Setuju boleh. Nggak salah kok. Peci itu khas Indonesia. Banget, malah. Tapi kenapa bisa ada yang namanya peci, benda berbentuk aneh untuk ditaruh di kepala sehingga dahi terekspos?
Menurut Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or Kopiah” dalam The Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa.
“Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar,” tulis Rozan. Lucunya, orang-orang arab yang dipandang sebagai penyebar peci atau songkok di tanah melayu malah meninggalkan tradisi itu. Sehingga pengamat sejarah berspekulasi soal keberadaan peci Indonesia.
Nah, tapi ada juga barang berbentuk songkok yang kira-kira bisa jadi asal dari peci di Indonesia, yaitu topi fez. Itu dia yang berwarna merah dari Turki. Di Turki topi Fez ini juga dikenal dengan nama ‘fezzi’ atau ‘phecy’. Tapi karena lidah kita lidah Indonesia, makanya kita menyebutnya ‘peci’.
Kalau dirunut ke belakang, topi Fez ini berasal dari budaya Yunani Kuno dan diteruskan oleh budaya Yunani Byzantium. Ketika Turki Ottoman mengalahkan Yunani Byzantium (Anatolia) maka Turki Ottoman mengadopsi budaya penggunaan topi fez ini terutama ketika pemerintahan Sultan Mahmud Khan II (1808-1839). Peci yang dibawa dari Turki membawa pengaruh budaya yang besar apalagi di Asia Tenggara sendiri, beberapa negara juga mengenal peci seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Di Thailand peci disebut songkok. Lain halnya dengan di Mesir, Peci disebut tarboosh dan di Asia Selatan (India dan sekitarnya) disebut Romap Cap/Rumi Cap yang artinya Topi Romawi. Namun, ada yang mengatakan bahwa Peci hasil modifikasi dari sorban Arab dengan blangkon dari Jawa. Peci sendiri mulai menyebar di rumpun Melayu pada abad ke-13, seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara.[/QUOTE]
Spoiler for Topi Fez:
Spoiler for Peci Sebagai Ikon Nasional:
Quote:
Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno bercerita bagaimana ia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan. Di masa itu kaum cendekiawan pro-pergerakan nasional enggan memakai blangkon, misalnya, tutup kepala tradisi Jawa. Jika kita lihat gambar Wahidin dan Cipto memakai blangkon, itu sebelum 1920-an. Ada sejarah politik dalam tutup kepala ini. Di sekolah “dokter pribumi”, STOVIA, pemerintah kolonial punya aturan: siswa “inlander” (pribumi) tak boleh memakai baju eropa.
Maka para siswa memakai blangkon dan sarung batik jika dari”Jawa”. Bagi yg datang dari Maluku atau Menado, misalnya, lain. Bagi siswa asal Manado atau Maluku, yang biasanya beragama Kristen, boleh memakai pakaian eropa: pantalon, jas, dasi, mungkin topi. Dari sejarah ini, tampak usaha pemerintah kolonial untuk membagi-bagi penduduk dari segi asal-usul “etnis”dan “agama”. Maka banyak aktivis pergerakan nasional menolak memakai blangkon. Apalagi mereka umumnya bersemangat “kemajuan”, modernisasi. Jadi penolakan terhadap kostum tradisi mengandung penolakan terhadap politik kolonial “divide et impera” dan penolakan terhadap adat lama. Lalu apa gantinya?
Untuk pakai topi seperti belanda-belanda itu akan terasa menjauhkan diri dari rakyat. Juni 1921, Bung Karno menemukan solusi. Ia memilih pakai peci. Waktu itu ada pertemuan Jong Java di Surabaya. Bung Karno datang,dan ia memakai peci. Tapi ia sebenarnya takut diketawakan. Tapi ia berkata pada dirinya sendiri, kalau mau jadi pemimpin, bukan pengikut, harus berani memulai sesuatu yang baru. Waktu itu, menjelang rapat mulai, hari sudah agak gelap. Bung Karno berhenti sebentar. Ia bersembunyi di balik tukang sate. Setelah ragu sebentar, ia berkata kepada diri sendiri: “Ayo maju. Pakailah pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuk SEKARANG!!!” Lalu ia masuk ke ruang rapat. “Setiap orang memandang heran padaku tanpa kata‐kata”, kata Bung Karno mengenangkan saat itu.
Untuk mengatasi kekikukan, Bung Karno bicara. “Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia.” Peci, kata Bung Karno pula, “dipakai oleh pekerja-pekerja dari bangsa Melayu”. Dan itu “asli kepunyaan rakyat kita. Menurut Bung Karno, kata “peci” berasal dari kata “pet” (topi) dan “je”, kata Belanda untuk mengesankan sifat kecil. Baik dari sejarah pemakaian dan penyebutan namanya,peci mencerminkan Indonesia: satu bangunan “inter-kultur”.
Maka tak mengherankan bila dari mana pun asalnya, agama apapun yang dianutnya, kaum pergerakan memakai peci. Kesimpulan bawah sesungguhnya peci itu bukanlah sebuah simbol agama, tapi merupakan simbol budaya dari bangsa Indonesia khususnya dan bangsa Melayu pada umumnya. Dalam hal ibadah mengapa kebanyakan orang Islam mengenakan peci (yang laki-laki), itu dimaksudkan untuk menutup kepala dari tertutupnya rambut disaat sujud ketika sholat. Dan dibeberapa Negara memiliki penutup kepala sendiri yang dikenakan dalam sholat, seperti kain sorban oleh orang Arab, peci panjang orang Turki, bahkan di Indiapun juga berbeda.
Spoiler for Sunan Kalijaga:
Quote:
Konon, peci merupakan rintisan dari Sunan Kalijaga. Pada mulanya beliau membuat mahkota khusus untuk Sultan Fatah yang diberi nama kuluk yang memiliki bantuk lebih sederhana daripada mahkota ayahnya, Raja terakhir Majapahit Brawijaya V.
Kuluk ini mirip kopiah, hanya ukurannya lebih besar. Hal itu agar sesuai ajaran Islam yang egaliter. Raja dan rakyat sama kedudukannya di hadapan Allah SWT. Hanya ketakwaan yang membedakan.
[QUOTE]Sempilan: Ada pula yang berpendapat Laksmana Ceng Ho yang membawa peci ke Indonesia. PECI berasal dari kata PE (artinya delapan) dan CHI (artinya energi), sehingga arti peci itu sendiri merupakan alat untuk penutup bagian tubuh yang bisa memancarkan energinya ke delapan penjuru angin.
Lalu SONGKOK yang berarti KOSONG DARI MANGKOK. Artinya, hidup ini seperti mangkok yang kosong. Harus diisi dengan ILMU dan BERKAH . Sementara kata KOPIAH berasal dari KOSONG KARENA DI PYAH. Maknanya: kosong karena dibuang (di pyah). Apa yang dibuang? Kebodohan dan rasa iri hati serta dengki yang merupakan penyakit bawaan syaitan.
Keabsahan kisah di atas masih perlu dipertanyakan tentunya. Yang jelas, peci merupakan pemandangan umum di tanah melayu sejak abad 13. Saat Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, ia membawa oleh-oleh peci saat pulang ke kampung halaman.
Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka.