusing karena bingung cara nyari dana untuk acara kampus.
Tidak disangka, Bang Jun menawarkan diri untuk mencarikan sponsor untuk kegiatan mahasiswa kami. Awalnya saya hanya ketawa-ketawa saja, saya pikir Bang Jun tidak mengerti sebanyak apa jumlah biaya yang diperlukan oleh acara kampus ini. Saya tidak bisa membayangkan kalaupun benar Bang Jun mempunyai koneksi sponsor, dari mana ia mengenal mereka? Aneh sekali kalau ia bilang ia kenal sponsor dari salah seorang penumpang ojeknya. Aneh sekali membayangkan sosok hitam dan kusam Bang Jun duduk dalam bangunan kantor ber-AC, berbincang-bincang dengan pihak sponsor. Begitu setidaknya nalar saya saat mendengar penawaran Bang Jun, akan tetapi untuk bersikap ramah dan menutupi sinisme pikiran saya, saya berpura-pura tertarik terhadap penawarannya.
“Memangnya sponsor apa Bang? Boleh juga tuh..”
“Iya, ada sponsor rokok Neng..”
“Oh, sayang banget, kampus saya nggak terima sponsor rokok.. Soalnya kampus saya bebas rokok..”
“Yah.. Sayang banget.. Padahal banyak itu anak-anak Universitas X kalau mau cari sponsor lewat saya.. Jadi cepet, kalo rokok kan gede-gede tuh duitnya”
Wah, tau aja nih abang sponsor rokok duitnya gede. Boleh juga, kayaknya ngerti nih orang..
“Yah, iya Bang.. Emang duitnya gede.. Tapi kampus saya nggak ngijinin mahasiswa ngerokok.. Jadi nggak terima sponsor rokok deh.. Abang ada kenalan sponsor yang laen ngga?”
“Nggak ada lagi Neng, Abang mah..”
“Oh.. Yaudah gak apa-apa.. Kok Abang bisa kenal sponsor rokok? Pernah buat acara apa Bang?”
“Oh.. Saya mah kenal.. Soalnya kan mereka pernah pasang iklan di tempat saya kerja.”
“Emang Abang kerja apa selain ngojek?”
“Saya mah wartawan Neng..”

Akhirnya saya sampai di tempat mengajar. Sebelum saya membayar uang ojek, Bang Jun mengeluarkan kartu namanya dan ternyata benar, dia adalah wartawan dari koran X. Nama korannya lumayan terkenal.
“Oh, iya.. Makasih Bang. Ini uangnya”
“Yo.. Makasih Neng..”
Bang Jun pergi, saya kemudian mengajar. Sampai malam saya masih kepikiran berapa gaji seorang wartawan. Sebenarnya hanya sekedar iseng. Toh, saya saat itu belum menjadi pembaca koran. Saya merasa koran dan segala jenis media informasi isinya sudah seperti sampah, karena banyak wartawan bayaran. Banyak berita yang dimanipulasi untuk mengharumkan nama baik orang yang berkuasa. Tidak ada gunanya saya membaca koran. Tidak ada gunanya saya mengikuti kasus-kasus yang ditulis di koran karena pada akhirnya juga tidak ada yang tahu siapa yang benar siapa yang salah.
Yang membuat saya terkejut adalah ternyata ada wartawan yang harus sampai mengojek untuk membiayai hidupnya. Padahal dia tidak kerja di koran jelek. Saya masuk ke JobStreet dan membuat account disana. Saya iseng-iseng menulis minat kerja menjadi wartawan.
Ternyata kisaran gaji yang ditawarkan dibawah ekspektasi yang saya tuliskan (4 juta s/d 5 juta). Kemudian saya cari tahu lagi dari berbagai forum, tulisan di Kompasiana.com, dan berbagai blog pribadi. Ternyata gaji wartawan hanya berkisar 1 s/d 3 juta.
Otak saya berpikir tanpa arah, mulai dari Bang Jun yang harus membiayai 3 orang anak, seorang istri dan ibunya.
Lalu teman saya, yang sangat bercita-cita menjadi wartawan. Yang bahkan rela mengulang kuliah untuk masuk jurusan jurnalistik meskipun usianya sudah 24 tahun.
Bang Dani, tukang ojek langganan yang sudah menikah, punya 1 istri, 2 anak yang masih sekolah di SD dan SMP, yang sekarang katanya sedang kuliah dan juga kerja sebagai wartawan.
Lalu tulisan para blogger yang berkata kalau wartawan dikejar deadline, mereka jadi susah mencari fenomena di lapangan dan ujung-ujungnya hanya menulis berdasarkan subjektivitas mereka saja.
Para wartawan yang artikelnya disuruh “GANTI!” oleh supervisornya karena tidak menyamankan mereka yang duduk di kursi nyaman.
Lalu, para wartawan bergaji minim yang harus membiayai keluarganya, yang dengan senang hati menerima amplop dari mereka yang banyak uang supaya nama mereka diharumkan dalam selembar kertas buram yang isinya sering dihujat mahasiswa yang kadang merasa terlalu pintar.

Media informasi yang saya anggap hina dan sering saya lecehkan isinya bersama teman-teman saya… Ternyata banyak sekali orang yang mau bekerja di dalamnya.
Entah kenapa saya rasanya jadi sedih. Setiap hari saya hanya meluangkan 5 menit dari 24 jam untuk mengobrol dengan Bang Dani. Dalam setahun, 5 menit bisa terkumpul menjadi 20 jam. Dia bercerita banyak hal, mulai dari pengalamannya menjadi ketua Tim Sukses dari partai politik X, Y, Z, dan sarannya kepada saya untuk tidak memilih ketiga-tiganya. Ceritanya tentang golput, ceritanya tentang anaknya yang sakit batuk, istrinya yang masak lodeh, istrinya yang marah-marah, atau waktu dia pacaran dengan istrinya. Banjir, bocor, polisi yang tidak akan menilangnya karena sudah kenal dan kasihan kalau menilang.. Dan pengalamannya mendapat amplop menulis untuk menulis sebuah artikel yang “baik”.
20 jam saya mengobrol dengan Bang Jun, saya menilai orang ini sebenarnya orang baik yang juga punya pandangan pribadi. Yang punya dorongan untuk menceritakan kebenaran kepada saya yang tidak tahu apa-apa tentang dunia politik. Manusia yang juga haus akan demokrasi. Yang punya independensi, tetapi tidak dapat mewujudkannya. Dan juga manusia yang butuh uang.
Menjadi dilema, ketika orang-orang yang cukup dekat dengan saya, yang saya nilai sebagai orang-orang baik harus bekerja di profesi yang hampir tiap ada kesempatan dijelek-jelekkan oleh saya, mahasiswi awam yang merasa punya idealisme sendiri (mungkin karena belum terpapar langsung dengan realita yang sesungguhnya, belum pernah dilemparkan dalam comberan kehidupan, belum pernah lepas sepenuhnya dari rantai yang dipegang orangtua, ibarat anjing yang lari-lari girang karena dibawa jalan-jalan, tetapi pemiliknya ikut lari dan menarik tali).
Ya, memang profesi jurnalis sudah mulai dinilai cemar oleh masyarakat.
dikutip dari http://regional.kompasiana.com/2013/...ni-578416.html
Saya setuju untuk melawan.
Lantas, bagaimana caranya melawan?

2015, Dudole
Tidak disangka, Bang Jun menawarkan diri untuk mencarikan sponsor untuk kegiatan mahasiswa kami. Awalnya saya hanya ketawa-ketawa saja, saya pikir Bang Jun tidak mengerti sebanyak apa jumlah biaya yang diperlukan oleh acara kampus ini. Saya tidak bisa membayangkan kalaupun benar Bang Jun mempunyai koneksi sponsor, dari mana ia mengenal mereka? Aneh sekali kalau ia bilang ia kenal sponsor dari salah seorang penumpang ojeknya. Aneh sekali membayangkan sosok hitam dan kusam Bang Jun duduk dalam bangunan kantor ber-AC, berbincang-bincang dengan pihak sponsor. Begitu setidaknya nalar saya saat mendengar penawaran Bang Jun, akan tetapi untuk bersikap ramah dan menutupi sinisme pikiran saya, saya berpura-pura tertarik terhadap penawarannya.
“Memangnya sponsor apa Bang? Boleh juga tuh..”
“Iya, ada sponsor rokok Neng..”
“Oh, sayang banget, kampus saya nggak terima sponsor rokok.. Soalnya kampus saya bebas rokok..”
“Yah.. Sayang banget.. Padahal banyak itu anak-anak Universitas X kalau mau cari sponsor lewat saya.. Jadi cepet, kalo rokok kan gede-gede tuh duitnya”
Wah, tau aja nih abang sponsor rokok duitnya gede. Boleh juga, kayaknya ngerti nih orang..
“Yah, iya Bang.. Emang duitnya gede.. Tapi kampus saya nggak ngijinin mahasiswa ngerokok.. Jadi nggak terima sponsor rokok deh.. Abang ada kenalan sponsor yang laen ngga?”
“Nggak ada lagi Neng, Abang mah..”
“Oh.. Yaudah gak apa-apa.. Kok Abang bisa kenal sponsor rokok? Pernah buat acara apa Bang?”
“Oh.. Saya mah kenal.. Soalnya kan mereka pernah pasang iklan di tempat saya kerja.”
“Emang Abang kerja apa selain ngojek?”
“Saya mah wartawan Neng..”

Akhirnya saya sampai di tempat mengajar. Sebelum saya membayar uang ojek, Bang Jun mengeluarkan kartu namanya dan ternyata benar, dia adalah wartawan dari koran X. Nama korannya lumayan terkenal.
“Oh, iya.. Makasih Bang. Ini uangnya”
“Yo.. Makasih Neng..”
Bang Jun pergi, saya kemudian mengajar. Sampai malam saya masih kepikiran berapa gaji seorang wartawan. Sebenarnya hanya sekedar iseng. Toh, saya saat itu belum menjadi pembaca koran. Saya merasa koran dan segala jenis media informasi isinya sudah seperti sampah, karena banyak wartawan bayaran. Banyak berita yang dimanipulasi untuk mengharumkan nama baik orang yang berkuasa. Tidak ada gunanya saya membaca koran. Tidak ada gunanya saya mengikuti kasus-kasus yang ditulis di koran karena pada akhirnya juga tidak ada yang tahu siapa yang benar siapa yang salah.
Yang membuat saya terkejut adalah ternyata ada wartawan yang harus sampai mengojek untuk membiayai hidupnya. Padahal dia tidak kerja di koran jelek. Saya masuk ke JobStreet dan membuat account disana. Saya iseng-iseng menulis minat kerja menjadi wartawan.
Ternyata kisaran gaji yang ditawarkan dibawah ekspektasi yang saya tuliskan (4 juta s/d 5 juta). Kemudian saya cari tahu lagi dari berbagai forum, tulisan di Kompasiana.com, dan berbagai blog pribadi. Ternyata gaji wartawan hanya berkisar 1 s/d 3 juta.
Otak saya berpikir tanpa arah, mulai dari Bang Jun yang harus membiayai 3 orang anak, seorang istri dan ibunya.
Lalu teman saya, yang sangat bercita-cita menjadi wartawan. Yang bahkan rela mengulang kuliah untuk masuk jurusan jurnalistik meskipun usianya sudah 24 tahun.
Bang Dani, tukang ojek langganan yang sudah menikah, punya 1 istri, 2 anak yang masih sekolah di SD dan SMP, yang sekarang katanya sedang kuliah dan juga kerja sebagai wartawan.
Lalu tulisan para blogger yang berkata kalau wartawan dikejar deadline, mereka jadi susah mencari fenomena di lapangan dan ujung-ujungnya hanya menulis berdasarkan subjektivitas mereka saja.
Para wartawan yang artikelnya disuruh “GANTI!” oleh supervisornya karena tidak menyamankan mereka yang duduk di kursi nyaman.
Lalu, para wartawan bergaji minim yang harus membiayai keluarganya, yang dengan senang hati menerima amplop dari mereka yang banyak uang supaya nama mereka diharumkan dalam selembar kertas buram yang isinya sering dihujat mahasiswa yang kadang merasa terlalu pintar.

Media informasi yang saya anggap hina dan sering saya lecehkan isinya bersama teman-teman saya… Ternyata banyak sekali orang yang mau bekerja di dalamnya.
Entah kenapa saya rasanya jadi sedih. Setiap hari saya hanya meluangkan 5 menit dari 24 jam untuk mengobrol dengan Bang Dani. Dalam setahun, 5 menit bisa terkumpul menjadi 20 jam. Dia bercerita banyak hal, mulai dari pengalamannya menjadi ketua Tim Sukses dari partai politik X, Y, Z, dan sarannya kepada saya untuk tidak memilih ketiga-tiganya. Ceritanya tentang golput, ceritanya tentang anaknya yang sakit batuk, istrinya yang masak lodeh, istrinya yang marah-marah, atau waktu dia pacaran dengan istrinya. Banjir, bocor, polisi yang tidak akan menilangnya karena sudah kenal dan kasihan kalau menilang.. Dan pengalamannya mendapat amplop menulis untuk menulis sebuah artikel yang “baik”.
20 jam saya mengobrol dengan Bang Jun, saya menilai orang ini sebenarnya orang baik yang juga punya pandangan pribadi. Yang punya dorongan untuk menceritakan kebenaran kepada saya yang tidak tahu apa-apa tentang dunia politik. Manusia yang juga haus akan demokrasi. Yang punya independensi, tetapi tidak dapat mewujudkannya. Dan juga manusia yang butuh uang.
Menjadi dilema, ketika orang-orang yang cukup dekat dengan saya, yang saya nilai sebagai orang-orang baik harus bekerja di profesi yang hampir tiap ada kesempatan dijelek-jelekkan oleh saya, mahasiswi awam yang merasa punya idealisme sendiri (mungkin karena belum terpapar langsung dengan realita yang sesungguhnya, belum pernah dilemparkan dalam comberan kehidupan, belum pernah lepas sepenuhnya dari rantai yang dipegang orangtua, ibarat anjing yang lari-lari girang karena dibawa jalan-jalan, tetapi pemiliknya ikut lari dan menarik tali).
Ya, memang profesi jurnalis sudah mulai dinilai cemar oleh masyarakat.
Seperti yang dirilis baru-baru ini oleh situs Reader’s Digest di Australia, bahwa di Australia profesi sebagai Jurnalis/Wartawan menempati posisi 6 terbawah dari 49 profesi yang dapat dipercayai. Begitu juga dengan Inggris, dalam situs journalism.co.uk, profesi jurnalis menempati urutan 3 besar teratas dalam profesi yang paling tidak bisa dipercaya. Senada dengan kedua negara tadi,Amerika Serikat (AS) juga begitu. Di AS, menurut lembaga survei yang cukup kredibel yaitu Gallup, menyimpulkan bahwa di AS profesi sebagai jurnalis/ wartawan sudah mulai tidak dipercaya oleh kalangan publik Amerika Serikat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, Bagaimana dengan profesi jurnalis/wartawan di Indonesia?
Belum ada satu survei di Indonesia yang coba untuk menelesik lebih dalam terhadap kondisi profesi jurnalis/wartawan di Indonesia sekarang ini. Jika dilakukan pun sepertinya hasilnya juga masih abu-abu. Jika dilihat dari media yang ada Indonesia, kebanyakan dari media tersebut dimiliki oleh para elite yang memiliki kepentingan politik di balik media-media tersebut. Dan satu senjata untuk terus memajukan independensi media yang ada sekarang ini adalah melawan. Melawan dan tetap menegakkan idealisme dalam penyajian berita yang berimbang.
Belum ada satu survei di Indonesia yang coba untuk menelesik lebih dalam terhadap kondisi profesi jurnalis/wartawan di Indonesia sekarang ini. Jika dilakukan pun sepertinya hasilnya juga masih abu-abu. Jika dilihat dari media yang ada Indonesia, kebanyakan dari media tersebut dimiliki oleh para elite yang memiliki kepentingan politik di balik media-media tersebut. Dan satu senjata untuk terus memajukan independensi media yang ada sekarang ini adalah melawan. Melawan dan tetap menegakkan idealisme dalam penyajian berita yang berimbang.
dikutip dari http://regional.kompasiana.com/2013/...ni-578416.html
Saya setuju untuk melawan.
Lantas, bagaimana caranya melawan?

2015, Dudole
0
1.4K
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan