- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dolar Tembus Rp 13.000, Ada Apa dengan 'Jokowi Effect'?


TS
ketek..basah
Dolar Tembus Rp 13.000, Ada Apa dengan 'Jokowi Effect'?
Jakarta -Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) menguat makin tinggi terhadap rupiah, kemarin kembali tembus Rp 13.000. Apa kabar 'Jokowi Effect' yang dulu pernah menekan dolar hingga di bawah Rp 11.000?
Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan euforia 'Jokowi Effect' tersebut terjadi kala Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Pada waktu itu ada ekspektasi positif dari investor dan pelaku pasar.
"Kalau bicara Jokowi Effect itu kan waktu Pemilu. Pada waktu itu kan orang ada ekspektasi. Nah, sekarang kan Jokowi sudah jadi pemerintah, tinggal tunggu implementasi janji," katanya kepada detikFinance, Selasa (10/3/2015).
Menurutnya, investor dan pelaku pasar keuangan saat ini cenderung melakukan aksi tunggu sambil 'menagih' janji-janji Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang disampaikan saat kampanye tahun lalu.
"Kalau soal BBM sudah cukup baik, soal fiskal juga baik. Sekarang tinggal bagaimana soal iklim investasi dan realisasi belanja," kata David.
Realisasi ini memang sedikit terlambat, terutama karena adanya masalah politik yang terjadi di dalam negeri, salah satu contohnya adalah kisruh antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, kata David, faktor utama yang membuat dolar AS melambung tinggi datang dari Negeri Paman Sam itu sendiri. Ekonomi AS yang membaik lebih cepat dari prediksi membuat mata uangnya menguat.
"Kalau soal politik (Indonesia) kemarin kan sudah cooling down. Ini lebih karena ekonomi AS membaik lebih bagus dari perkiraan. Tingkat penganggurannya kan sudah 5,5%, sudah masuk dalam range The Fed (The Federal Reserve)," katanya.
Nah, jika situasi sudah masuk dalam jalur The Fed seperti sekarang ini, maka dikhawatirkan suku bunga AS bisa naik lebih cepat dari jadwal sebelumnya, yaitu pertengahan 2015.
jokowi efek hanya ilusi fatamorgana ketika pilpres
Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan euforia 'Jokowi Effect' tersebut terjadi kala Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Pada waktu itu ada ekspektasi positif dari investor dan pelaku pasar.
"Kalau bicara Jokowi Effect itu kan waktu Pemilu. Pada waktu itu kan orang ada ekspektasi. Nah, sekarang kan Jokowi sudah jadi pemerintah, tinggal tunggu implementasi janji," katanya kepada detikFinance, Selasa (10/3/2015).
Menurutnya, investor dan pelaku pasar keuangan saat ini cenderung melakukan aksi tunggu sambil 'menagih' janji-janji Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang disampaikan saat kampanye tahun lalu.
"Kalau soal BBM sudah cukup baik, soal fiskal juga baik. Sekarang tinggal bagaimana soal iklim investasi dan realisasi belanja," kata David.
Realisasi ini memang sedikit terlambat, terutama karena adanya masalah politik yang terjadi di dalam negeri, salah satu contohnya adalah kisruh antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, kata David, faktor utama yang membuat dolar AS melambung tinggi datang dari Negeri Paman Sam itu sendiri. Ekonomi AS yang membaik lebih cepat dari prediksi membuat mata uangnya menguat.
"Kalau soal politik (Indonesia) kemarin kan sudah cooling down. Ini lebih karena ekonomi AS membaik lebih bagus dari perkiraan. Tingkat penganggurannya kan sudah 5,5%, sudah masuk dalam range The Fed (The Federal Reserve)," katanya.
Nah, jika situasi sudah masuk dalam jalur The Fed seperti sekarang ini, maka dikhawatirkan suku bunga AS bisa naik lebih cepat dari jadwal sebelumnya, yaitu pertengahan 2015.
jokowi efek hanya ilusi fatamorgana ketika pilpres
0
706
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan