- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
TAK ADA DEMOKRASI DI PAPUA


TS
jodieisme
TAK ADA DEMOKRASI DI PAPUA
Quote:
Terinspirasi dari Thread ini, ane jadi kepikiran buat ngumpulin dan/atau ngebikin tulisan tentang kejadian-kejadian di Papua yg gak banyak diketahui orang. Yang ane bahas beragam, bisa politik, pariwisata, budaya, ideologi ataupun makanan khas Papua, pokoknya apapun tentang Papua. Karena kalo agan en sista belum ngerasain hidup di Papua, maka belum bisa dibilang orang Indonesia seutuhnya. Apalagi kalo punya stigma tentang orang Papua. Alhamdulillah, dari kurun 2007-2011 ane sempet tinggal di sana, jadi bisa ane bilang kalo di Papua, Indonesia terasa asing. Nasionalisme itu surealis. Karena jelas sekali pada siapa pemerintah Indonesia berpihak. Pendekatan-pendekatan fasistik yg represif itu jelas sekali. Pemuda idiot apatis sekalipun tau. Okeh, gak usah lama-lama intronya, tulisan yg pertama ini bukan main bagusnya. Akurat dlm menggambarkan kondisi yg sebenarnya terjadi di Papua.
Dan berhubung ini adalah Thread pertama dari serial thread ane yang ngebahas tentang Papua, ane mohon maaf kalo Mungkin thread-thread ane gak bakal sebagus thread-thread HT yg bertebaran tapi ane sebisa mungkin bakal ngasi hal-hal yang informatif tentang Papua dan menyajikannya disini melalui kutipan sebagian maupun seluruhnya kayak yg ini. Tulisan tentang Papua yg pertama ini ane kutip seluruhnya dengan tanpa mengurangi rasa hormat dari tulisan Zely Arian di kanal Harian Indoprogress. Selamat menikmati.
Oh iya, silakan di-subscribe jika masih merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
JUDUL tulisan ini digubah dari pernyataan serupa yang ditegaskan Wiji Thukul terhadap demokrasi Indonesia dalam pembukaan Manifesto Pendirian Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996, ketika diktator Orde Baru masih berkuasa. Ketika Thukul mengatakannya, lima paket UU politik adalah pintu penjara Orde Baru bagi para aktivis yang teguh memperjuangkan sikap politik dan membela hak-hak rakyat.
Lima belas tahun reformasi sudah berlalu, ruang politik bagi rakyat untuk menyusun manuver dan membangun kekuatan mulai lebih terbuka. UU Politik serupa Orde Baru tak lagi berlaku, para tahanan politik dibebaskan, walaupun orang-orang yang dihilangkan paksa oleh para Jenderal Orba, seperti halnya Thukul, belum ditemukan. Dan para jenderal pelanggar HAM masih berkuasa.
Namun, di dalam 15 tahun reformasi itu, demokrasi seperti yang dikehendaki rakyat Indonesia, tidak berlaku di Papua. Sebanyak 40 orang tahanan politik sejak tahun 2003 tidak diakui dan diurus negara, sedikitnya 30 orang lainnya menyusul ditahan sejak 1 Mei 2013 atas hak mereka berkumpul dan berekspresi. Rakyat Papua adalah korban sekaligus tumbal bagi persekongkolan pemodal internasional, militer, dan pemerintah Indonesia atas sumber daya yang kaya di tanah tak merdeka. Atas dasar itulah artikel ini ditulis.
Kita perlu memahami peta masalah di Papua, khususnya tertutupnya ruang demokrasi sejak kematian Theys Eluway di tahun 2001, dan seting ekonomi politik di mana ia berlangsung. Di sana tampak penyingkiran sistematis dan politis orang Papua di tanahnya sendiri. Mengapa tidak ada perubahan pendekatan dari Jakarta di era reformasi? Itu pertanyaan yang penting dijawab, sama pentingnya dengan pembangunan pergerakan untuk melawan dua warisan politik Orde Baru yang terus selamat dan belum bisa ditandingi hingga saat ini: politik anti-demokrasi dan anti-separatisme. Kedua persoalan itu adalah kerikil dalam sepatu bagi arah demokrasi Indonesia, apalagi Papua.
Dan berhubung ini adalah Thread pertama dari serial thread ane yang ngebahas tentang Papua, ane mohon maaf kalo Mungkin thread-thread ane gak bakal sebagus thread-thread HT yg bertebaran tapi ane sebisa mungkin bakal ngasi hal-hal yang informatif tentang Papua dan menyajikannya disini melalui kutipan sebagian maupun seluruhnya kayak yg ini. Tulisan tentang Papua yg pertama ini ane kutip seluruhnya dengan tanpa mengurangi rasa hormat dari tulisan Zely Arian di kanal Harian Indoprogress. Selamat menikmati.

Oh iya, silakan di-subscribe jika masih merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Quote:
TAK ADA DEMOKRASI DI PAPUA
27 Januari 2014
Zely Ariane
Harian Indoprogress
27 Januari 2014
Zely Ariane
Harian Indoprogress
Quote:
‘Orang-orang Papua selalu jadi korban, dirudapaksa, dibunuh di mana-mana. Hak azasi orang Papua dicabut paksa oleh Amerika, Inggris, Australia, dan Indonesia … Kenapa saya ada di areal Freeport? Karena pembantaian demi pembantaian, itu karena emas tembaga. Pemerintah (TNI-Polri) tidak pernah merasa orang Papua bagian dari Indonesia karena lebih mementingkan perusahaan daripada masyarakat yang harusnya dilindungi.’
Kelly Kwalikkepada Jimmy Erelak, dalam Markus Haluk (2013:286)
Kelly Kwalikkepada Jimmy Erelak, dalam Markus Haluk (2013:286)
JUDUL tulisan ini digubah dari pernyataan serupa yang ditegaskan Wiji Thukul terhadap demokrasi Indonesia dalam pembukaan Manifesto Pendirian Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996, ketika diktator Orde Baru masih berkuasa. Ketika Thukul mengatakannya, lima paket UU politik adalah pintu penjara Orde Baru bagi para aktivis yang teguh memperjuangkan sikap politik dan membela hak-hak rakyat.
Lima belas tahun reformasi sudah berlalu, ruang politik bagi rakyat untuk menyusun manuver dan membangun kekuatan mulai lebih terbuka. UU Politik serupa Orde Baru tak lagi berlaku, para tahanan politik dibebaskan, walaupun orang-orang yang dihilangkan paksa oleh para Jenderal Orba, seperti halnya Thukul, belum ditemukan. Dan para jenderal pelanggar HAM masih berkuasa.
Namun, di dalam 15 tahun reformasi itu, demokrasi seperti yang dikehendaki rakyat Indonesia, tidak berlaku di Papua. Sebanyak 40 orang tahanan politik sejak tahun 2003 tidak diakui dan diurus negara, sedikitnya 30 orang lainnya menyusul ditahan sejak 1 Mei 2013 atas hak mereka berkumpul dan berekspresi. Rakyat Papua adalah korban sekaligus tumbal bagi persekongkolan pemodal internasional, militer, dan pemerintah Indonesia atas sumber daya yang kaya di tanah tak merdeka. Atas dasar itulah artikel ini ditulis.
Kita perlu memahami peta masalah di Papua, khususnya tertutupnya ruang demokrasi sejak kematian Theys Eluway di tahun 2001, dan seting ekonomi politik di mana ia berlangsung. Di sana tampak penyingkiran sistematis dan politis orang Papua di tanahnya sendiri. Mengapa tidak ada perubahan pendekatan dari Jakarta di era reformasi? Itu pertanyaan yang penting dijawab, sama pentingnya dengan pembangunan pergerakan untuk melawan dua warisan politik Orde Baru yang terus selamat dan belum bisa ditandingi hingga saat ini: politik anti-demokrasi dan anti-separatisme. Kedua persoalan itu adalah kerikil dalam sepatu bagi arah demokrasi Indonesia, apalagi Papua.
Quote:
Berhubung batasan karakter dari KasKus semakin berkurang, ane kepaksa ngebagi tulisan yg bagus ini jadi beberapa bagian. Bagian Kedua dan seterusnya ada di posting-posting selanjutnya. Harap dimaklumi. 

Quote:
Bagian Pertama
Spoiler for Memahami peta masalah dan solusi Papua:
Memahami peta masalah dan solusi Papua
Tidak mesti menjadi orang Papua untuk bersolidaritas membela Papua. Bagi orang non Papua seperti saya, Papua adalah kita. Mengenal masalah Papua akan memperkenalkan kita pada Indonesia yang sebenarnya: suatu negeri yang proses negosiasi kebangsaannya belum selesai, apalagi harga mati. Membicarakan Papua berarti memikirkan apa yang harus diubah oleh Indonesia terhadap Papua, dan bukan sebaliknya. Karena masalah sekaligus solusi bagi persoalan Papua terletak di Jakarta, pusat kekuasaan Indonesia.
Banyak sekali tawaran cara menilai masalah Papua dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi orang Papua maupun orang Indonesia. Di tahun 1996, dalam manifestonya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah yang pertama mengakui adanya persoalan kebangsaan di Maubere, Aceh dan Papua[1] sekaligus memberi keberpihakan pada upaya-upaya penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Demikian halnya dengan Gus Dur yang tidak ragu mengembalikan nama Papua pada 1 Januari tahun 2000, dan penggunaan simbol bintang kejora sebagai identitas orang Papua. Oleh karena itu, sepertinya, Gus Dur lah satu-satunya elit Indonesia yang mendapat penghargaan dari orang Papua atas keberpihakan demokrasinya untuk Papua.[2]
Namun setelah era Gus Dur, khususnya akibat implementasi Otsus (UU No. 21/2001) dan pemekaran Provinsi Papua (Inpres No.1 tahun 2003), hubungan Papua-Jakarta semakin memburuk. Frans Maniagasi, dari Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua), di tahun 2004, memandang persoalan Papua berakar pada ketiadaan kepercayaan antara Indonesia terhadap Papua, dan sebaliknya.[3] Ketidakpercayaan itu timbul oleh karena inkonsistensi kebijakan pemerintah Jakarta terhadap Papua.
Amiruddin al Rahab, dalam bukunya Heboh Papua (2010: ix) menyebutkan tak ada yang baru dalam landscape HAM dan sosial politik di Papua. Sejak 40 tahun yang lalu masalah dasar di Papua sama, yaitu ‘seputar kemiskinan, ketidakadilan dan trauma akibat tindakan kekerasan, yang terjadi karena pemerintah dan tokoh-tokoh Papua disandera oleh sengketa – yang dalam literatur politik disebut gerakan separatisme.’
Sebelumnya, di dalam Papua Road Map yang diterbitkan oleh LIPI (2009), satu pengakuan sekaligus harapan terobosan jalan keluar terhadap persoalan Papua tersaji di atas meja. Terdapat empat kategori persoalan: sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; kegagalan pembangunan; inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua.
Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otonomi Khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. (LIPI 2009: 7)
Moderasi, negosiasi, dan kompromi antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis Papua merupakan salah satu kunci penyelesaian konflik Papua menurut tim LIPI. Berdasarkan analisis konflik tersebut Jaringan Damai Papua (JDP) hadir mengusung agenda dialog. Pemerintah merespon wacana dialog, yang disampaikan dalam pidato Presiden SBY tanggal 16 Agustus 2010 bahwa: ‘Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik.’[4]
Pada tanggal 5-7 Juli 2011 di Jayapura Papua diselenggarakan Konferensi Damai Papua yang dihadiri oleh 500 perwakilan rakyat Papua dan 300 orang peninjau. Namun hasil rekomendasi dialog damai tidak disikapi dengan positif oleh pemerintah. Bahkan berbagai kekerasan masih terus berlangsung ketika masyarakat Papua mengajak berdialog dengan Jakarta. Komunikasi konstruktif tidak pernah terjadi. Dengan demikian, solusi yang paling visible ini pun semakin hari semakin suram karena tidak ada keberpihakan dan perubahan pendekatan dari Jakarta.
Di tengah sulitnya meyakinkan Jakarta akan kepentingan terhadap dialog dengan Papua, Socratez Sofyan Yoman (2011), menambahkan bahwa dialog damai yang harus dilakukan antara pemerintah Papua dan rakyat Papua Barat haruslah tanpa syarat, dan dimediasi oleh pihak ketiga (internasional). Hal ini dilandasi oleh sejarah politik integrasi Papua ke Indonesia yang cacat partisipasi demokratis serta pelanggaran pemerintahan Orde Baru terhadap perjanjian New York, 15 Agustus 1962.[5]
Artinya, di tengah syarat dan tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat Papua terhadap dialog yang dimaksud, pemerintahan di Jakarta bahkan telah lebih dulu mundur teratur dan tak menujukkan sikap-sikap kompromi dalam bentuk apapun. Peningkatan kekerasan di Papua oleh militer Indonesia justru menjadi jawaban pemerintah atas tuntutan rakyat Papua, yang sebetulnya tidak berhasil ‘diintegrasikan’ selama kekuasaan Orde Baru.
Menurut Herman Katmo,[6] seorang intelektual Papua dari National Papua Solidarity: ‘untuk memperoleh konsensus politik terkait format dialog di antara orang Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya agar ada kesempatan bagi seluruh masyarakat Papua mengkonsolidasikan diri. Intimidasi, ancaman, campur tangan, dan bentuk-bentuk kamuflase politik yang sengaja diadakan untuk menghambat proses ini harus ditiadakan. Protes damai orang Papua jangan disikapi dengan kekerasan. Para tahanan politik Papua harus dibebaskan tanpa syarat agar mengikuti proses ini. Tidak perlu menyangkal atau menutupi keberadaan para tapol Papua ke publik internasional. Seluruh pasukan non-organik harus ditarik dari tanah Papua, kiat pembangunan milisi harus dihentikan, dan pendekatan militeristik harus diganti. Tanpa semua itu, sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk penyelesaian Papua secara damai. Jakarta akan jalan sesuai maunya, demikian juga rakyat Papua akan jalan dengan kebenarannya sendiri, ibarat kata pepatah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.”
Oleh sebab itulah, pada kenyataannya, suka tidak suka, persoalan Papua menurut kacamata sebagian besar orang Papua, dan orang Indonesia, tidaklah sama. Norman Vob, koordinator WestPapua Network, sebuah perkumpulan solidaritas Papua berbasis di Jerman, dalam satu kunjungannya ke sekretariat NAPAS, mencontohkan betapa sulitnya meyakinkan orang Papua terhadap kemungkinan peluang reformasi kebijakan dan pemerintahan di Jakarta dan di Papua dalam mengatasi, sekalipun parsial, persoalan-persoalan rakyat Papua. Sementara bagi para pekerja HAM dan gerakan sosial Indonesia perubahan pendekatan Jakarta dalam menangani Papua, sekecil apapun, adalah target advokasi politik yang sangat penting, tidak saja bagi Papua namun bagi iklim demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Di sinilah tepatnya dimensi dialektis dalam peta masalah Papua kita letakkan: dialektika antara kehendak orang Papua dengan pembukaan ruang politik di Indonesia.
Kini, setelah 50 tahun penyerahan administrasi Papua ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, hampir seluruh spektrum politik di Papua bersepakat bahwa situasi Papua semakin memburuk. Mereka bersepakat bahwa persoalan Papua begitu kompleks meliputi sejarah dan status politik, diskriminasi dan marjinalisasi masyarakat asli, konflik agraria dan lingkungan, serta pelanggaran hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial, budaya. Memposisikan satu masalah lebih utama dari yang lain adalah tindakan yang merugikan, khususnya di tengah situasi kemanusiaan yang semakin memburuk bagi rakyat Papua di berbagai sisi saat ini. Demikian pula kerugian ketika memisahkan dan mengisolasi satu masalah dari masalah lainnya, karena justru solusi yang dikehendaki mayoritas rakyat tidak akan ditemukan.
