Asosiasi Keramik Indonesia (AKI) menyatakan, beberapa perusahaan keramik terancam bangkrut seiring semakin tingginya biaya produksi dan melemahnya daya saing.

“Saat ini, ada 1 pabrik hingga 2 pabrik lagi yang hampir tutup. Kami berharap tidak bisa sampai tutup, tapi kondisi industri keramik nasional memang sangat mengkhawatirkan,” kata Ketua Umum AKI, Elisa Sinaga di Jakarta, Senin (29/12).

Industri keramik nasional, menurut Elisa, menghadapi berbagai tekanan seperti pelemahan rupiah, kenaikan tarif listrik, tingginya upah minimum regional (UMR), membanjirnya produk impor, hingga rendahnya permintaan.

“Pelemahan rupiah sangat memukul industri keramik, karena sekitar 70% barang modal masih harus dipasok dari luar negeri. Selain itu, gas sebagai energi utama industri ini harus dibeli dengan dolar Amerika Serikat (AS) dan komponen energi ini menyumbangkan 30% terhadap biaya produksi,” paparnya.

Sedangkan penjualan keramik, lanjut Elisa, hanya 13% yang diekspor, sedangkan 87% lainnya dijual di pasar domestik yang tentunya penjualannya dengan rupiah. Hal ini diperparah oleh melemahnya permintaan keramik di dalam negeri, sementara pasokan berlimpah.

“Bagi perusahaan besar yang masih mampu bertahan, terpaksa memangkas harga jual produk hingga di bawah biaya produksi. Hal ini semata-mata dilakukan agar pabrik tetap berproduksi, karena jika dihentikan, kerugian yang terjadi akan lebih besar,” ujarnya.

Elisa menambahkan, bagi perusahaan yang sudah tidak mampu beroperasi, memiliki dua pilihan, yakni merumahkan karyawannya atau PHK, seperti yang dilakukan Masterina.

“Pada 1 November 2014, Masterina memutuskan untuk menghentikan produksi karena tidak bisa bertahan dengan biaya produksi yang tinggi. Sebanyak 925 karyawan terpaksa dirumahkan karena perusahaan tidak mampu lagi meneruskan produksi,” tandasnya. (as/ant)

sumber