HUKUM dijalankan dengan tujuan menegakkan keadilan, memperoleh kepastian, dan mengambil manfaat. Ketiga hal tersebut mestinya bisa berjalan beriringan secara seimbang tanpa mengorbankan salah satunya.

Namun, kerap terjadi dalam praktiknya unsur keadilan, kepastian, dan manfaat itu tak seiring sejalan. Bahkan, tidak jarang antara unsur satu dan unsur lainnya berbenturan. Pada titik inilah kemampuan penegak hukum dalam menyatukan ritme berbagai unsur sangat dibutuhkan. Tentu saja itu akan bisa dilakukan hanya jika penegak hukum berjalan pada rel hukum, tanpa dibumbui maksud politis.

Harus kita akui, dalam beberapa kasus, penegak hukum mampu menjalankan fungsi penindakan secara cepat. Namun, kerap pula tindakan cepat tersebut melahirkan 'masalah' baru, yakni terlalu lamanya proses penyidikan menuju 'pintu' pengadilan. Tidak mengherankan bila muncul kesan 'menggantung' kasus karena tidak kunjung jelas kapan sebuah kasus naik status. Bahkan, yang berbahaya ialah bila muncul persepsi 'yang penting menindak dahulu, kelengkapan bukti kemudian'.

Kesan seperti itu pulalah yang muncul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan status tersangka atas seseorang, tetapi tak kunjung memproses lebih lanjut. Dalam kasus dugaan korupsi dana haji, misalnya, KPK telah menetapkan Suryadharma Ali, menteri agama saat itu, sebagai tersangka pada 22 Mei 2014. Namun, hingga delapan bulan kemudian, kasus itu masih dipenuhi 'kabut'. SDA pun berbulan-bulan berpredikat tersangka.

Kondisi itu pula yang menimpa mantan Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin. KPK menetapkan Ilham sebagai tersangka dugaan kasus tindak pidana korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum Makassar tahun anggaran 2006-2012 pada 7 Mei 2014.

Hingga delapan bulan kemudian pula KPK juga tak kunjung memproses Ilham lebih lanjut. Pimpinan lembaga antirasywah itu berkali-kali mengatakan akan menahan Ilham, tetapi tak kunjung membuktikan ucapan itu. Nasib serupa menimpa mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Hadi yang juga mantan Dirjen Pajak itu ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus keberatan pajak sejak 21 April 2014. Namun, ia belum ditahan hingga kini.

Kasus yang menimpa mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum malah mencetak 'rekor'. KPK menetapkan Anas atas sangkaan gratifikasi mobil Harrier dari proyek Hambalang sejak Februari 2013. Namun, hingga 10 bulan kemudian, Anas tidak juga ditahan.

Dengan menyandang status tersangka, praktis segala aktivitas mereka serbaterbatas. Masa depan tersangka dan keluarga bak diombang-ambingkan tanpa batas waktu pasti.

Ketua KPK Abraham Samad pun sering memproduksi janji laiknya politikus. Ia pernah berjanji akan pulang kampung kalau kasus Hambalang tak rampung. Nyatanya kasus Hambalang belum sepenuhnya rampung, tapi Abraham tak juga pulang kampung.

Abraham pun pernah berjanji merampungkan perkara Bank Century akhir 2013, tetapi faktanya sejumlah orang yang disebut bersalah oleh DPR masih bebas lepas. Pada titik itulah proses penegakan hukum yang tidak disertai kepastian akan melahirkan spekulasi. Muncul dugaan proses penetapan seseorang menjadi tersangka tak sepenuhnya steril dari kepentingan lain di luar hukum.

KPK memang terus membantah spekulasi itu. Namun, bantahan yang tak disertai tindakan hanya akan membuat spekulasi semakin liar. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi KPK untuk berbenah dan memastikan mereka mampu menghadirkan keadilan, kepastian, juga manfaat atas segala tindakannya. Sudahilah terlalu banyak memproduksi janji.