Ultralight Hiking (UH), Mendaki Gunung dengan Beban Super Ringan namun Tetap Aman
TS
donpachi
Ultralight Hiking (UH), Mendaki Gunung dengan Beban Super Ringan namun Tetap Aman
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Yuk Belajar Ultralight Hiking
Temen-temen yang sudah akrab menggeluti kegiatan alam bebas pasti sudah sangat paham apa saja keluhan-keluhan yang sering menghinggapi para hiker dalam upayanya mencapai puncak-puncak tertinggi. Yaah banyak banget rintangan dan keluhan kalau mau di-list atu-atu, seperti hawa dingin yang menusuk, trek gunung yang nggak kenal ampun, gigitan pacet, sampai cuaca yang sulit ditebak (lebih sulit nebak hatimuu #ealah). Dari berbagai keluhan itu, sebenarnya ada satu hal yang paling krusial yakni beratnya beban di pundak yang harus dibawa pendaki (nggak seberat beban hidup sih).
Terkadang pendaki harus membawa keril yang beratnya mencapai puluhan kilo yang berisi tetek bengek peralatan hiking dan logistik pendakian, mulai dari ranselnya sendiri yang udah berat, tenda atau rumah keong, matras, sleeping bag, jaket, jas hujan, peralatan masak, pakaian ganti, toga wisuda #eh, dll. Apalagi jika durasi perjalanannya sampai berhari-hari, beban keril ini konon bisa mencapai 30 kg!!! (mirip karung beras dah). Nggak mengherankan kalo pendaki akrab sama joke-joke macem gini, “Ke gunung kok bawa kulkas om atau Itu ransel muat diisi bocah kali ya, berat bingit kayaknya”, dan segudang joke-joke lainnya.
Karena membawa beban yang terlampau berat dalam durasi berjam-jam, efeknya ya bisa ditebak. Pendaki jadi mudah lelah (aku lelah berjalan katanya), lebih banyak berhenti di jalan, punggung pegal-pegal, serta dengkul dan lutut yang mudah bengkak. Ketika sampai di tempat peristirahatan, kita pun ingin cepat-cepat beristirahat, meringkuk ke dalam sleeping bag, di dalam tenda karena tubuh yang sudah sangat lelah. Padahal momen-momen kayak gini harusnya sangat pas kita manfaatkan buat bercengkerama menikmati suasana malam di gunung yang aduhai bersama rekan2 pendaki lain. Menikmati hangatnya api unggun dan tenteramnya hati karena kebersamaan, beratapkan langit malam berhias kerlap-kerlip bintang bersama kamu #ceileh. Tapi ya gimana lagi lha wong badan udah capek, merengek minta istirahat, akhirnya cuman bisa menikmati suasana itu di alam mimpi.
Trus bagaimana solusinya!!!
Spoiler for Ini Solusinya Gan!!!:
---pilih bawa tas yang kanan apa yang kiri---
Minum Mastin! (salah fokus). Rupanya keluhan-keluhan ini tidak hanya dimonopoli para pendaki di Indonesia saja lho. Para penikmat kegiatan hiking di negara-negara lain pun sudah lama sama-sama merasakannya. Adalah Ray Jardine, seorang penggiat kegiatan alam bebas asal negeri paman sam, pertama kali memperkenalkan konsep baru dalam pendakian yakni kegiatan hiking super ringan alias ultralight hiking, yang sering disingkat menjadi UH. Dalam bukunya yang berjudul “Beyond Backpacking – Guide to Lightweight Hiking”, om Jardine menjelaskan secara detail mengenai prinsip-prinsip UH hingga ke perancangan peralatan hiking yang ringan dan inovatif. Naaaah dari sinilah saya ingin ngebahas dikit-dikit tentang konsep UH.
UH merupakan konsep memanajemen perjalanan dalam kegiatan alam bebas dengan cara mengurangi seminimal mungkin beban yang harus dibawa traveller tanpa harus mengorbankan aspek keamanan dalam perjalanan itu. Jadi sederhananya, kita diajak untuk pintar-pintar dalam memilah peralatan pendakian yang tepat guna, dengan pertimbangan bobot yang ringan. Hal ini tentunya membutuhkan perencanaan perbekalan yang matang dari para pendaki. Kuncinya bukan dengan meninggalkan peralatan-peralatan pendakian yang utama, seperti tenda atau sleeping bag, namun menggantinya dengan peralatan yang punya bobot lebih ringan atau mencari barang yang memiliki banyak fungsi.
Biar lebih jelas dan nggak ngambang, yuk langsung praktek penerapan konsep UH sederhana
Spoiler for Dimulai dari tenda:
tenda ultralight asal China
Shelter atau tempat berlindung merupakan kebutuhan wajib bagi para pendaki untuk bertahan dari ganasnya cuaca gunung. Shelter yang paling umum dibawa pendaki ya tenda atau rumah keong-keongan. Dalam konsep UH, pendaki disarankan memilih tenda berbobot super ringan. Biasanya tenda ini memiliki karakteristik tersendiri, seperti frame dan pasaknya terbuat dari bahan alumunium pesawat yang super ringan namun kokoh, ketimbang bahan fiber seperti pada umumnya. Sebuah tenda UH rata-rata berbobot 1,5 kg – 2 kg dengan kapasitas single atau 2 orang.
Produsen tenda luar negeri asal AS atau Eropa sudah lama melihat peluang ini sehingga banyak produk mereka yang ada di pasaran alat outdoor Indonesia. Harganya ya, jangan ditanya, pokoknya sering bikin sakit hati. Beli tenda aja bisa setara sama UM kredit motor 3 biji wkwk. Kalau saya sih menyiasatinya dengan memakai produk tenda UH asal China yang harganya lebih bersahabat namun tetap memiliki fungsi yang sama.
Bagi para pecinta UH garis keras, malah udah bener-bener move-on dari tenda. Dengan bangga mereka menyebut dirinya sebagai hammockers. Ya ini karena mereka memakai shelter berupa hammock. Itu lho benda mirip ayunan gantung di pohon yang biasanya buat tidur-tiduran di pantai. Mereka mengklaim hammock itu bener-bener soulmate-nya para pecinta UH karena selain bobotnya yang enteng bingits, juga sangat praktis untuk dikemas dalam tas, serta katanya sih bisa pules buat tidur. FYI, UH hammock bobotnya cuman ½ kg beroooh. Namun hammock juga memiliki beberapa kekurangan, seperti tidak adanya privasi (nggak bisa buat mesra-mesraan, khusus buat yang udah nikah) dan perlindungan cuaca yang relatif minim.
Spoiler for UH Keril dan Sleeping Bag:
Seperti yang sudah saya katakan, para pecinta UH sudah lama meninggalkan model keril ala-ala kulkas atau “gendongan bayi” yang volumenya 70-75l. Keril ideal bagi konsep UH cukup bervolume 30-40l saja dan tentunya sangat ringan. Jadi kalau dilihat mungkin modelnya lebih mirip backpack atau semi keril aja. Produsen lokal yang sudah cukup baik membidik konsep ini belum banyak, yang saya perhatikan adalah brand Eiger, Consina, atau Cozmeed.
Untuk sleeping bag rada-rada susah sih, soalnya aturan kunci dalam pemilihan SB itu udah pakem yakni bobot vs kenyamanan dan ketahanan cuaca. Semakin ringan bobot SB biasanya tingkat kenyamanan dan pertahanannya dari hawa dingin juga berkurang. Namun setidaknya yang bisa jadi patokan, SB jangan kelewat berat atau kelewat ringan. Pilihlah yang pertengahan dan kita merasa benar-benar nyaman dengannya. Produk lokal yang saya percaya untuk saat ini adalah Eiger dengan SB model muminya.
Spoiler for Matras dan alas tidur:
Matras tidur yang biasanya memakai matras karet alat TNI bisa disiasati untuk meminimalisir bobotnya dengan matras alumunium foil yang beratnya setara dengan berat sebungkus mie instan. Harganya nggak mahal-mahal amat kok, sekitar 60-80 ribu rupiah. Dan matras jenis ini saya rasa sudah cukup baik mengisolasi hawa dingin dari tanah, cuman nggak begitu empuk. Kalau mau yang ekstra empuk dan tetap ultralight, ya siap2 merogoh kocek lebih dalem dan siap-siap sakit hati bagi yang berduit tipis hehe. Namanya sleeping pad, modelnya bisa tiup atau pompa dan memang ciamik buat kemping. Ukuran packing paling cuman sebesar botol air mineral. Harga sleeping pad model kayak klymit static V bisa 5 kali lipat harga kasur busa di kosanmu yang sekarang udah agak kempes.
Spoiler for Kompor Hiking Ultralight:
ane ma temen2 biasa masak bikin teh pake trangia cola gan
Gimmicks adalah bahasa keren dari printilan peralatan-peralatan outdoor yang bisa dikonversi menggunakan konsep UH. Beberapa di antaranya, seperti coba saya sebutkan satu per satu, seinget saya aja ya. Kompor portabel seharga Rp 150.000 dan tabung gasnya bisa diganti dengan trangia cola dan bahan bakar spirtus 600 ml. Saya rasa teknik ini cukup reliabel untuk pendakian-pendakian singkat dan keperluan sederhana seperti merebus air dan menghangatkan makanan. Secara, trangia cola alias kompor spirtus DIY ini bikinnya gampang, tinggal cari di Youtube tutorial cara bikinnya.
Spoiler for Jas Hujan/Ponco:
murmer
Jas hujan atau ponco biasanya saya cuman bawa jas hujan plastik HDPE seharga Rp 5.000 yang biasanya dipakai pak tukang becak hehe. Selain sangat ringan juga murmer dan disposabel.
Spoiler for Baju dan Celana Hiking:
nampang dulu
Untuk kedua item ini sangat direkomendasikan guys and brooo jangan membawa kaos yang terbuat dari bahan katun (cotton). Dari hasil ngublek-ngublek forum pendakian, saya dapat ilmu kalau bahan katun itu tidak cocok untuk kegiatan mendaki gunung karena mudah menyerap kelembapan dan sulit mengering. Sehingga ketika basah lepek-lepek kena keringat atau lembab bisa bikin pemakainya kedinginan yang jika parah berujung pada kondisi hipotermia.
Bahan yang ideal sih ya pakaian khusus buat pendakian. Cuman yaaaaa, lagi-lagi harganya bikin sakit hati. Saya mensiasatinya dengan memakai kaos bola alias jersey-jersey (yang kw aja biar ramah di kantong). Bisa juga dengan kaos-kaos lain asalkan bahannya tetap terbuat dari polyester atau nilon (ini bisa dilihat dari label merk dalam kaos). Bahan tersebut lebih cepat kering, menguapkan keringat, dan lebih ringan tentu saja. Hal ini juga berlaku dalam memilih celana untuk kegiatan mendaki. Sooo guys, stop ikut-ikutan pendaki 5cm yang pada pake jeans yaaa.
Sekian pengalaman tentang ultralight hiking yang dapat saya bagikan kepada teman-teman semua. Patut dicatat untuk mempraktekkan konsep UH butuh proses belajar dibarengi praktek di alam bebas yang kontinyu. Saya pribadi juga masih harus banyak belajar kepada rekan-rekan pendaki senior yang lebih dulu mempraktekkannya. Semoga memberi manfaat.