Tidak mesti menjadi orang Papua untuk bersolidaritas membela Papua. Bagi orang non Papua seperti saya, Papua adalah kita. Mengenal masalah Papua akan memperkenalkan kita pada Indonesia yang sebenarnya: suatu negeri yang proses negosiasi kebangsaannya belum selesai, apalagi harga mati. Membicarakan Papua berarti memikirkan apa yang harus diubah oleh Indonesia terhadap Papua, dan bukan sebaliknya. Karena masalah sekaligus solusi bagi persoalan Papua terletak di Jakarta, pusat kekuasaan Indonesia.
Banyak sekali tawaran cara menilai masalah Papua dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi orang Papua maupun orang Indonesia. Di tahun 1996, dalam manifestonya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah yang pertama mengakui adanya persoalan kebangsaan di Maubere, Aceh dan Papua[1] sekaligus memberi keberpihakan pada upaya-upaya penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Demikian halnya dengan Gus Dur yang tidak ragu mengembalikan nama Papua pada 1 Januari tahun 2000, dan penggunaan simbol bintang kejora sebagai identitas orang Papua. Oleh karena itu, sepertinya, Gus Dur lah satu-satunya elit Indonesia yang mendapat penghargaan dari orang Papua atas keberpihakan demokrasinya untuk Papua.[2]
Namun setelah era Gus Dur, khususnya akibat implementasi Otsus (UU No. 21/2001) dan pemekaran Provinsi Papua (Inpres No.1 tahun 2003), hubungan Papua-Jakarta semakin memburuk. Frans Maniagasi, dari Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua), di tahun 2004, memandang persoalan Papua berakar pada ketiadaan kepercayaan antara Indonesia terhadap Papua, dan sebaliknya.[3] Ketidakpercayaan itu timbul oleh karena inkonsistensi kebijakan pemerintah Jakarta terhadap Papua.
Amiruddin al Rahab, dalam bukunya Heboh Papua (2010: ix) menyebutkan tak ada yang baru dalam landscape HAM dan sosial politik di Papua. Sejak 40 tahun yang lalu masalah dasar di Papua sama, yaitu ‘seputar kemiskinan, ketidakadilan dan trauma akibat tindakan kekerasan, yang terjadi karena pemerintah dan tokoh-tokoh Papua disandera oleh sengketa – yang dalam literatur politik disebut gerakan separatisme.’
Sebelumnya, di dalam Papua Road Map yang diterbitkan oleh LIPI (2009), satu pengakuan sekaligus harapan terobosan jalan keluar terhadap persoalan Papua tersaji di atas meja. Terdapat empat kategori persoalan: sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; kegagalan pembangunan; inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua.
Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otonomi Khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. (LIPI 2009: 7)
Moderasi, negosiasi, dan kompromi antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis Papua merupakan salah satu kunci penyelesaian konflik Papua menurut tim LIPI. Berdasarkan analisis konflik tersebut Jaringan Damai Papua (JDP) hadir mengusung agenda dialog. Pemerintah merespon wacana dialog, yang disampaikan dalam pidato Presiden SBY tanggal 16 Agustus 2010 bahwa: ‘Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik.’[4]
Pada tanggal 5-7 Juli 2011 di Jayapura Papua diselenggarakan Konferensi Damai Papua yang dihadiri oleh 500 perwakilan rakyat Papua dan 300 orang peninjau. Namun hasil rekomendasi dialog damai tidak disikapi dengan positif oleh pemerintah. Bahkan berbagai kekerasan masih terus berlangsung ketika masyarakat Papua mengajak berdialog dengan Jakarta. Komunikasi konstruktif tidak pernah terjadi. Dengan demikian, solusi yang paling visible ini pun semakin hari semakin suram karena tidak ada keberpihakan dan perubahan pendekatan dari Jakarta.
Di tengah sulitnya meyakinkan Jakarta akan kepentingan terhadap dialog dengan Papua, Socratez Sofyan Yoman (2011), menambahkan bahwa dialog damai yang harus dilakukan antara pemerintah Papua dan rakyat Papua Barat haruslah tanpa syarat, dan dimediasi oleh pihak ketiga (internasional). Hal ini dilandasi oleh sejarah politik integrasi Papua ke Indonesia yang cacat partisipasi demokratis serta pelanggaran pemerintahan Orde Baru terhadap perjanjian New York, 15 Agustus 1962.[5]
Artinya, di tengah syarat dan tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat Papua terhadap dialog yang dimaksud, pemerintahan di Jakarta bahkan telah lebih dulu mundur teratur dan tak menujukkan sikap-sikap kompromi dalam bentuk apapun. Peningkatan kekerasan di Papua oleh militer Indonesia justru menjadi jawaban pemerintah atas tuntutan rakyat Papua, yang sebetulnya tidak berhasil ‘diintegrasikan’ selama kekuasaan Orde Baru.
Menurut Herman Katmo,[6] seorang intelektual Papua dari National Papua Solidarity: ‘untuk memperoleh konsensus politik terkait format dialog di antara orang Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya agar ada kesempatan bagi seluruh masyarakat Papua mengkonsolidasikan diri. Intimidasi, ancaman, campur tangan, dan bentuk-bentuk kamuflase politik yang sengaja diadakan untuk menghambat proses ini harus ditiadakan. Protes damai orang Papua jangan disikapi dengan kekerasan. Para tahanan politik Papua harus dibebaskan tanpa syarat agar mengikuti proses ini. Tidak perlu menyangkal atau menutupi keberadaan para tapol Papua ke publik internasional. Seluruh pasukan non-organik harus ditarik dari tanah Papua, kiat pembangunan milisi harus dihentikan, dan pendekatan militeristik harus diganti. Tanpa semua itu, sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk penyelesaian Papua secara damai. Jakarta akan jalan sesuai maunya, demikian juga rakyat Papua akan jalan dengan kebenarannya sendiri, ibarat kata pepatah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.”
Oleh sebab itulah, pada kenyataannya, suka tidak suka, persoalan Papua menurut kacamata sebagian besar orang Papua, dan orang Indonesia, tidaklah sama. Norman Vob, koordinator WestPapua Network, sebuah perkumpulan solidaritas Papua berbasis di Jerman, dalam satu kunjungannya ke sekretariat NAPAS, mencontohkan betapa sulitnya meyakinkan orang Papua terhadap kemungkinan peluang reformasi kebijakan dan pemerintahan di Jakarta dan di Papua dalam mengatasi, sekalipun parsial, persoalan-persoalan rakyat Papua. Sementara bagi para pekerja HAM dan gerakan sosial Indonesia perubahan pendekatan Jakarta dalam menangani Papua, sekecil apapun, adalah target advokasi politik yang sangat penting, tidak saja bagi Papua namun bagi iklim demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Di sinilah tepatnya dimensi dialektis dalam peta masalah Papua kita letakkan: dialektika antara kehendak orang Papua dengan pembukaan ruang politik di Indonesia.
Kini, setelah 50 tahun penyerahan administrasi Papua ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, hampir seluruh spektrum politik di Papua bersepakat bahwa situasi Papua semakin memburuk. Mereka bersepakat bahwa persoalan Papua begitu kompleks meliputi sejarah dan status politik, diskriminasi dan marjinalisasi masyarakat asli, konflik agraria dan lingkungan, serta pelanggaran hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial, budaya. Memposisikan satu masalah lebih utama dari yang lain adalah tindakan yang merugikan, khususnya di tengah situasi kemanusiaan yang semakin memburuk bagi rakyat Papua di berbagai sisi saat ini. Demikian pula kerugian ketika memisahkan dan mengisolasi satu masalah dari masalah lainnya, karena justru solusi yang dikehendaki mayoritas rakyat tidak akan ditemukan.
Diubah oleh jodieisme 26-01-2015 09:19
0
2.6K
Kutip
11
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan