- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Demi Buah Hati, Guru Anita Memilih Dijatuhi Sanksi


TS
Caverim
Demi Buah Hati, Guru Anita Memilih Dijatuhi Sanksi

Maria Theresia Indra Anita, 35 tahun, guru kelas III SD Fransiscus Asisi, Jakarta, tak tahu lagi harus berbuat apa. Bukan simpati yang didapat saat anak semata wayangnya sakit, melainkan sebuah surat peringatan (SP) dan sanksi dari pihak sekolah dari tempatnya mengajar.
Anita yang sudah mengajar di Asisi sejak 2009 terpaksa tidak dapat mengikuti kegiatan retret yang diadakan sekolah pada Oktober 2014 lalu. Maklum saja, putri semata wayangnya yang baru berusia 11 bulan saat itu sedang sakit dan demam tinggi yang tak kunjung turun. Di luar itu, guru kelahiran Yogyakarta ini juga tak tega meninggalkan bayi yang belum genap satu tahun usianya itu untuk mengikuti retret yang diadakan selama dua hari tiga malam di Ciawi, Bogor.
“Saya tidak tega meninggalkan bayi saya dalam kondisi sakit hanya dengan baby sitter yang baru bekerja satu bulan dengan kami, apalagi untuk acara yang harus menginap,” ungkap Anita.
Sebenarnya, kondisi tersebut sudah diantisipasi Anita sejak jauh-jauh hari. Tiga minggu sebelumnya, Anita sudah berusaha meminta izin kepada pihak sekolah untuk meminta dispensasi. “Saya rela harus diganti dengan tugas lain sebagai pengganti absennya saya di retret,” imbuhnya.
Namun, pihak sekolah bergeming. Kepala sekolah dan pihak yayasan berkeras untuk menolak pengajuan izin yang Anita dan beberapa guru senasib lainnya ajukan untuk tidak mengikuti retret.
Keberanian Anita mengajukan izin tersebut disampaikan karena di retret-retret sebelumnya guru-guru yang mengalami kondisi serupa biasanya diberikan dispensasi untuk tidak mengikuti kegiatan tersebut.
“Saya tidak tahu kenapa tahun ini tidak bisa. Padahal di kegiatan lain saya tidak pernah absen, termasuk ketika karyawisata tahun lalu, saya tetap ikut mengawal murid-murid meskipun saya sedang hamil tua,” ungkap dia.
Alasan yang diungkapkan pihak sekolah, menurut Anita, karena retret diadakan untuk kebersamaan antarguru. “Guru-guru lain yang memiliki bayi mungkin bisa menitipkan anaknya kepada keluarga, tapi pada kasus saya, di Jakarta tidak ada saudara. Keluarga kami di Yogyakarta dan Bali,” ujar wanita kelahiran 20 Februari 1980 ini.
Sikap sekolah tersebut ternyata tidak main-main. Sebulan setelah kegiatan retret, Anita pun mendapat Surat Peringatan (SP) I bernomor SP 1 No 270/SP-1/S1/X/2014 dari pihak sekolah dengan sepengetahuan pihak Yayasan Pendidikan Santo Fransiskus Asisi.
Di dalam surat peringatan tersebut juga disertai sanksi yang dijatuhkan kepada Anita. Yakni penundaan kenaikan gaji berkala yang seharusnya didapatnya pada Januari 2016 mendatang, harus ditunda selama 6 bulan karena apa yang disebut sekolah sebagai pelanggaran tersebut.
Untuk membela haknya tersebut, Anita sudah mencoba menegosiasi kembali kepada pihak sekolah untuk mencabut sanksi, dengan pertimbangan yang sangat manusiawi. Namun, pihak sekolah berkeras untuk tidak meladeni, bahkan Anita dipersilakan untuk menempuh penyelesaian di jalur lain.
Kondisi itulah yang mendorong Anita untuk mengadukan kasus tersebut ke Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan. “Saya minta dibantu pengacara untuk mengadukan persoalan ini ke Disnaker,” ungkap lulusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.
Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo, ikut angkat bicara. Ia menilai kasus yang menimpa Anita ini sangat menyedihkan dan tidak manusiawi.
Perlakuan sekolah terhadap guru seperti itu merupakan contoh bahwa guru di Indonesia belum merdeka dan rentan terhadap kriminalisasi.
http://www.koran-jakarta.com/?28746-...ijatuhi+sanksi
Sikap manusiawi di tengah kian terkikis. Tak terkecuali dalam dunia pendidikan.
0
3K
24


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan